[caption id="attachment_301059" align="aligncenter" width="448" caption="Orang Afrika di Museum Sejarah Alam, Beijing"][/caption]
Pertengahan Nopember lalu, saya berkesempatan mengunjungi Museum Sejarah Alam di Beijing (Natural History Museum of Beijing). Museum ini terletak di pusat kota Beijing, tepatnya di Jalan Tiangqiao No 126 Dongcheng. Mencari alamat museum ini tidak sulit karena tidak jauh dari tempat wisata terkenal di Beijing seperti: Forbiden City (Kota Terlarang), Tianamen Square, Qianmen Street, dsb.
Ketika saya berkunjung, banyak rombongan pelajar yang dibimbing oleh guru-gurunya mempelajari berbagai koleksi di museum tersebut.  Museum adalah tempat pembelajaran yang menarik, sumber mencari ilmu pengetahuan. Bagi saya museum adalah destinasi wajib yang harus dikunjungi setiap kali ke daerah atau negara. Berkunjung ke museum khususnya museum sejarah alam adalah cara tersingkat untuk mengetahui kemajuan penelitian, temuan fosil-fosil oleh para ahli di sebuah negara.  Tetapi secara khusus, sebetulnya niatan saya adalah ingin melihat dengan mata kepala sendiri koleksi Manusia Peking atau yang disebut juga oleh para evolusionis sebelumnya dengan Sinanthropus pekinensis. Fosil yang ditemukan pada tahun 1923 – 1927 di Zhoukaudian ini, berjarak 48 km dari Beijing. Saat ini kawasan tersebut telah ditetapkan menjadi warisan dunia, UNESCO.
Mengapa fosil Manusia Peking  ini menarik? Karena dari fosil inilah bersama dengan Manusia Jawa (yang sebelumnya disebut Pithecanthropus erectus), Homo erectus menjadi terkenal ke seluruh dunia. Jika Manusia Jawa, sudah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, di sini, http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/14/menelusuri-kembali-jejak-sang-pemburu-missing-link-eugene-dubois-421495.html yaitu bagaimana sejarah awal spekulasi spesies ini di munculkan, saya berharap dapat pula mengungkap spekulasi Manusia Peking ini secara lebih detail. Hampir sama dengan Manusia Jawa,  Manusia Peking ini pun dilahirkan oleh spekulasi yang sama. Beberapa bagian fragmen fosil itu ternyata terbuat dari plester. Sedangkan fosil aslinya sendiri hanya terdiri dari pecahan batok kepala dan dua buah gigi. Sulit dibayangkan, bagaimana para evolusionis bisa merekontruksi fosil tersebut sehingga bisa tersusun menjadi bentuk yang bisa kita lihat di buku-buku teks Biologi, yang kemudian disodorkan kepada khalayak umum sebagai bukti kebenaran evolusi manusia.
Tetapi setelah berkeliling cukup lama, tidak berhasil menemukan fosil dimaksud. Beberapa petugas, sempat saya tanyakan, tetapi mereka tidak tahu. Mungkin bahasa inggris saya yang mereka tidak pahami. Banyak contoh koleksi awetan mahluk hidup, lengkap dengan pohon silsilah dan asal usulnya yang ditampilkan dalam bentuk poster, lengkap dengan ilustrasi yang menarik. Dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang ditampilkan seolah menjadi sebuah bukti kebenaran, seolah ada bukti ilmiah, seoalah ada bukti fosil transisinya. Padahal tidak ada sama sekali. Tidak ada dasarnya, dan sama sekali tidak ilmiah, yang justru berada di salah satu tempat lembaga ilmiah yang banyak dikunjungi oleh masyarakat umum dan pelajar. Apa yang disajikan hanyalah khayalan para evolusionis semata. Tanpa ada bukti yang mendukung dari apa yang ditampilkan.
Diorama Orang Afrika
Dan hal yang lebih mengejutkan saya, di museum ini juga menyimpan koleksi orang Afrika yang dipertontonkan dalam bentuk diorama. Saya tidak tahu, apakah ini awetan asli dari orang tersebut, ataukah hanya patung. Sebab pernah juga ada kisah orang yang diawetkan ini kemudian dipamerkan. Silahkan baca tulisan saya sebelumnya di sini, http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/23/wajah-julia-prastana-membuktikan-bahwa-teori-evolusi-manusia-kera-keliru-536523.html
Lalu, apa maksud pengelola museum ini dengan menempatkan koleksi orang Afrika ke dalam koleksinya? Apakah karena dianggap sebagai salah satu leleluhur manusia modern? Menurut saya tidak sepantasnya menempatkan orang Afrika dan memamerkannya dengan specimen lain di museum tersebut
Ota Benga
Apa yang saya lihat, mengingatkan saya pada kisah orang Afrika bernama Ota Benga yang ditangkap pada sekitar tahun 1904. Ia juga dipertontonkan kepada masyarakat umum pada sebuah Pekan Raya Dunia di St Louis, sebelumnya akhirnya di masukan ke dalam Kebun Binatang Bronx, New York. Ia dipamerkan bersama simpanse, orang utan, dan gorila. Bedanya, Ota Benga dipamerkan dalam keadaan hidup yang dikerangkeng seperti binatang sedangkan orang Afrika yang saya lihat ini dalam bentuk awetan atau mungkin hasil karya pematung (?).
Mengapa Ota Benga diperlakukan seperti itu? Saat itu, banyak orang di pengaruhi oleh pandangan Charles Darwin melalui bukunya, The Descent of Man, sebuah buku yang terbit setelah The Origin of Species. Menurutnya bahwa manusia berevolusi dari mahluk hidup yang mirip kera. Dengan dasar itu, orang berlomba-lomba mencari fosil-fosil ataupun yang masih hidup untuk membuktikan pendapat Darwin tersebut. Ota Benga adalah salah satu korban memilukan dari cara berpikir yang menyesatkan mengenai teori evolusi. Kalau saja mau berpikir dengan logika yang benar, Ota Benga adalah manusia sejati sama seperti kita. Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak, tetapi dipaksakan oleh para ilmuwan evolusi sebagai contoh mata rantai transisi manusia kera yang masih hidup.
Penutup
Ketika saya hendak kembali ke Jakarta, dalam pesawat yang sama, ternyata tepat di depan kursi saya ada seorang wanita Afrika. Dari bawaannya terlihat bahwa ia sedang menikmati liburannya di Cina. Seandainya wanita ini juga mengunjungi Natural History Museum of Beijing, lalu bagaimana perasaannya jika melihat sebangsanya dipertontonkan bersama-sama dengan Simpanse, Gorila, Orang Utan, dan species lainnya? Anda yang bisa menilai sendiri!
@Beijing, 13 Nopember 2013
Referensi:
Philips Vermer Bradford, Harvey Blume, Ota Benga: The Pygmy in The Zoo, New York: Delta Books, 1992.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H