SALAH satu penyebab keterpurukan bangsa dan negara Indonesia adalah, sejak Indonesia merdeka, para politisi lebih sibuk memikirkan kepentingan politik daripada kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan parpol maupun pribadi jauh lebih menonjol daripada kepentingan rakyat. Lihat saja kehidupan saudara-saudara kita di daerah terpencil ataupun yang berada di wilayah perbatasan dengan negara-negara lain. Terkesan sangat menderita dan tak terurus. Infrastrukturnya boleh dikatakan teramat parah bahkan nyaris tidak ada.
Apapun nama parpolnya tujuannya tetap sama Boleh saja parpol bernama A, B, C, D, E dan seterusnya. Boleh saja azasnya A, B, C, D, E dan seterusnya, tetapi secara umum tujuannya tetap sama. 1.Ingin menang 2.Ingin berkuasa 3.Ingin mendapat proyek besar 4.Ingin memperkaya diri 5.Ingin mempertahankan kekuasaan ad.1.Ingin menang Tidak ada satupun parpol punya cita-cita kalah. Semuanya ingin menang. Untuk itu disusun strategi pemenangan mulai dari yang jujur sampai yang curang. Mulai dari cara yang halus dengan cara yang kasar. Mulai dari tanpa uang hingga memakai uang yang sangat besar. Mulai dari jujur hingga sampai yang tidak jujur. Sumber dana bisa dari mana saja. Mulai dari yang halal hingga yang haram. Mulai dari dana sendiri hingga dana utang. Bahkan jika perlu, untuk menjadi calegpun parpol memungut biaya mulai dari puluhan juta hingga milyaran rupiah. Bahkan bagi parpol yang berkuasa kalau dipandang perlu, memakai uang negara dengan alasan ini alasan itu seoah-olah demi kepentingan bangsa dan negara. Di dalam kampanyenyapun mengobral janji sorga yang secara rasio tidak mungkin dilakukannya. Apalagi 70% pemilih tergolong pemilih yang masih bodoh politik, maka dengan mudahnya semua parpol “ngibulin” para pemilihnya dengan berbagai “iing-iming politik”. Bahkan jika perlu dengan cara “money politic” atau melakukan berbagai kecurangan.Kalau perlu, minta dana besar dari negara asing, tentunya dengan imbalan jika menang, negara asing mendapat imbal prestasi. Misalnya, boleh mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan syarat-syarat yang sangat ringan atau boleh menguasai aset-aset ekonomi Indonesia, memonopoli pemasaran dan semacamnya. 2.Ingin berkuasa Ketika menang, maka keinginan tahap berikutnya adalah ingin berkuasa. Oleh karena itu untuk pos-pos basah, harus dipegang oleh orang-orang politik yang bisa dipercaya. bahkan jika perlu melakukan politik “balas budi” dengan cara memberikan jabatan-jabatan atau posisi-posisi tertentu bagi mereka yang dianggap telah ikut mensukseskan kemenangan parpolnya, tanpa melihat apakah seseorang punya kompetensi atau tidak. Dan untuk jabatan-jabatan tertentu “dijual” dengan tarif milyaran hingga ratusan milyar rupiah. Jika perlu juga memperalat lembaga survei dengan tujuan untuk mempengaruhi opini dan pilihan rakyat. bahkan kalau perlu menggunakan atau menjual agama sebagai azas dan alat politiknya untuk mengelabui para pemeluk umat beragama tertentu. 3.Ingin mendapat proyek besar Karena semasa kampanye mengeluarkan dana yang sangat besar, maka tahap berikutnya adalah berpikir kembali modal. Oleh karena itu selalu berusaha sedemikian untuk mendapatkan proyek-proyek besar bernilai milyaran hingga triliunan rupiah. Dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan milik para anggota parpolnya dengan syarat sebagian harus disetorkan ke kas partai. Tentu, jumlahnya cukup besar. Dan untuk memenangkan tender, ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari yang jujur hingga yang sangat tidak jujur. Mumpung berkuasa. 