Pagi ini saya membaca berita dari Kompas.com dan di beberapa media lain mengenai isi kontrak politik Ahok-Djarot dengan PDIP. Di berita itu bahkan disertakan foto pada saat Ahok menandatangani kontrak politik yang dimaksud. Namun, menurut saya, ada yang janggal dari isi kontrak politik yang ditandatangani.
Apa kejanggalan itu? Di poin ke-10 tertera: "Menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi azas keadilan dan hak asasi manusia". Pertanyaannya: ini kontrak politik untuk Calon Gubernur atau Calon Kapolri? Sejak kapan gubernur, sebagai bagian dari eksekutif, mengemban tugas penegakan hukum? Menjadi sangat aneh calon gubernur diberikan tugas politis menegakkan hukum.
Pertama, penegakan hukum, setahu saya, merupakan wilayah tugas dari yudikatif. Bukan eksekutif. Seperti diketahui, di dalam negara demokrasi dikenal adanya pemisahan kekuasaan yang disebut trias politica, yaitu pemisahan kekuasaan ke dalam 3 kelompok lembaga: eksekutif (pemerintah), legislatif (parlemen), dan yudikatif (lembaga hukum).
Hal ini dimaksudkan agar terjadi check and balance, saling koreksi dan saling mengimbangi agar tidak ada kekuasaan absolut. Jika eksekutif ikut campur dalam proses penegakan hukum, ini petaka bagi bangsa. Presiden saja tidak boleh ikut-campur dalam sebuah proses hukum. Apalagi Gubernur. Lembaga hukum harus independen dari kepentingan politis, murni harus berdasarkan bukti dan mekanisme hukum yang diatur oleh hukum normatif.
Kedua, istilah "penegak hukum" atau "penegakan hukum" merupakan terma tersendiri yang memiliki arti khusus. Dan, hal itu tersebar di banyak Undang-undang kita. Siapakah penegak hukum itu? Anda dengan mudah akan mendapati istilah "penegak hukum" dan "penegakan hukum" di beberapa Undang-undang. Misalnya di Undang-undang tentang Kepolisian disebutkan bahwa tugas kepolisian di antaranya adalah penegakan hukum. Jadi, kepolisian sebagai subjek dari penegakan hukum.
Di Undang-undang lain, misalnya di UU tentang MK, UU tentang Pasar Modal, UU tentang Advokat, dirinci bahwa yang dimaksud penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, MK, KY, advokat, dan lembaga-lembaga lain yang tugasnya memang di bidang penegakan hukum.
Mari kita lihat dari perspektif berbeda, mungkin maksudnya agar jika sudah menjadi gubernur lagi nanti, harus mendukung proses hukum dengan menjunjung tinggi azas keadilan. Meskipun diandaikan demikian, tetap saja rancu. Sekelas PDIP sebagai partai besar, banyak tokoh pintar di dalamnya, penyusunan diksi atau kalimat dalam sebuah kontrak politik harus dipikirkan matang-matang. Namanya saja "Kontrak" yang harus ditandatangani. Kita saja di saat tandatangan kontrak dengan pihak bank untuk pinjam uang harus dibaca secara hati-hati kontrak itu, ada tidak kejanggalan di dalamnya, baru ditandatangani.
"Mungkin itu salah ketik, sembilan poin lainnya kan tidak ada masalah. Kenapa fokus ke yang salahnya?"
Tidak, dalam sebuah dokumen penting, misalnya kesimpulan rapat, kontrak, dan dokumen-dokumen dengan tingkat urgensi tinggi, tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Typo (salah ketik) saja tidak boleh, apalagi kesalahan substansi.
Kontrak politik itu justru memunculkan satu spekulasi tersirat di dalamnya. Dikarenakan penegakan hukum merupakan domain lembaga hukum, di dalamnya ada kepolisian, jangan-jangan poin kesepuluh itu lupa dihapus. Harusnya untuk calon kapolri tapi ini disodorkan ke calon gubernur dengan format yang sama. Tapi masalahnya tidak ada mekanisme calon kapolri harus diusulkan partai. Memang tidak ada, tapi ini isyarat yang tersirat dalam sebuah pesan kesalahan.**[harjasaputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H