SISTEM politik Indonesia boleh dikatakan belum profesional. Masih abal-abal. Mulai dari syarat-syarat menjadi capres, cagub, cabup, cawali, caleg yang telalu mudah, syarat mendirikan parpol yang terlalu mudah, koalisi parpol lebih dari 50%, sistem pemilu/pemilukada yang sangat rawan disusupi orang-orang bayaran untuk memenangkan calon pemimpin atau caleg tertentu, hingga ke berbagai instansi politik seperti KPU, Bawaslu maupun MK . Semua bisa disusupi orang-orang politik dari parpol tertentu. Demokrasi wani piro Apalagi ditambah dengan demokrasi wani piro. Semuanya serba uang. Ingin jadi caleg, bayar. Ingin jadi cawali, cabup, cagub, capres harus punya modal. Maka para calon politisipun mencari uang dengan segala cara. Mulai dari menjual harta bendanya hingga utang kesana-kemari hanya dengan tujuan mendapatkan kekuasaan. Motivasi berpolitik yang rendah Sebagian besar motivasi dari politisi telah berubah dengan radikal. Tidak lagi serius berjuang demi bangsa dan negara, tetapi semata-mata ingin menang, berkuasa, mendapatkan proyek besar, memperkaya diri sendiri dan mempertahankan kekuasaannya untuk periode berikutnya. Harus balik modal Karena biaya politik yang tinggi, mulai dari ratusan juta hingga triliunan rupiah, maka pastilah semua politisi berpikir untuk balik modal. Omong kosong kalau ada yang mengatakan tidak ingin balik modal. Politisi yang mengatakan tidak ingin balik modal akan dianggap sbagai politisi bodoh. Maka hampir dipastikan 99% capres dan caleg punya keinginan agar bisa kembali modal. Harus mendapatkan keuntungan Balik modal saja tidaklah cukup. Pasti ada keinginan atau motivasi untuk memperkaya diri. Bisa dengan cara mendapatkan proyek-proyek besar. Bahkan kalau kepepet mencari uang dengan segala cara termasuk pemborosan anggaran, cari alasan studi banding ke luar negeri, memanipulasi dana ini dana itu dan jika perlu melakukan korupsi secara besar-besaran. Bahkan jika perlu korupsi berjamaah. Kenapa harus korupsi? Mereka korupsi tidak sekadar ingin balik modal, tetapi juga ingin kaya raya dengan cara mudah dan cepat. Ingin rumah mewah, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, bunga deposito yang sangat besar, perhiasan emas intan berlian dalam jumlah banyak. Boleh dikatakan tidak ada politisi yang ingin rugi atau jadi kere. Pola pikir dan gaya hidup hedonisme telah meracubi logika dan kehidupan mereka. Bukankah mereka sudah disumpah? Bagi mereka sumpah merupakan acara seremonial saja. Basa-basi saja. Soal sanksi hukuman selama masih hidup atau sanksi di akherat, baginya masih abstrak. Itu urusan nanti. Yang penting begitu ada kesempatan korupsi, ya korupsilah. Ritual agama hanya basa-basi saja Bukankah mereka rajin beribadah? Ya, iyalah. Tapi bagi mereka, ibadah hanya ritual basa-basi saja. Mereka beribadah hanya fisiknya saja, sedangkan rohaninya tidak beribadah. Mereka adalah orang-orang yang beriman tipis. Dosa bisa dihapus,kok. Walaupun mereka tahu korupsi itu dosa, tapi mereka punya anggapan, kalau mereka puasa pada bulan Ramadhan, maka semua dosa-dosanya akan diampuni Tuhan. Apalagi kalau sudah tua nanti, mereka percaya kalau melakukan tobat Nasuha, pastilah semua dosanya akan diampuni Tuhan. Apalagi kalau naik haji, mereka yakin akan masuk sorga. Mereka lupa atau tidak tahu bahwa bertobat itu ada syaratnya, yaitu harus mengembalikan semua hasil korupsinya sesuai dengan nilai sekarang ditambah menjalani hukuman sepenuhnya (tanpa menyuap agar dapat remisi besar atau pengurangan hukuman). Semangat pro rakyat hanya awalnya saja Idealisme pro rakyat hanya awalnya saja. Bahkan terkesan hanya basa-basi saja. Yang demi rakyatlah. Demi kersejahteraan rakyatlah. Sembako murahlah. Pendidikan gratis hingga sarjanalah. Perbaikan jalanlah. Membela petani dan buruhlah. Sejuta idealisme dan janji-janji awal, akhirnya terlupakan karena ada target untuk kembali modal dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya idealisme memperjuangkan bangsa dan negara merupakan prioritas ke 999 atau terakhir. Itupun kalau ingat. Tidak berkualitas Boleh dikatakan 99% hasil politisi yang terpilih tidak berkualitas. Target pembuatan undang-undang tidak pernah tercapai, hanya sekitar 20% dari target. Anggaran rutin selalu lebih besar daripada anggaran pembangunan. Jumlah utang pemerintah bertambah terus danbukannya berkurang. Pemborosan di berbagai bidang. Pembangunan infra struktur kedodoran. Capres dan caleg yang tidak profesional Beberapa capres tergolong tidak profesional. Capres A, mengelola BUMN saja rugi Rp 37 triliun. Capres B, perusahaan-perusaahaannya terlilit utang Rp 78 triliun. Capres C, mengelola perusahaan pribadinya saja terlilit utang Rp 14, 3 triliun. Kalau mengelola perusahaan saja terlilit utang, apalagi mengelola negara : bisa bangkrut! Apalagi caleg. Terlalu mudah jadi caleg. Artis boleh, tukang tambal ban boleh, tukang sol sepatu boleh, mantan pelacurpun boleh. Tidak ada syarat-syarat ketat untuk menjadi politisi. Syarat-syaratnya lebih menitikberatkan syarat-syarat administrasi dan kesehatan. Tidak menitikberatkan syarat-syarat tentang kualitas politisi. Hasilnya adalah politisi-politisi abal-abal. Korupsi akan semakin merajalela Hasil pemilu 2014 pastilah akan lebih banyak menghasilkan calon-calon koruptor, sebab persaingannya sangat ketat dan butuh modal politik yang sangat besar. Apalagi, mereka semakin lama akan semakin tahu caranya menjadi koruptor yang profesional. Antara lain dengan cara korupsi berjamaah, menghilangkan barang bukti, memanipulasi barang bukti dan cara-cara lain yang sulit dideteksi oleh PPATK maupun KPK. Artinya, virus korupsi akan berkembang biak dengan lebih luas. Bahkan boleh dikatakan 99% capres dan caleg berpotensi menjadi koruptor alias maling uang rakyat. Catatan: -Maaf, saya jarang membaca komen-komen -99% = pengganti kata “sangat banyak” Hariyanto Imadha Pengamat perilaku Sejak 1973
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H