4.Ingin memperkaya diri Sesudah kembali modal, maka memperkaya diri sendiri pastilah dipandang perlu. mana ada orang masuk parpol tetapi tidak ingin kaya raya. Maka, dengan berbagai cara dan usaha, dimulailah usaha-usaha untuk memperkaya parpol ataupun diri sendiri. Melalui para anggota parpolnya, mulai menggerogoti uang APBN dengan berbagai cara. Mulai dari memanifulasi data, melakukan penggelembungan angka atau mark up, hingga jelas0jelas melakukan korupsi secara terang-terangan maupun yang secara sembunyi-sembunyi. Baik korupsi pribadi maupun korupsi berjamaah. Cara korupsinyapun bermacam-macam. Yang pasti, di mana ada proyek, di situ ada korupsi. 5.Ingin mempertahankan kekuasaan Untuk mempertahankan kekuasaannya, maka bisa ditempuh dengan berbagai cara. Antara lain mengadakan kegiatan-kegiatan politik pencitraan. membuat kebijakan-kebijakan yang seolah-olah pro rakyat. Membohongi rakyat seolah-olah sembako cukup, padahal dilakukan dengan cara impor dan buan dengan cara mandiri atau swasembada sembako. BBM dikatakan cukup, bukan dari hasil usaha sendiri tetapi dengan cara impor. Gaji TNI/Polri/PNS dinaikkan tetapi dengan cara utang ke berbagai negara, akibatnya anggaran rutin selalu lebih besar daripada anggaran pembangunan. Ini berarti anggaran APBN/APBD tidak benar-benar pro rakyat. Cara lain yaitu membuat kegiatan-kegiatan yang kelihatannya pro rakyat, tetapi sebenarnya bernuansa politis. Misalnya BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang pada prakteknya hanya dilakukan oleh parpol tertentu dan diklaim sebagai kebijakan parpolnya saja. Walaupun ada program-program yang terkesan pengentasan kemiskinan, namun nampak sekali program itu tidak dilaksanakan secara serius. Demi menjaga citra dan kekuasaannya, maka sering diumumkan angka-angka statistik tentang pertumbuhan ekonomi yang naik, income per capita naik, cadangan devisa yang tinggi dan indikator-indikator ekonomi makro yang sebenarnya tidak sesuati dengan realita yang ada. Antara lain, angka kemiskinan yang sebenarnya masih sangat tinggi (apabila menggunakan standar atau kriteria yang ditetapkan oleh PBB). Kesimpulan umum 1.Parpol tidak lagi sebagai institusi yang benar-benar demi kepentingan bangsa dan negara, tetapi titik beratnya lebih kepada kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. 2.Kebijakan-kebijakan pro rakyat hanya merupakan kegiatan basa-basi yang tidak pernah ditanganinya secara serius. 3.Besarnya utang pemerintah yang selalu bertambah mencerminkan adanya salah kelola dalam kehidupan ketatanegaraan maupun pengelolaan keuangan negara. 4.Selalu lebih besarnya anggaran rutin daripada anggaran pembangunan di dalam APBN/APBD merupakan cermin dan bukti bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak benar-benar pro rakyat. Antara lain ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. 5.Apapun nama parpolnya, apapun azasnya, jualannya sama saja, yaitu: seolah-olah pro rakyat, seolah-olah demi perubahan, seolah-olah anti korupsi, seolah-olah mampu menyediakan sembako dan BBM murah dan seolah-olah mampu menyediakan sekolah gratis dan kesehatan gratis bagi akyat. Apapun nama parpolnya, apapun azasnya, semua punya tujuan yang sama, yaitu: menang, berkuasa,mendapatkan proyek besar,memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Kesimpulan khusus: Rakyat hanya dijadikan objek politik dan bukan sebagai subjek politik. Semoga Anda dan rakyat pemilih semakin cerdas Catatan: Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen. Hariyanto Imadha Pengamat Perilaku Politik Sejak 1973
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H