Saya termasuk orang yang susah percaya pada apapun, apalagi menyangkut suatu isu. Baru percaya jika memang sudah melihat atau mendengar sendiri. Dengannya sangat empiris. Contohnya tentang larangan PNS untuk melakukan rapat di hotel yang dikeluarkan oleh MenPAN-RB yang berlaku efektif mulai 01 Desember 2014. Bagi saya yang sedikitnya kenal dengan dunia politik, lebih dari lima tahun berkecimpung di DPR, dengan sangat mudah menangkap bahwa kebijakan itu hanya "pencitraan". Nanti akan dijelaskan di bawah mengenai pencitraan apakah bagus atau jelek.
Kenapa hanya pencitraan? Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, di setiap hotel yang sempat saya datangi, ruang rapat hampir 60 persen dipakainya oleh para PNS, entah itu dinas, instansi daerah, ataupun rapat-rapat kementerian pusat. Belum lama ini, di penghujung bulan November, saya sempat mengikuti training di salah satu hotel di Kuningan, Jakarta Selatan yang diadakan oleh perusahaan swasta. Di depan ruang pelatihan tertulis "Meeting dari Kementerian ESDM", di sebelahnya lagi "Meeting dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan". Turun ke lantai dasar masih ada tulisan "Meeting Kementerian Perindustrian". Saya hitung-hitung semua ruangan rapat di hotel itu lebih dari 8 ruangan. Enam di antaranya diisi oleh rapat-rapat dari Kementerian.
Saya bertanya kepada teman dari Kementerian Perdagangan yang kebetulan ikut dalam pelatihan, katanya "Iyalah bro, kan aturan itu efektif mulai 1 Desember". OK-lah kalau memang begitu. Tetapi, insting politik saya mengendus bahwa peraturan itu dibuat hanya untuk pencitraan. Tidak akan bertahan lama.
Benar saja, pagi ini membaca berita di landing page Yahoo Indonesia dari merdeka.com (media yang sering diidentikan kontra-Jokowi) lengkap dengan fotonya. Foto yang mengisyaratkan KemenPAN sendiri mengadakan rapat bukan di kantornya, tapi menyewa di ruangan pertemuan Balai Kartini, tepatnya di Rafflesia Grand Ballroom.
Insting saya benar: aturan itu lagi-lagi dibuat hanya untuk pencitraan. Bukan berarti saya percaya seratus persen pada foto itu. Sebelum saya menyaksikan sendiri, kebenarannya masih saya anggap fifty-fifty. Tetapi, berarti saya sudah punya modal 50 persen untuk mengatakan bahwa insting saya benar. Tinggal diverifikasi 50 persennya apakah foto itu benar adanya ataukah tidak.
Bukan hanya kebijakan KemenPAN-RB yang pencitraan. Masih banyak lagi yang lain. OK, sebelum saya bahas contoh-contoh yang lain, akan saya bahas dulu apakah "pencitraan itu boleh atau tidak"?
Pencitraan dalam dunia politik adalah sesuatu yang harus ada. Bukan saja di dunia politik tetapi di bidang lain, citra atau pencitraan itu wajar dan penting. Brand atau merek adalah jantung dari citra perusahaan. Iklan produk umumnya untuk meningkatkan citra produk dan citra perusahaan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa semakin tinggi citra produk maka brand equity akan meningkat. Ketika brand equity meningkat maka kepercayaan konsumen pada produk atau perusahaan pun akan meningkat. Outputnya tentu saja akan semakin tingginya tingkat penjualan dan profit perusahaan.
Dengan demikian, tujuan akhir dari citra suatu produk adalah penjualan dan profit. Adapun dalam politik, output atau tujuan akhir dari citra/pencitraan bukan penjualan maupun profit, melainkan trust (kepercayaan). Dalam dunia politik kepercayaan itu sangat mahal, ujung-ujungnya adalah "tingkat elektabilitas". Jadi, pencitraan itu strategi yang harus ditempuh jika ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat dan tingkat elektabilitas.
Maka, ketika saya berbicara "hanya pencitraan" konotasinya bukan buruk, tetapi menempatkan bahwa kebijakan itu murni politis, dibuat untuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Sudah jelas sampai di sini? Mari kita lanjut.
Selama Kabinet Kerja aktif, kalau diperhatikan, banyak sekali kebijakan-kebijakan dikeluarkan yang hanya sampai pada taraf pencitraan. Tidak menyentuh substansi permasalahan intinya. Contoh lain adalah tentang makanan singkong, ubi, dan pisang sebagai makanan wajib rapat-rapat di dinas pemerintah. Mau tahu kenapa ini disebut pencitraan dan tidak menyentuh permasalahan intinya? Silahkan tanya pada petani singkong dan ubi, apakah kebijakan ini mempengaruhi kesejahteraan petani? Saya sendiri sudah menanyakan. Jawabannya tidak. Karena itu bukan masalah intinya. Masalah inti petani adalah mahalnya harga pupuk, susahnya bibit, tengkulak, mahalnya pestisida, dan yang berhubungan langsung dengan proses produksi mereka. Mau meningkat 1000 persen permintaan singkong dan ubi pun tidak akan berpengaruh banyak kalau masalah-masalah itu tetap ada. Yang menikmati tentu saja para tengkulak lagi tengkulak lagi.
Sebut lagi kebijakan tentang penghentian kurikulum 2013. Ini juga murni pencitraan. Tahu dari mana? Guru adalah semacam prajurit kalau di tentara. Mereka berada di garis depan. Bekerjanya berdasarkan komando. Apapun komando dari pusat, yaitu dari Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, apalagi yang berkaitan dengan kurikulum mereka pasti ikut kok. Bukan di kurikulum masalah intinya. Tapi di insentif guru.