Mohon tunggu...
Hariyanto Imadha
Hariyanto Imadha Mohon Tunggu... wiraswasta -

A.Alumni: 1.Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti Jakarta 2.Akademi Bahasa Asing "Jakarta" 3.Fakultas Sastra, Universitas Indonesia,Jakarta. B.Pernah kuliah di: 1.Fakultas Hukum Extension,UI 2.Fakultas MIPA,Universitas Terbuka 3.Fakultas Filsafat UGM C.Aktivitas: 1.Pengamat perilaku sejak 1973 2.Penulis kritik pencerahan sejak 1973

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa: Tidak Ada Gunanya Berdebat Soal Kata, Istilah Atau Definisi

11 September 2013   17:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:02 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FACEBOOK-BahasaTidakAdaGunanyaBerdebatSoalKataIstilahAtauDefinisi

ORANG Indonesia, ada yang suka sekali berdebat, mempertahankan pendapat, seolah-olah pendapatnya sendirilah yang benar. Apalagi kalau soal kata, istilah atau definisi. Kata, istilah atau definisi “kafir” saja bisa bermacam-macam. Ada belasan dan bisa puluhan pengertian. Ada yang sama, ada yang mirip dan tentunya banyak yang berbeda, baik sudut pandang, sudut persepsi, sudut pemahaman maupun sudut logikanya. Tanpa disadari, mereka terjebak pada “The Problem of Semantics” yang tidak ada gunanya karena sampai kapanpun tidak akan ada titik temunya. Justru bisa menimbulkan sikap “snob” (sok tahu, sok mengerti dan sok pandai).

Apakah kata, istilah atau definisi itu?

Ada yang menyamakan kata, istilah atau definisi. Tidak apa-apa. Tetapi di dalam artikel ini perlu kami bedakan.

Kata, adalah kumpulan huruf yang mengandung arti dan berfungsi menggantikan sesuatu objek pembicaraan. Misalnya “dingin”, “cinta”,”meja”,”langit” dan lain-lainnya.

Istilah, adalah kata yang lebih bersifat teknis. Memerlukan uraian pendek. Misalnya “konsekuen”, “konsisten”, “paradok”,”kontroversi” dan semacamnya.

Definisi, yaitu uraian yang berusaha memberikan penjelasan tentang arti daripada sebuah kata atau istilah dari sudut pandang, sudut persepsi atau sudut pemahaman masing-masing orang pada umumnya dan masing-masing penulis pada khususnya.

Mana yang benar mana yang salah?

Biasanya, kalau terjebak pada perdebatan soal kata, istilah atau definisi, maka orang akan memperdebatkan mana yang “benar” dan mana yang “salah”.

Wilayah logika bahasa

Kalau sudah mencakup soal “benar” atau “salah”, maka itu sudah memasuki bidang “linguistics” (ilmbu bahasa) dan “logics” (ilmu tentang kebenaran.

Apakah linguistics itu?

Linguistics adalah ilmu yang mempelajari bahasa, meliputi phonetics, etimology, phonemics, semantics, usage, idioms, intonation, dan lain-lainnya.

Apakah logics itu?

Logics adalah ilmu tentang cara berpikir yang benar dan yang salah baik secara silogisme maupun secara epistemologis.

Apakah logika bahasa itu?

Yaitu gabungan antara ilmu logika dan ilmu bahasa yang bertujuan untuk mencari arti yang benar dari sebuah kata, istilah maupun definisi

Apa ukuran kebenaran daripada sebuah kata, istilah atau definisi? Yang pasti haruslah ada referensi, terutama referensi tertulis yang diakui secara internasional. Antara lain dictionary atau kamus internasional semisal Webster Dictionary, Oxford Dictionary ataupun kamus lokal berupa KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) atau semacamnya. Jika tidak ada maka berdasarkan hasil survei di Google sejauh itu dianalisa terlebih dulu dari sudut pandang ilmu bahasa maupun ilmu logika.

Terjebak pada The Problem of Semantics

Seringkali tak disadari, orang akan terjebak pada “The Problem of Semantics”. Terjebak pada makna kata, apalagi kalau dikaitkan dengan simbol-simbol.

Contoh:

Kata “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” disimbolkan empat buat “tiang” berderet-deret secara paralel. Bisa dimaknai, tiang pertama adalah Pancasila, kedua adalah UUD 1945, ketiga adalah NKRI dan keeempat adalah Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan persepsi pertama.

