"Jika evolusi pernah terjadi, maka pada batu-batuan itulah jejaknya ditinggalkan. Â Jikalau evolusi tidak pernah terjadi, maka disitu pulalah bantahannya" Thomas Huxley
Nampaknya para evolusionis harus merevisi urutan imajiner evolusi burung, setelah salah satu bukti penting pendukung  teori evolusi dengan apa yang disebut "makhuk transisi"  bernama  Archaeopteryx, ternyata hanyalah dinosaurus kecil berbulunggas.
Dugaan tersebut sebetulnya telah lama diperbincangkan, tetapi penelitian yang dilakukan Xing Xu bersama rekannya lah yang akhirnya membuktikan hal tersebut, sebagaimana dipublikasikan bulan lalu. Xing Xu yang berasal dari Linyl University itu melakukan penelitian pada fosil yang serupa dengan Archaeopteryx, yaitu Xiaotingia zhengi,  sebuah fosil yang seukuran ayam berdating 155 juta tahun dari formasi Tiaojishan di Timur Cina (Nature, 27 Juli 2011).
Dari hasil penelitiannya, Xu, menemukan bahwa tidak ada pertalian darah antara Xiaotingia dengan burung.  Selain itu, Xiotingia berkerabat dekat dengan Deinonychosaurus, di mana di dalamnya ada Velociraptor juga Archaeopteryx.
Selama ini Archaeopteryx telah menjadi ikon, bukti kemegahan teori evolusi, sebagai burung paling awal, mata rantai penghubung antara reptile -  burung dan banyak atribut lain untuk lebih meyakinkan.  Sehingga kedudukannya menjadi sangat penting dalam menyokong teori evolusi.   Archaeopteryx yang sebesar gagak dan hidup sekitar 150 juta tahun yang lalu  ini pertama kali ditemukan oleh pekerja tambang di Jerman. Ditemukan 2 tahun setelah Darwin menerbitkan bukunya, Origin of Species.  Penemuan ini seolah-olah hendak menjawab, apa yang menjadi kesulitan Darwin dengan teorinya ketika itu.
Dalam bukunya, Charles Darwin menyadari akan kelemahan teori evolusi yang dicetuskannya, karena ketiadaan bukti-bukti fosil transisi untuk mendukung teorinya. Fosil peralihan ini menjadi penting, karena makhluk hidup  dianggap berasal dari moyang yang sama yang mengalami modifikasi. Artinya, bahwa species tidaklah kekal, selalu berubah secara bertahap menjadi bentuk-bentuknya seperti yang kita lihat sekarang.
Sebagai konsekuensinya, jika memang teori ini benar, tentu akan sangat luar biasa banyaknya ditemukan fosil-fosil bentuk peralihan ini oleh para Paleontolog. Sebagai gambaran, untuk mudah dipahami,  selama ini ikan paus dianggap berasal dari hewan darat. Sebelum akhirnya hidup di laut, tentu akan banyak mengalami bentuk-bentuk peralihan, dibutuhkan ribuan generasi hingga  menjadi ikan paus seperti yang kita lihat sekarang ini. Kenyataannya, para paleontolog  tidak berhasil menemukan satu pun fosil transisi. Itu baru dari satu species binatang, bagaimana dengan jutaan species lainnya?
Di dalam buku text pelajaran Biologi, Jilid 3 (John W. Kimball) menyebutkan bahwa, Archeopteryx adalah salah satu contoh mata rantai yang hilang  (missing link). Disebut burung, karena memiliki bulunggas dan ciri khas hidup dari bangsa burung  tetapi juga memiliki jejak-jejak masa lalu reptile seperti:   sayap yang rudimenter dan mempunyai cakar, ada gigi dan mempunyai ekor panjang (National Geographic, edisi Febuari 2011). Ciri-ciri ini tidak lagi ditemukan pada burung-burung yang masih hidup sekarang. Padahal bulunggas bukan hanya dimiliki burung, tetapi juga dinosaurus therapoda lainnya seperti: Epidexipteryx yang seukuran merpati hingga Beipiaosaurus yang panjangnya lebih dari 2 meter.
Wajar, jika akhirnya Xing  Xu menempatkan Archaeopteryx sebagai dinousaurus biasa dan menggeser kedudukannya dari sebagai nenek moyang pertama burung.
Referensi:
Xing Xu (College of Life Science, Lynil University, Shuangling Road, Linyl City, Shandong 276005, China). An Archaopteryx-like theropod from China and the origin of A vialae. Nature, 475, 465-470, 27 Juliy 2011
National Geographic Indonesia, edisi Februari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H