Oleh: Harli Muin
MK (Mahkamah Konstitusi) menerima gugatan yang dimohonkan oleh Effendi Gahazali atas nama Koalisi Masyarakat Sipil memicu pro-kontra. Pendukung menganggap UUÂ Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak efisien dan terlalu mahal serta bertentangan dengan konstitusi. Disisi lain, kelompok yang kurang sepaham dengangugatan itu menganggap bahwa MK menerima gugatan dan mengabulkan beberapa permohonan penggugat akan mengganggu pelaksanaan pemilu legislatif yang kurang dari 100 hari. Bila di kabulkan, maka MK kemungkinan memicu gelombang protes anggota partai politik terhadap MK dan juga terhadap lembaga Komisi Pemilihan Umum- KPU akan mengadaptasikan beberapa metode mereka dalam pelaksanaan pemilihan umum tersebut. Hal ini juga akan meletakkan bahwa Pemilu semakin mahal.
Namun dalam debat pro dan kotra tersebut, saya melihat bahwa MK tidak lagi menggunakan menafsirkan konstitusi berdasarkan tafsiran yang sesungguhnya, melainkan mendahulukan pemilu damai dengan mengakomodasi dua kepentingankelompok meski MK melanggar beberapa norma hukum.
Pro dan Kotra
Kelompok pro-terhadap permohonan Effendi Gazali kepada MK itu agar memutuskan seperti pasal yang disebutkan di atas diajukanbulan januari 2013.Gugatan yang sama juga diajukan oleh Yuzril Izha Mahendara. Effendi Ghazali memohonkan kepada MK masyarakat pengujianterhadap PasalPasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Undang-undang Pemilihan Presiden danWakil PresidenNomor 42 Tahun 2008 pada minggu ketiga Januari 2014[1][1]
Sementara Mahendra memohon kepada MK pengujian Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres terkait jadwal pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pemilu Legislatif (tidak serentak). Yusril menilai pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2), (3) UUD 1945 dihubungkan dengan sistem republik yang diatur Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945.[2][2]
Yuzril juga mengatakan bahwa Pasal 22E UUD 1945 menegaskan Pemilu sekali dalam lima tahun.Dengan demikian, seharusnya Pemilu Legislatif maupun Pilpres dilaksanakan serentak karena hanya dibolehkan 1 kali dalam setahun pada hari dan tanggal yang sama. Masalahnya dalam pelaksanaan dalam UU Pilpres diselenggarakan setelah dilaksanakan Pemilu Legislatif.
Menurut Yuzril, hal ini menyalahi ketentuan konstitusi. Â Menurutnya, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tak bisa ditafsirkan lain kecuali parpol yang mengusulkan capres ber status peserta Pemilu. Gugatan tersebut mendapat dukungan dari Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto dan Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali.
Sementara kelompok yang kontra adalah Surya Palo yang mewakili Nasdem, PDIP, Golkar dan aktivis beberapa pegiat hukum yang menolak terhadap gugatan yang dimohonkan Efendi Gazali dan Yusril kepada MK seperti pasal yang disebutkan di atas. Mereka beralasan karena akan mengganggu jadwal pelaksanaan pemilu. Kemungkinan akan memicu gelombang protes ke KPU bukan saja pengurus partai politik yang merasa dirugikan dengan persiapan pemilu yang sangat mahal ini bagi partai politik peserta pemilu. Lebih dari itu, anggota partai politik kemungkinan akan ikut protes dan gerakan masa yang sekala besar. Bagi KPU, mungkin agak sulit mengendalikan mereka.
Mereka juga berargumen pengunduran jadwal Pemilihan Umum Legislatif, juga akan menunda pemilihan presiden. Artinya, bahwa penundaan itu akan juga menunda pelaksanaan event penting ke-negaraan dan dapat disebut melawan konstitusi UU Dasar 1945.
Jurus MKKabulkan Gugatan
Dampak dari dikabulkannya pengujian Undang-Undang (PUU) tentang Pemilu Serentak atau PUU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 memerintahkan pemilihan umum secara bersamaan antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Hanya saja putusan ini bertentangan dan melanggar norma hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK menyatakan beberapa pasalyang dimohonkan oleh Efendi Gazali dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, MK kemudianmenyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Aneh bin ajaib, bagaimana bias. Bukan putusan MK itu bersifat final, yang pertama dan terakhir. Ia berlaku sejak diputuskan.
MK menyatakan bahwa pemilihan Umum 2 kali bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Sebagai gantinya, MK mengatakanpemilu hanya dilakukan 1 kali dalam lima tahun. Anehnya, MK menyatakan pemilu serentak baru berlaku pada Pemilu 2019dan seterusnya.
MK menyatakan menunda berlakunya putusan MK itu sendiri. Ini bertentangan denganrasa keadilan.Prinsip keadilan, semakin lama masalah tak terselesaikan, semakin jauh makna keadilan ini.Padahal, MK tahu bahwa putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
MenurutYusril tahu bahwa melaksanakan Pemilu dengan pasal-pasal UU yang in-konstitusional, hasilnya juga konstitusional. Konsekuensinya, DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 yang juga inkonstitusional.
Sebenarnya MK sudah banyak membuat putusan Ultra Petita sebelumnya, yakni UU tentang KPK, UU tentang Listrik dan lainnya.Ultra Petita dalam hukum formil mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusanatas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. DalamPasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.
Untuk ultra Petita, para ahli hukum masih berdebat soal ini. Mertokusumo, misalnya, dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, Pengadilan Negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnyaSementaraYahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires. Perbuatan ini dianggap cacat hukum dan putusan tersebut harus dinyatakan cacat demi hukum
Bagi saya Ultra Petitum dibolehkan sepanjang Hakim yang memutuskan agar hakim memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, ini menjadi landasan untuk mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita demi tercapainya keadilan.
Nah, pada titik ini, saya tidak melihat adanya makanya keadilan dalam penundaan putusan ultra petitum MK terhadap penundaan pelaksanaan pemilu serempak, pilpres dan pilek.
Akhirnya, MK mengabulkan gugatan dimohonkan Efendi Gazali dan lalu menyatakan tidak mengikat. Melawan asas keadilan dengan dan menangguhkan berlakunya putusan. Menyatakan bahwa UU pemilihan umum dilakukan 2 kali dalam 5 tahun konstitusional, tapi tidak mengikat. Memutuskan putusan yang tidak diminta pengugat. Ini sah saja, tapi apakah benar dipertimbangkan berdasarkan asas keadilan, penegakan hukum dan sosial. Mungkin hanya MK yang tahu.
Pada titik ini, MK sudah menengahi dan memenuhi kedua belah pihak yang sedang bersengketa, antara kelompok kontra dan kelompok pro. Kali MK menengahi itu dengan jalan cari selamat. @@@@
[1][1] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52dd16742d080/effendi-gazali-yakin-gugatan-yusril-inebis-in-idem-i
[2][2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52dd16742d080/effendi-gazali-yakin-gugatan-yusril-inebis-in-idem-i
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H