Mohon tunggu...
Heni Helmiati Juhari
Heni Helmiati Juhari Mohon Tunggu... -

Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan Kota Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewujudkan Cita-cita Indonesia Negara Ramah Anak

20 Juni 2016   10:30 Diperbarui: 20 Juni 2016   10:38 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Layak Anak harus digelorakan, dicita-citakan, karena kebijakan KLA merupakan upaya untuk mewujudkan janji Indonesia Ramah Anak. * all-free-download.com

PADA banyak kasus kekerasan terhadap anak, seperti juga telah disinyalir pihak kepolisian dan institusi pemerhati anak, ternyata pelakunya adalah orang dekat korban. Bila tidak ada kaitan keluarga, pelaku berasal dari lingkungan yang dekat dengan rumah korban. Lihat saja tewasnya PNF (9), siswi kelas 2 di SD Kalideres, Jakarta Barat beberapa waktu lalu, ternyata pelakunya tinggal tidak jauh dari rumah korban. Begitu juga pelaku tewasnya AGL (9), di Denpasar, Bali. Bocah cantik ini diduga kuat dibunuh oleh ibu angkatnya sendiri. Tidak ketinggalan, korban YYN (14), pada April lalu siswi SMP di Ulak Tanding, Bengkulu ini, ternyata tewas di tangan para pemuda tetangganya.

Kenyataan miris ini dipertegas temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang  menyatakan kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI, dalam kurun itu di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persennya anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, sisanya menjadi koraban di lingkungan sekolah, dan urutan berikutnya menjadi korban di lingkungan masyarakat.

Pada banyak kasus yang menimpa anak-anak, keberadaan lingkungan tidak lagi nyaman, tidak lagi aman, dan tidak lagi ramah untuk anak-anak bermain. Padahal, bermain adalah dunia anak-anak. Bermain adalah cara anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, mengasah nalar dan rasa, juga mengembangkan keterampilan fisik. Pentingnya bermain dalam perkembangan anak, seperti bekerja bagi orang dewasa. Kalau orang dewasa bekerja 8 jam sehari, maka sebanyak itulah anak-anak perlu bermain.

Tidak hanya dari segi keilmuan, dari segi hukum, Undang Undang Perlindungan Anak No. 23/2002, Pasal 11, menegaskan bahwa anak-anak punya hak untuk “kegiatan rekreasi dan bermain untuk pengembangan diri.” Bila anak-anak tidak mendapatkan dunia bermainnya, maka hak-hak mereka telah terampas. Kini di Indonesia, jumlah anak ada sekitar 87 juta jiwa yang harus dijaga oleh negara (Detik.com, 27/03/16). Dari jumlah anak sebanyak itu, berapa banyak yang telah terampas dunia bermainnya?

Sadar terhadap pentingnya hak-hak anak ini, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 2006 mencanangkan terwujudnya Kota Layak Anak (KLA). KLA adalah kota yang menjamin setiap anak untuk memperoleh semua haknya selayaknya warga sebuah kota, baik hak kesehatan, pendidikan, mendapatkan perlindungan, dan berpendapat tanpa ada diskriminasi.

Sejak kebijakan KLA dirintis pada 2006, sejumlah kepala daerah pun kemudian serta-merta mencanangkan wilayahnya sebagai KLA. Sampai akhir 2014 saja, tercatat ada 230 kabupaten/kota yang mencanangkan wilayahnya sebagai KLA. Namun seiring dengan bermunculannya berbagai kasus kekerasan yang terjadi pada anak di berbagai kota/kabupaten, seiring pula belum terpenuhinya hak-hak anak dalam hak kesehatan, pendidikan, mendapatkan perlindungan, dan berpendapat tanpa ada diskriminasi, maka dengan sendirinya kota/kabupaten tersebut seperti “mengerem diri” untuk tidak terlalu menggembar-gemborkan wilayahnya sebagai KLA. Kota/kabupaten ini lebih memilih segala program pembangunannya diorientasikan pada pemenuhan terhadap hak-hak anak daripada sekadar gembar-gembor, yang akhirnya kecolongan juga.

Keterlibatan Keluarga

Tidak seperti membangun sebuah gedung yang bisa dilihat langsung hasilnya, membangun sebuah KLA membutuhkan waktu panjang. Membangun KLA adalah membangun sebuah konsep, program,  dan tatanan untuk mendapatkan anak yang sehat, cerdas, berakhlak mulia, terlindungi, dan bisa aktif berpartisipasi dalam kebijakan publik. Seperti telah disinggung, setidaknya ada empat bidang yang harus digarap, yakni bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak.

Baik terkait secara langsung maupun tidak langsung untuk turut membangun KLA, khususnya dalam penguatan peran keluarga, April tahun lalu Direktorat Keayahbundaan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun diresmikan dengan nama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Sejumlah program sudah direncanakan instansi tersebut, seperti penanganan perundungan atau bullying, pendidikan penanganan remaja, penguatan prestasi belajar, pendidikan karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup, serta pendidikan pencegahan perilaku destruktif.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga ini juga akan mengembangkan program pencegahan perdagangan orang, narkoba, dan HIV/AIDS agar keluarga Indonesia menjadi lebih kuat. Sekadar informasi, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga berada di bawah Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas. Struktur ini telah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan nomor 11 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga memiliki empat subdirektorat, yakni Program dan Evaluasi, Pendidikan Bagi Orangtua, Pendidikan Anak dan Remaja, serta Subdirektorat Kemitraan. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga bermaksud agar penduduk usia dewasa memperoleh wawasan dan pemahaman tentang kiat mendidik anak sejak janin hingga dewasa. Kemendikbud menargetkan hingga 2019, jumlah penduduk dewasa yang mendapatkan layanan pendidikan keluarga mencapai 4.343.500 orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun