SERING saya mengatakan, sistem pendidikan nasional yang tidak berbasiskan "logics", hanya akan melahirkan lulusan-lulusan yang pandai di bidang ilmunya, tetapi tumpul dalam berlogika. Apabila mereka menjadi pemimpin atau pejabat, maka bisa jadi kebijakan-kebijakannya akan menyalahi prinsip-prinsip ilmu logika yang benar. Akibatnya, bongkar pasang undang-undang dan bongkar pasang kebijakan. Juga banyaknya undang-undang dan kebijakan yang tumpang tindih.
Salah satu contoh "overlapping logic" yaitu adanya tumpang tindih wewenang penanganan kasus korupsi oleh polri, kejaksaan dan KPK. Walaupun sudah ada MOU, UU Tipikor dan UU lain yang berhubungan dengan penanganan korupsi, namun potensi konflik kewenangan antara ketiga lembaga tersebut tetap ada. Hal ini karena, lebih satu lembaga mempunyai kewenangan yang sama. dan ini merupakan kesalahan berlogika.
Logika yang benar yaitu "one institution one authority", satu kewenangan tertentu hanya dimiliki oleh satu lembaga tertentu saja. Misalnya, kasus korupsi hanya ditangani KPK , sedangkan kasus nonkorupsi ditangani kejaksaan dan polri. Atau melakukan pembagian wewenang yang sama atau "split of authority". Misalnya, kasus-kasus besar, misalnya korupsi Rp 10 milyar ke atas ditangani KPK sedangkan di bawah Rp 10 M merupakan wewenang polri dan kejaksaan. Logika yang jelas (clara et distincta) perlu dibuat dan dituangkan dalam bentuk MOU dan sebaiknya dalam bentuk undang-undang atau revisi undang-undang yang ada. Selama undang-undangnya masih bersifat "overlapping" atau tidak "clara et distincta", maka polri, kejaksaan dan KPK masih berpotensi memiliki konflik kewenangan. Sampai kapanpun. (Hariyanto Imadha).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H