Membaca Media Indonesia, dan Malaysia pasca penangkapan petugas DKP yang di barter dengan para pencuri ikan dari Malaysia; maka yang menonjol adalah bagaimana piawainya pihak Malaysia melakukan diplomasi, dan “olah kekuatannya” terkait berbagai kegiatan di wilayah perbatasan. Di satu sisi pihak Malaysia sudah melakukan semua uji coba tentang “kemampuan menjaga kedaulatan” pihak TNI nya Indonesia; di darat mereka sering lakukan itu di wilayah perbatasan darat di Kalimantan; baik dalam hal illegal logging, maupun berbagai wujud lainnya; mereka berhasil seratus persen, kalaupun pihak TNI dapat menangkap beberapa peralatan beratnya seperti traktor dan beckhu, persentasenya sangat kecil dan yang ada atau muncul dan sering justeru berbagai nota protes dari Kemlu malaysia. Di udara mereka berhasil seratus persen, tetapi kemlu kita juga banyak melakukan nota protes; dan di laut mereka lebih berhasil lagi. Kalau kita boleh sedikit kasar, TNI kita terlihat “sangat” tidak berdaya; artinya dalam hal menjaga kedaulatan, mereka sudah tidak bisa diandalkan. Kalau hal ini terjadi di Jepang, pejabatnya pasti sudah lama melakukan hara-kiri.
Dalam hal olah pikir, maka beberapa pemikiran yang dikemukakan media (Kompas,antara,dan bernama) terkait insiden tersebut dapat kita kemukakan sebagai berikut;
Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak mengatakan, demonstrasi anti-Malaysia yang digelar di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta adalah pekerjaan kelompok bayaran. Sebaiknya jangan terjebak dengan permainan itu.Menurut Najib, kelompok tersebut dibayar pihak-pihak tertentu, yang ingin melihat keretakan hubungan Indonesia-Malaysia. ”Mereka ingin agar kita marah dan kemudian jika kita merespons, hubungan dengan Indonesia akan memburuk. Kita tidak boleh terjebak dalam permainan mereka,” tutur PM Najib dalam sebuah jumpa pers setelah memimpin Dewan Agung UMNO di Putra World Trade Center, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (27/8) malam, seperti dikutip kantor berita Bernama.
Najib menambahkan, ia tak melihat aksi demonstrasi tersebut mewakili sikap resmi Pemerintah Indonesia karena kedua negara memiliki hubungan yang sangat baik.”Kami merasa sangat nyaman dengan hubungan kedua negara dan seharusnya tidak seorang pun mencoba meretakkan hubungan Indonesia dan Malaysia. Kami menganggap kondisi sekarang ini sebagai pekerjaan kelompok-kelompok bayaran,” kata PM Malaysia.Najib menambahkan, pihaknya juga sudah mengontak Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar agar meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memperketat pengamanan di sekitar Kedubes Malaysia di Jakarta sehingga insiden-insiden serupa tidak terulang. ( di sini terlihat pihak Malaysia, membangun opini persahabatan, tetapi sama sekali melupakan cara-cara dia menangkap petugas DKP di wilayah kedaulatan Indonesia, secara semena-mena)
Tetapi beberapa kalangan di Negara kita masih bisa melihat hal ini secara lebih jernih, seperti yang dimuat oleh Kompas(29/8) yang menguraikan;
Meski demikian, berbagai kalangan tetap menuntut penataan hubungan kedua negara agar tidak menimbulkan riak pada masa mendatang. ”Hubungan Indonesia-Malaysia harus ditata ulang secara rasional,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Tohari. Namun, di sisi lain, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai, Pemerintah Indonesia masih melakukan diplomasi setengah hati dalam penyelesaian konflik dengan Malaysia. Pemerintah terkesan ragu dalam mengambil langkah diplomasi yang lebih tegas.”Kondisi ini membuat masyarakat Indonesia mengambil posisi sendiri dalam melihat konflik tersebut. Akibatnya penyelesaian masalah Indonesia-Malaysia justru menjadi semakin sulit. Pemerintah seharusnya bisa membuat publik percaya dengan apa yang dilakukannya,” kata Hikmahanto.
