Mohon tunggu...
Hariyawan Esthu
Hariyawan Esthu Mohon Tunggu... Ghostwriter -

Ghostwriter, peminat masalah sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“No Free Lunch” Bagi Umar Patek

11 April 2016   10:20 Diperbarui: 11 April 2016   10:39 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.antaranews.com"][/caption]ADA dua peristiwa yang menyita perhatian pemberitaan yang dilakukan terpidana kasus terorisme Umar Patek alias Hisyam bin Alizein. Peristiwa pertama, yaitu ketika terpidana pelaku Bom Bali yang menewaskan 202 korban jiwa dan pengeboman di gereja Jakarta pada 2000 silam  ini menjadi pengibar bendera Merah Putih pada upacara Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Mei tahun lalu. Peristiwa – baru niatan-- ke dua, yaitu kesediaan dirinya menjadi negosiator pembebasan 10 WNI yang ditawan kelompok Abu Sayyaf di Filipina.

Sebagai ilustrasi ke belakang, Patek menjalani pidana 20 tahun penjara karena terlibat peristiwa bom Bali I tahun 2002. Setelah peristiwa bom Bali I, Umar langsung pergi ke Filipina Selatan bergabung dengan Kelompok Abu Sayyaf. Dia di Filipina hingga tahun 2009 sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada awal tahun 2010 dan kemudian ditangkap di Pakistan setahun kemudian, tepatnya pada 25 Januari 2011, atau empat bulan sebelum pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, terbunuh dalam operasi penyerbuan pasukan elite Amerika Serikat, Navy SEALs, di kota yang sama.

Kabar penyanderaan 10 WNI oleh Kelompok Abu Sayyaf di Pulau Sulu, Filipina, mengusik Patek. Dia menyatakan bersedia membantu upaya negosiasi Pemerintah Indonesia dengan Abu Sayyaf.

Sebagaimana dilansir media, Patek yang ditemui di Lapas Porong menuturkan, dirinya mengenal baik pimpinan Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI anak buah kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Patek pernah bergabung dengan kelompok tersebut pada tahun 2003 hingga 2009.

Puncaknya, ia pernah didapuk sebagai salah satu anggota Majelis Syura Abu Sayyaf di bawah pimpinan Khadaffy Janjalani pada 2005-2006. Majelis syura diemban tokoh-tokoh senior dan berpengaruh Abu Sayyaf. Jabatan itu berperan penting dalam menentukan kebijakan kelompok tersebut.

Pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI ialah Al-Habsi Misaya dan Jim Dragon alias Junior Lahab. Ketika masih bergabung dengan Abu Sayyaf, Patek mengungkapkan, Jim dianggap sebagai tokoh senior yang setara dengan dirinya, sedangkan Al-Habsi masih anggota yunior. Kala itu, Al-Habsi lebih banyak bertugas melakukan dokumentasi terhadap aksi pembunuhan sandera, misalnya terhadap tujuh pekerja asal Filipina pada 2007.

Rupanya “tidak ada makan siang yang gratis” (no free lunch).  There no ain’t such thing as a free lunch. Bagi Patek, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di dunia ini. Seperti dilansir  Manilatimes, Sabtu (9/4), Patek yang dikunjungi oleh pejabat pemerintah  dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)  di penjara Sulawesi, menyatakan akan membantu apabila diberi keringanan hukuman menjadi 10 tahun penjara.

Dengan tuntutan Patek seperti itu, tiba-tiba penulis teringat pada pernyataan Patek setahun lalu saat dirinya usai mengibarkan Merah-Putih itu, yang berkata berapi-api, "Motivasi saya untuk mengibarkan bendera Merah Putih ini karena saya seorang Warga Negara Indonesia dan ingin menunjukkan bagaimana saya mencintai negara saya sendiri, Indonesia."

Patek mengakui mencintai negaranya, Indonesia. Tetapi secara tersirat, bagi penulis sebenarnya dia lebih mencintai hidupnya. Dengan tidak menyadari konsekuensi ratusan nyawa melayang yang telah menjadi korban aksi terornya, dia secara mudah berhitung matematika; setiap satu nyawa WNI yang disandera bernilai dengan satu tahun masa hukumannya. Jadi, baginya 10 sandera senilai dengan 10 tahun masa kurungannya. Bukan musttahil bila ada 20 WNI yang disandera, dia minta keringanan 20 tahun penjara alias bebas. Bagaimana bila ada 20 lebih sandera WNI yang berhasil dinegoisasinya? Jangan-jangan teroris kita ini menuntut bintang jasa kepada negara.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun