Dengan perkembangan teknologi, kegiatan pembelajaran dimungkinkan melewati batas-batas fisik ruang (Oey-Gardiner, et al, 2017). Semakin cepatnya arus informasi dan komunikasi membuat efek domino bagi masyarakat dunia karena apa yang sedang menjadi tren dalam suatu negara lain akan bisa langsung diadopsi oleh negara lainnya (Hermawanto & Anggrani, 2020). Kejadian apapun yang dialami oleh sebuah negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain, atau istilah lainnya telah mengglobal (Subayil, 2020). Hal itulah yang menginspirasi dalam melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif utama bagi pelajar yang adaptif terhadap perkembangan jaman. Iklim itulah yang pada akhirnya mendorong dan melahirkan generasi penerus yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi, sehingga kedepannya lahir bibit-bibit generasi responsif terhadap teknologi (generasi hi-tech) dari segala lini. Lahirnya generasi hi-tech tersebut juga merupakan penggerak utama dari cepatnya perkembangan globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Era saat ini tidak bisa kita pungkiri merupakan era ketergantungan terhadap teknologi. Kondisi tersebut menjadikan manusia tidak dapat hidup tanpa adanya smartphone dan internet. Dengan adanya smartphone semua kebutuhan telah terakomodasi dan tercukupi dalam satu perangkat yang bernama gadget atau smartphone. Sementara kecanggihan gadget akan semakin sempurna dengan terkoneksinya jaringan internet, sehingga segala kebutuhan di era sekarang cukup terwadahi dalam prangkat gadget, mulai dari aktivitas umum sampai aktivitas yang bersifat privat. Imbasnya adalah banyak dari manusia yang berperilaku secara kompulsif atau bahkan sudah terjangkit sebuah "virus" bernama nomophobia, atau sebuah kondisi dimana seseorang tidak dapat menjalani aktivitas harian secara normal dan nyaman tanpa adanya gadget di tangan.
Sezer dan Atilgan (2019) mendefinisikan nomophobia sebagai gangguan masyarakat modern dalam dunia digital dan virtual yang mengacu pada perasaan ketidaknyamanan, kecemasan terkait dengan ketidakmampuan untuk mengakses ponsel (Fadhilah et al., 2021). Jika kita telusur secara riil di lapangan, nomophobia tidak terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Banyak kita jumpai bahwa sejak usia dini, anak anak sudah tidak asing bahkan piawai dalam menggunakan gadget. Kondisi tersebut menjadikan gadget sebagai bagian integrasi yang tak terpisahkan dalam kehidupan sejak usia dini. Padahal dampak berkepanjangan akibat adanya interaksi dengan gadget, terlebih sejak usia dini sangatlah luar biasa, baik dalam hal positif maupun negatif. Pemberian gadget tanpa pengawasan dan pendampingan yang baik akan dapat menimbulkan kecanduan dan kebablasan yang bermuara pada nomophobia. Sehingga seiring berjalannya waktu, menjadi sebuah kebiasaan buruk yang terbawa sepanjang usia. Imbasnya adalah ketika anak-anak dalam usia sekolah, mereka tidak antusias dalam proses pembelajaran yang bahkan cenderung acuh dan lebih memilih bermain gadget daripada belajar dengan tekun.
Â
Degradasi Moral dan Etika
Globalisasi menurut McGrew (1992) adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat dibelahan dunia yang lain (Indratmoko, 2017). Sehingga ketika muncul sebuah hal baru yang cukup menarik perhatian, maka seringkali hal tersebut berpotensi  menjadi sebuah acuan, pertimbangan bahkan sugesti bagi sebagian individu, terlebih pada golongan remaja. Hal demikian terjadi karena pengaruh globalisasi sosial budaya pada era teknologi informasi dan komunikasi yang paling rentan adalah remaja, karena para remaja dapat secara langsung  mengakses berbagai sumber dari internet (Indratmoko, 2017). Pengaruh  globalisasi  tersebut  telah  membuat  banyak  remaja  kehilangan  moral  dan kepribadian  diri  sebagai  bangsa  Indonesia (Setyaningsih, 2019), dan jika diperhatikan dengan seksama, moralitas yang ada pada pada generasi muda sekarang sudah mulai luntur, banyak sekali anak-anak zaman sekarang yang berperilaku tanpa moral di dalamnya (Kurniawan et al., 2023). Tantangan yang muncul di era Revolusi Industri 4.0 (globalisasi) dalam hal pendidikan menurut Qoerul Ahmad Tabiin (2019) diantaranya adalah krisis moral. Hal ini diakibatkan oleh penyalahgunaan media elektronika dan media massa lainnya yang berdampak pada perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan, malas belajar dan tidak punya integritas dan krisis akhlak (Maharani et al., 2022).
Â
Generasi Instan dan Hoax
Jika kita cermati, adanya globalisasi melahirkan sebuah fenomena baru yaitu komparasi terbuka antar banyak hal. Adanya komparasi terbuka membuat individu relatif menuntut adanya "kesempurnaan", karena banyaknya pilihan yang bersifat praktis dan cepat yang ujung-ujungnya menjadi sebuah standar acuan dan tuntutan. Tren inilah yang lama-kelamaan menciptakan kebiasaan (budaya) baru yang dapat disebut juga sebagai budaya instan. Sehingga tren yang berlaku telah bergeser orientasi kepada hasil, dibandingkan beberapa waktu sebelumnya yang berorientasi kepada proses. Kebiasaan manusia yang ingin segala sesuatu diperoleh secara instan ini menurut (Indratmoko, 2017) merupakan dampak dari tuntutan jaman yang semakin kompleks, sebab itu tuntutan ini akhirnya menciptakan orang-orang, alat-alat, ataupun teknologi yang dapat membantu manusia dalam memperoleh sesuatu secara cepat. Sedangkan untuk kondisi saat ini, generasi yang sedang eksis yaitu generasi Z merupakan pembelajar global yang mempunyai karakteristik mampu mengatasi permasalahan yang kompleks secara cepat dengan merangkai segala sesuatunya menjadi cara baru. Hal tersebut menyebabkan anak generasi Z tidak sabar untuk menunggu proses. Generasi Z juga memiliki kecenderungan terburu-buru ingin menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan cara yang instan karena imbas dari komunikasi dan interaksi dengan media sosial yang cenderung lebih cepat dan bersifat praktis (Handayani, 2019).
Mental Kaca