[caption id="attachment_111343" align="alignleft" width="300" caption=" Para pendukung mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, memadati kota Bangkok./Admin(AFP/Kompas)"][/caption]
Thailand adalah sebuah Negara yang unik, yang ekonomi dan politiknya dapat terus melanjutkan tradisinya serta menjadi salah satu Negara di kawasan ini yang tidak pernah di jajah oleh Negara lain.Yang sering di catat adalah adanya kerjasama harmonis antara kerajaan dengan pemegangotoritas “kekuasaan”. Belakangan kita mengetahui, bahwa dibalik keberhasilan negeri ini, adalah adanya kerjasama yang saling mendukung antara kerajaan dan pihak militer. Boleh dikatakan, berapa kalipun militer merebut kekuasaan, sepertinya” kerajaan” terus saja “merestuinya”; tetapi berbeda sekali ketika militer, mengkudeta pemerintahan Thaksin pada tahun 2006, meski Raja “memberikan restunya”, tetapi rakyat ternyata mempunyai pertimbangan yang berbeda. Di satu sisi, mereka tetap menyangi sang Raja, tetapi di sisi lain, mereka memilih partai, yang justeru jadi lawan Rajanya.
Hari-hari belakngan ini kita melihat Thailand, sibuk dan dilandaupaya pembangkangan Sipil, yang dimotori oleh kelompok kaus merah, para pendukungmantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang hingga kini masih menjadi pusat konflik di negara itu. Apa sesungguhnya yang mereka tuntut? Adalah sebuah keadilan; keadilan yang ternyata “sangat sulit” untuk di pahami. Menurut ketua kelompok kaos merah; ”Apa yang terjadi di masa lalu tidak adil, mereka menyebutnya standar ganda. Kami ingin mengoreksinya, tak hanya untuk Thaksin, tetapi semua orang,” begitu kata Jatuporn,pimpinan Kaos Merah.( Thaksin, Militer, dan Melemahnya Dukungan bagi Abhisit/Kompas/30 Maret 2010). Apa sebenarnya yang terjadi di negeri Gadjah Putih itu?
Dari catatan yang bisa saya kumpulkan dari Kompas dan Media Indonesia, kita melihat di awal tahun 2008, Militer Thailand mengakui bahwa kudeta yang mereka lakukan terhadap PM Thaksin Shinawatra, september 2006 telah gagal. Kudeta tersebut tidak sanggup menghapus pengaruh Thaksin. Pernyataan tsb dinyatakan oleh Kepala Angkatan Udara Thailand Chalit Pukbhasuk. Bahkan kekuatan Thaksin malah bangkit. Boleh dikatakan, kabinet Samak didominasi oleh sekutu-sekutu Thaksin. Chalit juga mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasional (CNS), yang dibentuk militer pasca kudeta untuk menjalankan kekuasaan, secara resmi dibubarkan. Pernyataan itu juga sekaligus memintakan permohonan maaf kepada rakyat, karena tidak berhasil, CNS memang tidak mencoba merebut kekuasaan; menurut mereka, militer telah berbuat yang terbaik untuk negeri itu; atas nama CNS saya memintak maaf katanya.
Ketika KPU Thailand 23 Desember 2007, mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP, pendukung Thaksin) meraih 233, dari 480 kursi Majelis Rendah. Atau hanya kurang 8 kursi agar jadi posisi mayoritas. Sementara Partai Demokrat (Partai Militer yang didukung oleh Raja Bhumibol) hanya memperoleh 165 kursi. Lainnya partai Chart Thai 40, dan Puea Pandin 24 kursi. Setelah membentuk koalisi,ppp dan sekutunya menguasai 315 kursi di parlemen; 28 Januari 2008 Samak Sundaravejterpilih sebagai PM Thailand dengan merebut 310 suara parlemen; tanggal 29 Januari 2008 Samak resmi jadi PM Thailand setelah direstui oleh Raja.
Bagaimana mungkin, rakyat yang mengelu elukan Raja pada ulang tahunnya yang ke-80, pada 5 Desember 2007, ternyata dalam pemilu justeru memberikan suaranya kepada PPP, yang juga adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM tersingkir. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negeri yang begitu menyayangi Rajanya, tetapi ketika dilakukan pemilu, malah justeru memilih partai yang berseberangan dengan sang Raja. Adakah nilai-nilai keadilan, yang semestinya harus di junjung tinggi serta di hormati oleh semua pihak, tetapi lalu diabaikan dan dihinakan?Mungkin ada baiknya kita melihat kejadian yang ada di Thailand, sebagai cermin yang patut untuk jadi bahan renungan, bahwa keadilan, harus tetap jadi pertimbangan..entah bagaimanapun keadaannya.
Kalau kita baca secara sederhana, sesungguhnya yang terjadi adalah adanya penolakan terhadap keterlibatan militer di ranah demokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Thaksin, yang nota bene juga masih dari kalangan pendidikan militer. Bahwa suatu masa dahulu, militer sangat kommpeten dan mampu dengan baik mengelola negeri itu, ya. Tetapi zamansudah berubah, rakyat membutuhkan sesuatu yang lain, hanya saja pihak militer, masih tetap dalam persfektip lama; dan mereka percaya, rakyat masih sangat mendambakannya.
Bedanya dengan di negeri kita, TNI sepenuhnya menyadari bahwa zaman sudah berubah, dan telah mengambil posisi sesuai kehendak demokrasi. Dalam demokrasi yang ada adalah suara rakyat, bukan kekuatan lain. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat tidak bisa dikangkangi dan kalau mau mengikuti kehendak zaman, ya harus ikut berdemokrasi dan memperbaiki demokrasi itu sendiri; dengan cara menjadi sesuatu yang professional sesuai panggilan tugasnya. Kita percaya, Thailand pasti bisa melewatinya, sebab Negara itu mempunyai trek record yang tidak bisa diragukan. Persoalannya, akankah cara-cara demokrasi yang akan mengemuka? Sebab dalam batasan operasi militer selain perang secara universal , aktivitas radikal seperti yang diperlihatkan oleh kelompok kaus merah, sudah sah dihadapi dengan kekuatan militer. Hanya saja, kalau itu yang dipakai, maka kaus merah pasti akan mendapatkan legitimasi baru dan keluar sebagai pemenang. Pertarungan sebuah demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H