Persepsi  “lantai” dan “tiang” Ada yang mengatakan, Pancasila itu bukan “pilar” tetapi harus ,merupakan “dasar negara”, oleh karena itu Pancasila letaknya harus di “bawah”-nya pilar-pilar itu.

Persepsi anak tangga

Seharusnya dismbolkan sebagai tangga. Tangga paling bawah Pancasila, atasnya UUD 1945,atasnya lagi NKRI dan paling atas Bhineka Tunggal Ika.

Persepsi piramida

Ada yang mengatakan, seharusnya Pancasila paling atas, di bawahnya UUD 1945,dibawahnya lagi NKRI dan paling bawah Bhineka Tunggal Ika.

Dan masih ada persepsi-persepsi lain yang antara lain ingin memasukkan unsur GBHN dan unsur-unsur lainnya.

Analogi : Sebuah buku novel dibaca 1.000 orang.

Kita andaikan kita bagikan sebuah novel berjudul “Di Telaga Sarangan Pernah Ada Cinta” dan dibaca oleh seribu orang. Sesudah dibaca, kita tanya bagaimana pendapat mereka tentang novel itu. Pastilah, akan ada pendapat yang berbeda-beda walaupun ada juga yang mirip, agak mirim atau sama yang pasti tidak mungkin sama 100%. Sungguhnya, pendapat  siapa yang paling benar? Tentunya pendapat penulis novel itulah yang paling benar sebab sumber idenya berasal dari otak penulis itu.

Harus diuji melalui epistemologi

Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kebenaran secara material, faktual, realistis, objektif berdasarkan data, fakta maupun referensi yang nilainya lebih tinggi. Merangkum semua sudut pandang, persepsi dan pemahaman.

Perlu pendekatan filsafat bahasa

Fiilsafat adalah ilmu yang mempelajari titik tolak pemikiran, alur pemikiran dan implikasi pemikiran. Oleh karena itu soal kata, istilah atau defisini, terutama kata, istilah atau definisi “pilar” juga perlu memahami filsafat berpikirnya si pencetus kata-kata “Empat Pilar Berbangsa Dan Bernegara”. Harus kita pahami titik tolak pemikirannya, alur pemikirannya dan implikasi pemikirannya.

Tidak ada gunanya berdebat dan saling menyalahkan

Dengan demikian, karena satu kata, istilah atau deskripsi, bisa diartikan, dipersepsikan atau dipahami dari sudut pandang yang berbeda, maka perdebatan tentang kata, istilah atau definisi merupakan perdebatan yang tidak ada gunanya. Inilah yang disebut dengan kalimat “The problem of semantics”. Yang memang tidak ada gunanya, buang-buang waktu, karena masing-masing pihak ngeyel dan tidak akan ada titik temunya. Oleh karena itu sebaiknya masalah kata, istilah,definisi kita kembalikan saja ke referensi yang valid, bertaraf internasional atau didukung linguistics dan logics yang benar. Dengan demikian akan kita peroleh kebenaran tingkat tinggi.

The aurhority of the author

Ada prinsip di dalam dunia tulis menulis, yaitu seorang penulis artikel, buku dan lain-lainnya mempunyai wewenang untuk membuat definisi maupun deskripsi tentang sesuatu hal sesuaai dengan sudut pandang, persepsi atau pemahaman masing-masing penulisnya. Asal, definisi itu harus dijadikaan alur pembahasannya yang mengandung implikasi-implikasi yang logis dan benar.

Solusi

1.Tanyakan langsung ke penulisnya

2.Tanyakan langsung ke sumbernya

3.Baca definisi atau deskripsi yang dibuat oleh penulisnya

4.Cari referensi bertaraf internasional

5.Analisalah menggunakan linguistics (ilmu bahasa), logics (ilmu logika) dan philosopy (ilmu filsafat)

Kesimpulan

Berdebat soal kata, istilah atau definisi tanpa didukung pengetahuan Linguistics dan Logics, tentu akan terasa kurang berbobot. Artinya, perlu pendekatan interdisipliner ataupun multidisipliner. Tidak cukup cuma secara monodisipliner saja.

Catatan:

Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen.

Hariyanto Imadha

Pengamat perilaku bahasa

Sejak 1973

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun