Perlawanan Kaus Merah, terahir kita bisa lihat dari laporan Kompas (16/5) yang menuliskannya sebagai kedua belah pihak sudah sampai pada titik yang tiada jalan balik lagi;
Massa pemrotes ”Kaus Merah” Thailand menyatakan akan terus berjuang sampai mati selama PM Abhisit Vejjajiva tidak mau mundur. ”Kematian takkan menghentikan perjuangan warga sipil,” kata Jatuporn Prompan, salah satu tokoh Kaus Merah, Sabtu (15/5).
Perlawanan dari kelompok pemrotes itu untuk menanggapi tindakan keras tentara Thailand yang tidak henti-hentinya menembak massa Kaus Merah dalam tiga hari ini hingga Sabtu. Korban tewas dalam gelombang bentrokan terbaru itu telah menjadi 17 orang, setelah tiga orang lagi tewas ditembak aparat pada hari Sabtu.
Massa Kaus Merah yang masih bertahan umumnya adalah warga miskin dari pedesaan. Mereka mulai berkemah di Bangkok sejak 12 Maret untuk mendesak PM Abhisit Vejjajiva mundur. Mereka mengklaim pemerintahan koalisinya berkuasa secara tidak sah. ”Kematian tidak menyurutkan kami. Abhisit harus mundur dan membubarkan parlemen,” kata Jatuporn yang berpidato di zona unjuk rasa.
Bentrokan pada Sabtu itu, selain menewaskan tiga orang, juga menyebabkan sejumlah warga terluka; termasuk tiga orang dalam kondisi kritis. Gelombang bentrokan terbaru pecah hari Kamis (13/5) setelah beberapa hari sempat tenang. Pada hari itu, korban tewas sebenarnya baru 1 orang.
Hari Sabtu, tentara terus menembaki pemrotes di sebuah perkemahan yang telah terkepung aparat. Tentara berjongkok di belakang karung pasir, di atap dan dalam gedung, sambil mengarahkan senjata laras panjangnya ke pemrotes yang hanya melengkapi diri dengan bom molotov, senjata dan roket-roket rakitan.
Satu aktivis Kaus Merah tewas setelah terkena tembakan peluru tajam pada bagian dada di persimpangan Ding Daeng. Dua lagi tewas karena tertembak di kepala. ”Situasi mengerikan dan semakin parah. Lebih baik mengungsi,” kata Ratana Veerasawat (45), pemilik toko tak jauh dari pusat perkemahan.
Tentara menyerbu area parkir Hotel Dusit Thani, salah satu hotel terkenal di Bangkok, tidak jauh dari perkemahan pemrotes. Tentara membangun perimeter seluas 3,5 kilometer persegi mengitari perkemahan. Di dalam kemah ada ratusan wanita dan anak-anak. ”Kami akan terus berjuang dan tak akan mundur,” kata Kwanchai Praipana, tokoh Kaus Merah.
Banyaknya korban yang jatuh, dan apapun alasannya; jelas pemerintahan Abhisit tidak akan pernah lagi di terima oleh warganya, baik itu yangpro maupun dan apalagi yang kontra. Pilihan Abhisit hanya satu, menindas rakyatnya sampai perjuangan Kaus Merah hancur dan mengabaikan apapun kata dunia. Untuk bersifat separoh-separoh hanyalah akan memperpanjang derita rakyat dan negaranya.
Bagi Kaus Merah, perjuangan justeru membutuhkan keteguhan hati dan perjuangan untuk menggalang dukungan dari luar, dibutuhkan kerjasama para pihak dan salah satiunya dari mantan PM yang tersingkir. Kaos Merah harus dapat memanfaatkan banyaknya korban dengan jalan mengeksploitir dan dramatisasi prosesi pemakaman teman-teman seperjuangan mereka. Mereka harus dapat memobiliasi dukungan logistic dari lingkungannya.
Nah siapakah yang akan keluar jadi pemenang? Sejatinya, siapapun yang keluar sebagai pemenang tetapi bagi negeri itu ini adalah peristiwa yang sudah mentradisi. Negeri ini sudah terbiasa dengan lingkungan kekerasan seperti ini, dan lagi pula dunia Internasional tidak mempunyai kepekaan yang berlebihan terhadap negeri ini. Artinya kepentingan internasional tidak begitu besar pada negeri ini. Akan sangat lain kalau, hal serupa terjadi di Indonesia. Pasti campur tangan asing luar biasa besarnya. Kini mari kita leihat apa yang bakal terjadi, masihkah militer tetap mampu mempertahankan pengaruhnya di dunia politik? Atau akankah reformasi dapat membuka dimensi baru dalam cara mereka bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H