Kalimat di atas, “lebih baik punya pemimpin yang mampu bekerja daripada yang lihai berbicara” adalah logis di satu sisi, tapi ada kepentingan di situ, yaitu “justifikasi” atau pembenaran. Karena hanya mengambil probabilitas ekstrim, yaitu Y-A. Namun menutup mata dari 3 probabilitas yang lain. Di sinilah subjektivitasnya.
Perbedaan justifikasi inilah yang sering memunculkan perdebatan.
Adakah probabilitas X - A di dunia nyata? Faktanya sangat banyak. Adakah probabilitas X-B di dunia nyata? Faktanya juga banyak, tapi dari mana kita bisa menjamin bahwa si Z misalnya cenderung memiliki probabilitas ini? Karena tidak ada satu pun dari capres yang sudah menjadi presiden. Adakah Y-B di dunia nyata? Faktanya banyak juga. Kenapa probabilitas ini dikesampingkan? Ini pertanyaan besar.
Itulah bukti bahwa dalam menilai kapasitas seseorang kita seringkali terjebak pada subjektivisme akut: fanatik buta.
Selain itu, antara bekerja dan berbicara adalah dua hal yang berbeda. Jika ingin menilai secara kualitas, sandingkan dengan yang sejenisnya. Yaitu: lebih baik mana orang yang bagus dalam berbicara dengan orang yang tidak bagus dalam berbicara. Sudah sampai di situ saja. Baru setelah itu lihat lagi: bagusan mana orang yang mampu bekerja dengan tidak mampu bekerja. Dengannya perbandingannya setara: apple to apple. Jika kemudian harus membandingkan antara kedua jenis itu, libatkan 4 probabilitas di atas, baru itu obyektif.**[harjasaputra]
-------
Note: saya tidak sedang membela salah satu calon, ini murni soal probabilitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H