Mohon tunggu...
Harkit Sihombing
Harkit Sihombing Mohon Tunggu... Teknisi - HMPS

Setiap tangan menciptakan kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyelimuti Jiwa

14 Juli 2019   22:14 Diperbarui: 14 Juli 2019   23:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh Harkit M Sihombing

Semakin indah bulan purnama itu. Makin malam, dia menunjukkan keindahan melalui sinarnya. Pancarannya teduh, mendamaikan hati yang morat-marit. NiWarna kuning, orange, kemerahan, memberikan warna khas di langit yang gemerlap, sedikit awan putih, coklat muda menambah keanggunan, malam ini dalam perjalanan pulang kampung. Ya! Pulang kampung untuk selamanya. Sesekali, warna bulan menjadi biru. Eh, rupa-rupanya mata ini memandang bulan tepat melalui talang air bus yang kami tumpangi. Keindahan perjalanan pulang di malam ini tak seindah perjalanan hidup yang ku lalui di perantauan.

"Sidimpuan, yang Sidimpuan sudah sampai." Seru konduktor. Sudah pagi, matahari meninggi. Bulan yang damai t'lah tenggelam dan menghentakkan tidurku yang tak puas itu. Aku mesti turun di stasiun ini, melanjutkan perjalanan transit ke kampung halaman dengan oto bus yang kecil jenis starwagon.

"Hendak kemana, bang?" Ajak penarik becak mesin di stasiun perhentian itu. Mungkin masih ada tertinggal tampang wah pada tubuhku. Mengingat uang menipis, "oh, disini saja pak." Mengabaikan.
Kuajukan ke konduktor untuk turun di simpang Pasar Sabolas saja menunggu bus jurusan Toba.

Usia menginjak 50 tahun. Tahun emas. Malahan bukan emas, entah apa yang datang pada usiaku itu?
Minarti, buru-buru berkemas. Baru dua hari aku berikan uang pensiunanku selama bekerja di perusahaan swasta itu. Ku percayakan semua padanya. Minarti yang masih muda terpaut 23 tahun pada usia kami, memang manis dan rupawan. Menggelorakan diri untuk meminangnya. Panglima lajang tua itu aku lepaskan di usia 45 tahun dan setelah menikah menyesali mengapa harus di usia itu harus menikah? Belum memiliki momongan pula.

"Ah, ini ulahmu, Tarida." Gadis Toba yang menolak cintaku.

"Sapatam ma on," artinya kutukanmu lah ini. Teringat juga kepada paribanku, yang kutolak cintanya. Kedua gadis itu silih kusalahkan dalam pikiran ini terhadap apa yang telah diperbuat Minarti. Minarti benar-benar pergi meninggalkanku, dengan teganya. Langkahku pun terseok-seok di usia tua itu. Rumah sudah digadaikan Minarti, aku menjadi tuna wisma dan begitu sulit mencari pekerjaan di usia tua.
"Oh, Minarti. Habis manis sepah kau buang!" Harapanku bertumpu padanya dan berharap menjagaku hingga akhir hayat. Keberuntungan seolah berpihak padaku, ketika cinta bersemai, seorang gadis muda mau dipinang oleh pria tua sepertiku. Cintanya Minarti ternyata materialistis. Aku ambil keputusan untuk pulang kampung, walaupun menanggung malu. Melihat muka sendiri pun sebenarnya sudah malu, akan tetapi, tetap kuberanikan. Bisa gila disini! Lapar itu masih bisa kutahankan, tapi pikiran yang morat-marit ini membuatku seakan gila. Berkelana pun tak mampu lagi di usia senja ini.

"Siborongborong." Sang supir mengingatkan penumpangnya di pertigaan jalan Tugu. Sebentar lagi akan sampai ke kampung halamanku, sekitar 12 kilometer lagi.
Bersambung lagi, transit dengan mobil yang agak butut, era 80 sampai 90-an ke arah Dolok Sanggul.
Senja pun tiba di kampung halaman.

Meskipun perkampungan kami itu sudah berubah. Gerbang perkampungan sudah tiada, tembok-tembok antar perkampungan sudah roboh (terbuka), tetapi aromanya masih tercium. Masih  ada yang memelihara kegiatan yang terdahulu, aroma ikan asin dan bawang yang dipanggang di salean, masih menempel pada penciuman. Ada dua gadis menumbuk pada lesung, mereka beradu secara teratur menumbukkan alu (anak kayunya) sembari melempar senyum merekah. Kampung kami masih ramah-tamah. Kerbau tertambat di sudut kampung, seorang anak kecil menyerakkan rumput untuk mamahan kerbau di malam hari. Suasana sore benar-benar sibuk menyambut peraduan malam.

Rasa malu semakin menyelimuti, kaki ini berat melangkah mendekati anak tangga rumah. Sinar matahari sudah di ufuk, angin berhembus dingin namun bias sinar matahari itu memberikan kehangatan yang memantul tepat ke rona mata ini, sinarnya keluar diantara dedaunan pohon yang rimbun. Di bawah pohon itu lah moyang kami dimakamkan.

"Horas," Sambutan khas Batak terdengar dari dalam rumah. Suara seorang perempuan. Mestinya yang pendatanglah terlebih dahulu mengucapkannya, berbeda kali ini. Mereka mungkin sudah mengetahui langkahku.

"Oh, Amanguda do hape na ro on Oma!" Artinya, Adiknya Bapak ternyata yang datang ini Ibu! Dia bisa mengenali wajahku. Wajahku persis sama dengan foto yang dipajang pada dinding rumah tua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun