Oleh: Harli Muin
Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan penangkapan Anton alias Septi, dan Densus 88 mengakhiri nyawa enam orang rekan Septi di Ciputat, Tanggerang Selatan. Dua kasus kejadian itu, merupakan cerita dibalik upaya pembatasan terorisme di tanah air. Saya melihat kritik terhadap kematian enam orang itu mulai bersahut-sahutan di media social, seperti twitter, face book, televisi, dan surat kabar nasional termasuk surat protes secara langsung kepada Kepolisian datang dari berbagai penjuru negeri. Perlawanan terhadap kelakuan Densus 88 itu tak hanya datang dari organisasi kemasyarakatan, tetapi juga data dari berbagi pengamat teroris karena mereka menganggap tembak mati terhadap pelaku teroris itu adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Karena banyak dikritik, Kapolri, Jendral Sutarman membela Korps yang ia pimpin melalui interview di beberapa TV lokal. Surtarman mengatakan, “Densus 88 yang hendak menangkap ke-6 terduga teroris itu melakukan perlawanan, bahkan melukai salah seorang anggota Densus 88”. Selanjutnya, “mereka yang terduga menggunakan senjata dan itu berbahaya bagi keselamatan anggota kami,” kata Sutarman. Rudi, salah seorang pengamat teroris menolak pembelaan diri Kapolri itu, penembakan terhadap ke-6 terduga teroris itu, berarti memperlakukan teroris sebagai combatant (tentara musuh). Kondisi macam itu, kata Rudi dapat diberlakukan namun dengan syarat dan kondisi tertentu. Misalnya, lanjut Rudi, kondisi hidup atau mati antara kedua belah pihak.
Menurut Rudi pendekatan terhadap terorisme ada beberapa jenis penegakan hukum, operasi militer dan model pendekatan berbasis komunitas dan motivasi. Apa yang dilakukan polisi sesungguhnya melukai praduga tak bersalah. Polisi dalam kasus operasi terduga teroris di Ciputat menganut praduga bersalah dan ini tidak dikenal di Negara hukum yang demokratis.
Di lain pihak, bila Polri beralasan bahwa, pendekatan operasi teroris dengan menegakkan hukum karena polisi diberi tugas untuk operasi teroris. Namun Jaringan Ashar Tauhid (JAT) membantah alasan Kapolri itu, JAT melalui siaran pers nya mengatakan pendekatan polisi itu tidak bisa disebut penegakkan hukum, karena Polisi sudah melakukan hukum terhadap terduga teroris dengan menebak mati mereka. Jaringan Anshor Tauhid (JAT) dalam surat terbuka mereka kepada media menyampaikan bahwa Polisi telah mengadili orang yang ditembak mati itu sebelum adanya putusan pengadilan yang sah. JAT mengklaim bahwa itu adalah bentuk pelanggaran HAM dengan cara penghilangan nyawa orang secara paksa. Komisi Nasional Orang Hilang Kontras menyampaikan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 dalam penanganan kasus teroris di Ciputat.
Menurut Polri, prosedur dilapangan telah dilakukan dengan seksama. Prosedur tetap polisi berpedoman pada PeraturanKepolisina RI Nomor 23 tahun 2011 dan standar operasional prosedur tentang penggunaan senjata api. Melalui Boy Rafly Amar bahwa anak buah mereka sudah mengimbau kepada para terduga teroris untuk keluar dan menyerahkan diri, termasuk negosiasi ini selalu dilakukan (Metro TV News 3/1/2014)). Indonesia Police Watch (IPW) kurang sepakat dengan cara-cara polisi menyelesaikan masalah itu. Menurut Presidium IPW, Neta S Pane, cara-cara polisi dalam mengeksekusi nyawa orang yang dituding sebagai teroris di lapangan sangat disesalkan. Meski dikecam banyak pihak, ini terus terjadi, (Tempo.co, 4/1/2014). Oleh karena itu, IPW mengusulkan perlunya investigasi Komnas HAM, karena kasus di Ciputat itu ada kemungkinan pelanggaran hak asasi terhadap para target polisi itu. IPW juga meminta Publik agar tau bagaimana Polri transparansi dalam hal prosedur penembakan diCiputat itu Tempo.co, 4/1/2014).
Selain itu, Rafly Amar juga menyampaikan bahwa selain menolak menyerahkan diri, kelompok teroris jaringan Abu Umar itu malah melakukan perlawanan dengan penembakan dan pelemparan granat. Satu orang anggota Densus terkena timah panas teroris di bagian kaki. Apa yang dilakukan para teroris itu sudah mengancam keselamatan nyawa petugas Densus 88, karena itu, tindakan tegas terukur yang sejalan dengan UU No 15 tahun 2003 tentang Terorisme pun dilakukan. Namun Komnas menyampaikan pada dasarnya mereka sangat mendukung upaya pemberantasan terhadap terorisme, namun procedure tetap dan standar lainnya harus digunakan dengan benar. Komnas HAM melalui Noor Laila akan menyelidik kasus ini.
Sementara Komnas HAM melakukan rekonstruksi mengenai kejadian di Ciputat, namun mereka belum dapat mengambil kesimpulan apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak. Komnas HAM beralasan mereka belum menemui semua pihak-pihak yang berhubungan dengan kejadian ini untuk dimintai keterangan lebih lanjut, termasuk menemui Kapolri.
Akhirnya, saya sendiri mengakui bahwa para teroris ini mendeklarasikan diri paling benar, dan hanya mereka-lah yang benar. Tuhan hanya Tuhan merek yang benar, yang lain salah. Perampokan dan merampas dibolehkan untuk tujuan perjuangan. Membunuh orang atas nama kebenaran menurut penafsiran mereka di halal kan. Oleh karena itu, saya mendukung sepenuhnya upaya Densus 88 memberantas terorisme dan membersihkan orang-orang yang melawan intoleransi. Namun disisi lain, saya berharap, Polisi dapat menerapkan prosedur dan menghormati hukum dalam penanganan teroris ini.
Di luar penegakkan hukum, Kita juga mendukung upaya polisi menjaga kenteraman masyarakat, karena memang merupakan kewenangan Polisi. Itulah sebabnya Polisi diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan demi ketertiban masyarakat, namun juga kita Indikator-indikator penggunaan kekuatan represif harus terkendali dan tidak sampai memiliki efek kerusakan yang meluas. Dalam hal ini, mungkin kita kembali ke procedure, bagaimana Polisi menjalani Prosedur itu dan Polisi menafsirkan prosedur kepolisian itu dan undang-undang yang berlaku. @@@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H