DARI sebuah laman kisah-kisah inspiratif, penulis tertarik pada salah satu percakapan antara ayah dengan seorang anaknya.
“Ayah, temanku tadi cerita kalau ayahnya selalu membiarkan tangannya sendiri digigit nyamuk sampai nyamuk itu kenyang, supaya ia tidak menggigit temanku. Apa Ayah juga akan berbuat yang sama?”
“Tidak. Tetapi, Ayah akan mengejar setiap nyamuk sepanjang malam, supaya tidak sempat menggigit kamu atau keluarga kita.”
“Yah, aku waktu itu pernah dengar cerita ada ayah yang rela tidak makan supaya anak-anaknya bisa makan kenyang. Kalau Ayah bagaimana?”
“Ayah akan bekerja keras agar kita semua bisa makan sampai kenyang. Jadi, kamu tidak harus sulit menelan karena melihat ayahmu menahan lapar.”
Si anak tersenyum puas, lalu memeluk ayahnya dengan penuh sayang.
“Makasih, Ayah. Aku bisa selalu bersandar pada Ayah.”
Sembari mengusap-usap rambut anaknya, sang Ayah membalas, “Tidak, Nak! Tetapi Ayah akan mendidikmu supaya bisa berdiri kokoh di atas kakimu sendiri, agar kamu nantinya tidak sampai jatuh tersungkur ketika Ayah sudah tidak ada lagi di sisimu. Karena tidak selamanya Ayah bisa mendampingimu.”
Jadi, adalah bijak bila semua orangtua tidak hanya menjadikan dirinya tempat bersandar bagi buah hati mereka, melainkan juga membuat sandaran itu tidak lagi diperlukan di kemudian hari. Adalah bijak jika para orangtua membentuk anak-anaknya sebagai pribadi mandiri kelak di saat orangtua itu sendiri tidak bisa lagi mendampingi anak-anaknya di dunia.
Apakah kita sebagai seorang ayah –kepala keluarga-- sudah menjadikan diri kita sandaran yang dapat diandalkan bagi anak-anak dan istri kita, pun ketika kita telah tiada? Apakah kita sudah menyiapkan masa depan keluarga kita?
Masa Depan Adalah Hari Ini