Ketika (alm) Gus Dur dilantik jadi Presiden RI, saya melihatnya alangkah mudahnya Tuhan mengelola jagadNya. Tokoh yang nyata-nyta, cacat secara fisik, dan merupakan syarat utama untuk jadi seorang presiden, malah menjadi tak bermakna. Tentu hal semacam itu, hanya soal remeh temeh bagiNYA. Kini juga mengalir alur cerita yang berbeda. Seorang wakil presiden yang dipilih secara demokratis di Negara demokratis, yang dari sananya itu justeru terkenal karena kejujurannya, komitmennya dan kesederhanannya. Tapi justeru dengan izinNYA pula, malah oleh Dewan Yang Terhormat negaranya sendiri, justeru ditengarai adalah seorang yang paling bertanggung jawab dalam kasus Korupsi, manipulasi yang terbungkus dalam paket yang disebut pansus Bank Century. Siapa nyana, Tuhan melakukan semuanya dengan logikaNYA sendiri. Alangkah maha mengetahuinya Tuhan yang maha besar itu.
Tapi untunglah, sang tokoh kita itu, paham benar dengan bahasa alam, tahu betul dengan cara-cara Tuhan mengelola jagadnya. ”Cobaan itu bagian dari hidup. Hidup itu mengandung risiko. Kalau hidup tidak mau risiko, ya tidak usah hidup,” katanya. Hal itu diucapkan Boediono di sela-sela peringatan hari ulang tahunnya yang ke-67 di Gedung II Istana Wapres, Jakarta, Kamis (25/2). Boediono merasa dirinya sudah berada di ujung yang cukup jauh dari perjalanan hidupnya. Penambahan usia dirasakan juga sebagai pengurangan usia kehidupannya. ”Jika Tuhan mengizinkan, sisa umur saya ini akan saya dedikasikan kepada bangsa dan negara ini. Itulah cita-cita saya,” kata Boediono. Boediono menambahkan, pada usianya yang ke-67 ini, dirinya tak punya ambisi apa-apa lagi, kecuali mengabdi kepada bangsa dan negara.(Kompas/resiko-hidup/27/2/2010).
Persoalan itu sebenarnya, persoalan biasa-biasa saja. Dalam bahasa Emmanual subangun “ Tidak terlalu jelas batas antara soal ”ekonomi” dengan soal ”hukum”, misalnya sekitar istilah ancaman yang disebut ”sistemik” dalam pemikiran ekonomi, tetapi kemudian jika tindakan untuk menghadapi soal sistemik itu diletakkan dalam kerangka ”hukum”, segera orang masuk dalam lorong gelap. Kemudian akan menjadi gelap gulita ketika soal ”hukum” (artinya soal ada tidaknya tindakan melawan hukum) disandingkan dengan pertimbangan ”politik”, maka kita tidak tahu di mana tempat yang diambil oleh parlemen sebagai lembaga legislasi dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial”.
Menurutnya “ Tokoh-tokoh yang menyuarakan semua hal itu adalah mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan kita dari zaman Orde Baru, dengan kurikulumnya yang khas itu. Mereka adalah produk sebuah sistem pendidikan yang disebut sebagai provincial. Artinya ekonomi bukan hukum, hukum bukan politik, dan ekonomi bukan pula politik. Dengan cara berpikir yang terkotak-kotak semacam itu, praktis komunikasi pada tingkat konseptual tidak pernah ada. Dengan demikian, segala rupa ucapan dan penilaian yang selama ini beredar tak lain adalah cermin dari struktur mental pada tokoh yang terlatih dalam kotak-kotak itu. Ketika cara berpikir dalam kotak terpisah itu ditambah dengan gairah kekuasaan, dengan sendirinya tak pernah menjadi jelas apa yang disebut ”kenyataan” dalam kasus ini.”(Kompas/27/2).
Sebentar lagi demo jalanan secara logika akan marak lagi, pak Polisi beserta jajarannya kembali akan sibuk pula, pentas baru dinamika politik bangsa akan digelar kembali. Hiruk pikuk itu ternyata juga adalah bagian dari kesenangan kita, minimal bagi para mahasiswa hal semacam itu bisa merupakan kesempatan yang baik untuk melatih kepemimpinan lapangan bagi mereka, bagi LSM ini adalah ladang pengabdian yang nilainya tiada tara, dan bagi orang kebanyakan, demo adalah adanya imbalan sekedar penggantian uang transport, nilainya bisa berupa antara 25-50 ribu, dalam himpitan ekonomi yang seperti saat ini. Siapa yang bisa memberi uang sebesar itu secara massif. Ya itulah potret negeri tercinta, soal pembangunan biarlah dulu terbengkalai..dunia belum runtuh..dan itulah sesungguhnya yang kita lakukan sejak zaman kemerdekaan..hingga saat ini..politiknya itu adalah politik partisan..politik demi kepentingan hari ini..soal hari besok itu lain lagi.(harmenbatubara.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H