Mohon tunggu...
Cosmas Gunharjo Leksono
Cosmas Gunharjo Leksono Mohon Tunggu... Editor - Editor, penulis, penerbit buku dan jurnal

menulis di media apa saja tanpa kecuali, cetak dan elektronik. Berbagi itu indah, menyenangkan dan raihlah saudara dari berbagai penjuru dunia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ruang Publik Taman Balekambang Solo: Dulu Angker, Kini Jadi Jujugan Publik

30 September 2015   23:40 Diperbarui: 1 Oktober 2015   00:48 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada mulanya, Balekambang  Solo identik dengan tempat yang angker, tak terawat, dan tak terjamah khalayak ramai. Kini, hampir setiap hari Taman Balekambang dijubeli pengunjung. Berbagai event dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, hingga event nasional dan internasional sering memanfaatkan taman ini.

Saya ingat betul, ketika saya masih duduk di bangku SMA, sekitar tahun 90-an, lewat Balekambang seperti melihat keangkeran. Hanya pohon besar yang terlihat, saya membayangkan seperti hutan asli, bukan hutan buatan. Mau mampir? Jelas tidak, membayangkan saja tidak...  saya juga tidak tahu, di dalam Balekambang ada kolam, konon, ternyata Balekambang diperuntukkan bagi anak ningrat Belanda.

Kini zaman sudah berubah, namanya telah berganti menjadi Taman Balekambang.  Taman ini telah dikenal masyarakat luas dan telah moncer berkat polesan Jokowi pada 2008, yang kala itu masih menjabat sebagai Walikota Solo, sekarang Presiden RI. Kini menjadi ruang publik untuk pentas seni dan budaya,  pariwisata, hutan kota, pendidikan, dan berkumpulnya warga.

Pada mulanya, taman ini bernama Partini Tuin dan Partinah Bosch, dibangun  oleh KGPAA Mangkunegara VII sebelum Indonesia merdeka, pada 26 Oktober 1921. Taman ini dibuat  sebagai tanda cinta untuk kedua putrinya, GRAy Partini dan GRAy Partinah. Pada awalnya, taman ini terbagi dua, area Partini Tuin (Taman Air Partini), dan Partinah Bosch  (Hutan Kota Partinah).  Sekarang jadi satu, bernama Taman Balekambang.

Saya yang tinggal di Sukoharjo, setiap ada waktu luang, liburan, sering kali berkunjung ke Taman Balekambang. Butuh waktu 30 menit untuk sampai, kalau jalanan macet ya lebih. Tapi, lamanya perjalanan bukan halangan. Toh, semuanya terbayar dengan kenikmatan di Taman Balekambang.  Menikmati udara sejuk, di bawah pohon berpenampang besar, sementara anak-anak asyik bermain kesana-kemari, kadang berlarian, di sela lain naik perahu yang telah disediakan petugas. Kali lain, anak-anak antusias mengajakku ke Taman Reptile.

Taman Balekambang menyajikan tempat  yang lengkap: danau, bale apung, ruang terbuka untuk kesenian, taman reptil, patung Partinah Bosch dan Partini Tuin, hingga batu asmara.  Eloknya, taman ini juga cocok untuk arena outbond.  Ketika saya berkunjung ke taman ini, banyak anak PAUD, SD hingga SMA ber-outing class. Mereka belajar di ruang publik, ruang terbuka untuk umum. Bukan hanya warga Solo, tetapi berbagai daerah yang mengelilingi Solo, seperti Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, sering menjadikan Taman Balekambang sebagai jujugan untuk berkumpul, unjuk kebolehan, dan sebagainya.

Walau sudah sering berkunjung, toh rasa kangen itu selalu bergelayut di saat musim liburan atau hari libur biasa. Yang luar biasa, masuk di Taman Balekambang tidak dipungut biaya. Kita hanya mengeluarkan uang ribuan untuk karcis parkir. Ini semakin menegaskan bahwa Taman Balekambang benar-benar memanjakan publik, memanjakan rakyat. Warga tak perlu mengeluarkan uang untuk bisa menikmati keindahan taman, seringkali mendapat bonus gratis hiburan. Mulai dari keroncong, musik pop, pentas band, hingga sendra tari Ramayana. Yang baru saja dihelat, festival payung yang moncer hingga penjuru nusantara. Semuanya gratis tis.

Namanya saja Taman, sangat cocok untuk aktifitas apa saja. Istriku tercinta, sering juga memanfaatkan Taman Balekambang untuk kegiatan di luar kampus. Jadi, pembelajaran dilaksanakan di Taman Balekambang, sebuah gebrakan yang tak banyak dilakukan dosen lainnya. Mahasiswa pun terlihat begitu girang dan suka dengan ajakan istriku. Mahasiswa bukan hanya mendapat ilmu baru, tetapi sekaligus refreshing di tengah kepenatan perkuliahan yang formal.

Maka, kadang saya sendiri merasa iri hati dengan Kota Solo yang memiliki Taman Balekambang. Tapi, saya tidak bisa menuntut kepada penguasa daerahku untuk membuatkan taman seperti Taman Balekambang. Selain harus memiliki lahan yang luas, pohon yang besar-besar, juga butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola ruang publik. Memang, banyak ruang publik yang telah dibuat, tetapi kebanyakan tak terawat dan tak menarik bagi publik, karena memang tak ada magnet untuk hadir di ruang publik tersebut.

Maka, saya mengetuk kepada kepala daerah, bupati, walikota, gubernur , untuk sharing pengalaman dengan Pemkot Solo dalam mengelola ruang publik. Sebenarnya, bukan hanya Taman Balekambang yang bisa dinikmati, banyak ruang publik lainnya yang menarik untuk dikunjungi, misal saja ada Sunday Market di Manahan, yang menyedot ratusan hingga ribuan orang untuk sekadar olahraga sambil belanja.

Tak usah malu  berguru ke Taman Balekambang Solo. Saya yakin dan percaya, kalau semua kepala daerah mau membuat taman seperti Taman Balekambang, tentunya akan menjadi terobosan indah dan semakin dicintai warganya berkat ruang publik yang bisa diakses untuk umum, untuk kepentingan warganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun