Anda punya bayi? Coba perhatikan, betapa lucunya dia? Semua orang pasti  menyukai  dan menyayanginya karena wajahnya yang imut dan menggemaskan. Seiring bertambahnya usia, lambat laun tingkah pola dan wajahnya yang lucu akan hilang. Semua orang tahu itu. Tetapi yang tidak banyak orang  menyadari, pada usia berapa kelucuan itu mulai hilang?  Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa  wajah bayi itu terlihat lucu?
Dua persoalan ini lah yang coba dijawab oleh para peneliti Psikologi dari China dan University of Toronto, seperti yang dikutip dari www.tempo.co.  Menurut Lu Zhu Luo, Hong Li dan Kang Lee yang tergabung dalam penelitian tersebut menyatakan  bahwa, bayi akan terlihat lucu hingga berumur 4,5 tahun. Selebihnya menurut mereka tidak lucu lagi, banyak yang berubah sesuai dengan usia perkembangannya.
Mengapa wajah bayi terlihat lucu?
Para peneliti itu menjelaskan bahwa,  wajah bayi yang lucu dan imut  dengan mata besar dan bening, hidung serta mulut yang mungil adalah terkait dengan strategi manusia dalam mempertahankan species. Bentuk wajah yang imut itu memungkinkan peluang bayi untuk selamat.
Jika pengertian selamat yang mereka maksudkan adalah dalam konteks keberlangsungan hidup, saya setuju. Contoh kasus, Â tidak sedikit, kejadian di rumah sakit, seorang ibu yang berencana meninggalkan bayinya, mungkin karena tidak jelas suaminya. Tetapi begitu si dokter tahu, niatan si ibu ini, biasanya dokter menyarankan agar melihat bayinya dulu. Lihat matanya, dan kelucuannya, akhirnya si ibu ini pun menggagalkan niat jahat tersebut sehingga si bayi pun selamat dan terpelihara.
Melihat contoh kasus yang saya kemukakan diatas, normative, bisa dimengerti, maksud dari pengertian mempertahankan species itu. Tetapi konsep mempertahankan species pada contoh kasus di atas bukan seperti itu, berbeda dengan konsepnya para evolusionis.
Saya kira ada yang kalimat yang mengelabui bahkan menyesatkan. Menurut saya, manusia, tidak bisa mengatur strategi untuk memilih bagaimana bentuk terbaik untuk dilahirkan sehingga bisa selamat, selama masa usia tersebut. Kalau memang benar, lalu, bagaimana mekanisme pemilihan bentuk-bentuk tersebut dilakukan oleh manusia?.
Bisakah kita memilih bentuk hidung mancung, kulit putih, rambut merah agar menjadi lebih disukai oleh orang-orang di Asia dan sebaliknya?. Hal yang tidak mungkin bisa dilakukan. Sama halnya dengan tidak mungkinnya cerita bentuk-bentuk bayi untuk memilih menjadi imut dan menggemaskan, sebagai strategi mempertahankan keberlangsungan species.
Imut, dan  menggemaskan adalah tahap perkembangan awal bayi. Secara alamiah umumnya memang seperti itu. Padahal bentuk imut dan lucu, bukan saja milik pada bayi manusia, juga pada makhluk hidup lainnya. Anjing kampung misanya, betapa lucu dan imutnya anjing-anjing itu ketika masih kecil, bahkan saya sering keliru, dikira adalah keturunan anjing ras. Dan ketika sudah besar, betapa jeleknya anjing ini yang ternyata hanya anjing kampung biasa.
Atau jika Anda pernah ke baby zoonya Taman Safari, betapa lucunya harimau, orangutan, kuda nil ketika masih bayi. Lalu, bagaimana pada tahapan perkembangan selanjutnya? Anda sendiri yang bisa menilai.
Kekeliruan tahap embrio
Kekeliruan serupa pernah terjadi sebelumnya tetapi pada tingkat embiro, ketika Haeckel melakukan perbandingan pada bentuk luar dari beberapa embrio hewan. Tahapan awal perkembangan embrio semua vertebrata mirip, sejak awal pembelahan, morfogenesis dan deferensiasi. Kemiripan inilah dianggap sebagai bukti hubungan evolusi antar vertebrata. Sehingga Haeckel  berani mengambil kesimpulan bahwa tahapan-tahapan perkembangan embrio itu memiliki asal muasal yang sama. Sama-sama melalui tahapan bentuk-bentuk yang seperti ikan dan seterusnya sampai mencapai perkembangan kebentuk kera. Teori inilah yang kemudian dikenal dengan Teori Rekapitulasi, yaitu sebuah rekapan evolusi makhluk hidup dalam sebuah perkembangan embrio.
Apa yang dilakukan Haeckel adalah sebuah karya yang mengelabui, dan menyesatkan. Ada beberapa bagian yang dihilangkan, ada juga bagian lain yang ditambah, dengan maksud skenario evolusi yang dianalogikan melalui perkembangan embrio itu sesuai dengan harapan para evolusionis.
Saat ini para evolusionis sudah tidak lagi menggunakan perbandingan embriologi ini sebagai bukti evolusi. Tetapi sayangnya di beberapa buku pelajaran sampai dengan saat ini masih saja bukti itu dicantumkan.
Kesimpulannya, bahwa penelitian yang dilakukan para ahli Psikologi itu penting bagi pengetahuan, sayangnya masih terkontaminasi oleh cara berpikirnya para evolusionis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H