Kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, tentang rencana Kota Jakarta banyak diwarnai dengan penggusuran dengan tujuan menertibkan Jakarta yang dianggap semrawut. Saya sekali kebijakan Ahok ini, disatu sisi dianggap bagus oleh sebagian warga Jakarta, akan tetapi disisi lain ditantang oleh banyak orang, yang tidak suka dengan penggusuran. Implikasi penggusuran secara social dan ekonomi jauh lebih penting dari pada keindahan Jakarta dan menempatkan orang kaya dilokasi bekas penggusuran.
Catatan ini menjawap pertanyaan mengapa orang menolak di gusur? Â Berapa banyak orang yang digusur Ahok? Â Lalu apa implikasinya terhadap pendapat rakyat yang digusur, apakah menguntungkan atau tidak? Untuk menjawab dua pertanyaan itu, saya mengumpulkans sejumlah bahan dari internet dan bertemu dengan sejumlah orang yang gusur serta meminta pendapat orang yang selama ini, merasaka kebijakan Ahok secara langsung.
Mengapa Orang Menolak Digusur
Kebijakan pemindahan Ahok tentang penataan Kota Jakarta memang menyediakan solusi Rusunawa. Bagi mereka yang dipindahkan secara paksa, Ahok menyediakan Rumah Susun Sederhana. Hanya saja, meskin sebagian warga menerima, sebagian berasalan lain, mereka menolah dipindahkan karena alasan ekonomi dan alasan social.
Pertama alasan ekonomi, selama menjadi Gubernur, Ahok menggusur beberapa lokasi.  LBH Jakarta mencatat telah terjadi penggusuran paksa terhadap sedikitnya 3433 Kepala Keluarga (KK) dan 433 Unit Usaha sampai bulan Agustus 2015[1] – di dalamnya termasuk korban penggusuran paksa dari warga Kampung Pulo. , [1]. Namun, penggusuran yang menjadi masalah public yang luas, seperti:
1. Â Â Penggusuran terjadi di permukiman bantaran Kali Ancol, Jalan Kunir, RT.04/RW.06 Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, pada 27 Mei 201547 rumah yang dihuni oleh 73 Kepala Keluarga, pada pagi tersebut dibongkar paksa oleh sekitar 500 Satpol Pamong Praja kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, dan dibantu oleh polisi dan TNI.[2]
2. Â Â Kampung Pulo. Penggusuran Kampung Pulo, Jakarta, Kamis (20/8/2015). Penggusuran pemukiman Kampung Pulo dilakukan oleh 2.200 personel gabungan untuk normalisasi Sungai Ciliwung[3].
3.   Penggusuran  di daerah Kalijodo. Kawasan bantaran kali yang juga dikenal sebagai kawasan pelacuran ini berada di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat[4]
4. Â Â Penggusuran pemukiman di Bukit Duri, Jakarta Selatan.[5]
Dengan jumlah seperti yang disebutkan LBH Jakarta itu, memang sebagian sudah mengubah keadaan mereka dari tidak punya rumah susun menjadi memiliki dan menyewa rumah susun. Namun demikian, secara total hasil wawancara dengan beberapa pihak korban, mereka sama sekali kehilangan pendapatan.
Sebelumnya mereka menjadi pembantu di sekitar lokasi penggusuran, sekarang mereka tidak lagi menjadi pembantu, selain karena jaraknya jauh, juga majikan, tidak menerima alasan sering terlambat. Selain itu, menjadi pembantu dengan jarak jauh dari rumah majikan, juga membebani ongkos produksi, bayar Angkutan Kota dan lainnya.