Juru bicara Eminent Person Group Indonesia-Malaysia, Musni Umar, menilai, hubungan Indonesia-Malaysia pada masa depan dapat meletus menjadi konfrontasi. ”Apabila tidak dikelola dengan hati-hati, hubungan RI-Malaysia pada masa depan bisa meletus menjadi konfrontasi,” kata Musni.Menurut dia, pokok pangkal masalahnya adalah sikap para elite kedua negara, termasuk para diplomatnya, yang kurang memahami sistem politik dan sistem budaya masing-masing.Ia mencontohkan perundingan moratorium TKI di Malaysia yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat jika dilakukan perundingan formal disertai lobi informal ke pusat kekuasaan di Malaysia melalui pendekatan budaya. ”Ini tidak dilakukan,” ujarnya.
Begitu juga, kata Musni, sikap elite dan diplomat Malaysia di Jakarta yang menganggap seolah Indonesia masih seperti pada masa Orde Baru, padahal sejak reformasi, pusat kekuasaan sudah tersebar di parlemen dan partai-partai politik, media, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat, serta pemerintah daerah, sehingga sangat tidak memadai dalam menjalankan diplomasi jika hanya berhubungan baik dengan pemerintah pusat.
Kedua belah pihak kurang saling memahami sehingga, menurut Musni, berbagai persoalan yang terjadi di Malaysia ataupun di Indonesia, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan tenang dan kepala dingin dalam dinamika persaudaraan dan persahabatan, dalam kenyataannya justru memicu bara konflik.Lebih lanjut sosiolog itu menjelaskan bahwa Indonesia dan Malaysia seharusnya menjadi dua negara yang selalu rukun dan damai karena memiliki latar belakang sejarah, budaya, sosial, dan agama yang secara umum adalah sama.
Di Jambi, Sabtu, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan, ”Menyangkut persoalan Indonesia dengan Malaysia, Indonesia telah mengambil kebijakan yang lebih mengedepankan diplomasi.” (BERNAMA/antara/DHF/ nwo)
Sebagai bangsa kita memang lemah dan kurang mampu dalam membangun Negara yang kuat, dan bermartabat dan menurut saya kelemahan kita yang utama adalah pada rekrutmen petugas Negara di semua lini masih sangat lemah, berbau KKN dan sejenisnya, bukan berarti tidak ada yang sudah baik; yang baik itu sudah ada, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Kedua soal korupsi, Negara kita korupsi dan sejenisnya, karena bentuknya sungguh sangat banyak; tetapi pada faktanya, hampir semua sektor di Negara kita dalam menjalankan tugasnya bukan semata-mata pada bagaimana agar tugas ini dapat berjalan optimal dan menghasilkan hal-hal yang lebih baik; tetapi sekedar “bagaimana tugas pokok dapat berjalan, dan secara administrative bisa dipertanggung jawabkan” soal apakah itu berhasil atau tidak, itu bukan misinya, tetapi bagaimana memperoleh tambahan pernhasilan secara optimal bagi pelaksananya. Ini saya katakan, karena saya sudah bekerja di lingkungan pemerintahan selama 30 tahun, dan sudah berkolaborasi dengan hampir semua pihak. Jadi hemat saya; Indonesia yang jaya itu masih sangat jauh..sangat jauh sekali.
Jadi yang saya lihat, hubungan kedua Negara tetap harus di upayakan untuk tetap bisa berjalan dengan baik dan serasi, kedua belah pihak harus mau lebih memahami suasana kebatinan Negara tetangganya masing-masing dan jangan mau di adu domba seperti yang diutarakan oleh Pak Najib; dan Indonesia sendiri perlu melakukan perbaikan melalui “semangat dan niat yang baik” dalam setiap pengabdiannya untuk membangun Negara yang kuat; jalankan rekrutmen secara professional dan hindari mental korupasi yang di selaraskan dengan penegakan hukum dan peraturan tanpa pandang bulu. Tapi apakah itu bisa; hanya waktulah nantinya yang bisa menjawab pertanyaan seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H