Mohon tunggu...
Hariyanto Lmg
Hariyanto Lmg Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Domisili di Guminingrejo, Tikung - Lamongan, Jawa Timur. e-mail : hariyanto.argum@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Lancip Omongane Gepak Lakune" Versus "Action Speaks Louder than Words"

24 Maret 2014   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Action speaks louder than words”. Ungkapan yang biasa digunakan untuk menunjukkan betapa pentingnya bahasa non verbal.Bahasa non verbal, -- yang berupamimik wajah, gerakan tangan dan tubuh--- memang acapkali lebih mengena dan bermakna.

Kali ini, saya tak hendak membahas bahasa non verbal tersebut dalam konteks ilmu kebahasaan dengan membandingkan atau menyandingkannya dengan bahasa verbal. Tidak juga dengan memberikan contoh-contohnya dari sisi ilmu bahasa.... (ya, karena memang saya belum seberapa menguasainya... hee3x)

Saya lebih tertarik untuk memaknainya sendiri lalu mengaitkannya dengan satu sisi kehidupan,  menghubungkanya dengan sebuah keadaan yang sedang hangat di masyarakat saat ini. Saya ingin mengartikan bahasa verbal sebagaiucapan atau kata-kata (lisan maupun tertulis), dan bahasa non verbal sebagai tindakan atau perbuatan. Keduanya digunakan sebagai alat komunikasi. Lebih spesifiknya lagi, meng-komunikasi-kan diri kepada masyarakat untuk tujuan tertentu.

-------------

Logika sederhananya begini. Untuk bisa diterima dengan baik di masyakarat, kita harus baik. Kita harus berkomunikasi, meng-komunikasi-kan diri dan meyakinkan warga masyarakat di lingkungan kita bahwa kita memang baik. Untuk berkomunikasi tersebut, kita butuh bahasa, dan bahasa yang kita gunakan berupakata-kata (frase atau kalimat kita baik tulis maupun lisan) dan tindakan atau perbuatan nyata.

Singkatnya, kata-kata dan tindakan kita musti baik. Ya, keduanya harus baik. Seimbang. Tidak ideal kalau hanya baik salah satunya. Tidak pas kalau hanya kata-kata saja atau perbuatan saja yang baik.

Lalu, ada pertanyan : sudah begitu kah, kita? Sudah baik kah kata-kata kita? Sudah baik kah perbuatan kita?

Sebagian kita mungkin sudah baik. Sebagian lainnya mungkin belum, namun masih terus berusaha memperbaiki diri. Ya, memang begitu lah seharusnya. Kita tidak harus terus belajar memperbaiki diri kita : kata-kata dan perbuatan kita, terus-menerus, sepanjang waktu. Orang lain akan menerima dan percaya bahwa kita memang baik kalau kata-kata dan tindakan kita konsisten baik. Kalaupun ada khilaf, salah atau pernah salah, kita segera menyadari dan memperbaikinya.

Kuncinya, (berusaha) konsisten, terus-menerusbaik dalam kata dan tindakan. Kalau selama ini kita tidak berkata dan bertindak baik,lalu tiba-tiba kita berkata-kata baik dan bertindak baik, orang lain (masyarakat) bisa jadi curiga. Tidak langsung percaya sebelum membuktikan konsistensinya.

Atau, bila kita senantiasa berkata-kata baik, menyampaikan yang baik-baik, bahkan cenderung menasihati,namun ternyata tindakan kita masih jauh dari baik, maka orang lain pun tidak akan percaya, atau tidak akan menganggap kita baik.Mungkin kita malah akan dicap (dalam bahasa Jawa) “Lancip omongane, gepak lakune”, ---bagus ucapannya saja, namun tidak bisa melakukan atau menerapkannya, tidak bisa mewujudkannya. Atau, dalam Bahasa Indonesia ada peribahasa yang pas juga, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”.

Begitu pun sebaliknya, bila tindakan saja yang baik, namun ucapan atau kata-kata kita tidak baik, maka potensi ketidakharmonisan akan muncul. Bisa jadi akan ada kesalahpahaman, ketersinggungan dan sebagainya karena tidak baiknya ucapan dan perkataan. Jadinya, yaa.. tidak baik juga akhirnya. Mungkin, pilihan baiknya adalah bila tak bisa berkata-katabaik, maka lebih baik tak banyak berkata-kata (bicara) namun terus konsisten bertindak baik dan menunjukkan hasilnya/buktinya karena “Actions speak louder than words”.... heee3x

Nah, dalam konteks dan suasana saat ini, --masa-masa kampanye calon legislatif (danmaraknya pencitraan calon presiden)--,dua  ungkapan dari dua bahasa berbeda tersebut menarik untuk dibahas, dikaitkan dengan kondisi nyata.

Dalam masa dan suasana kampanye calon legislatif (caleg) dan pencitraan calon presiden seperti sekarang ini, banyak sekali terjadi obral kata-kata (atau lebih tepatnya janji) dari para calon, baik melalui baliho, banner, spanduk atau ucapan langsung saat di panggung kampanye. Kata-kata perubahan dan janji-janji perbaikan terdengar indah di mana-mana, diucapkan oleh para calon dari pusat hingga ke pelosok daerah. Tidak usah menyebut contoh ya. Tidak perlu disebut nama calon atau nama partai di sini ya, nanti jangan-jangan malah ribet.Generally understood saja, hee3x

Ya, kata-kata perubahan dan janji-janji perbaikan terdengar indah di mana-mana. Percaya kah masyarakat dengan kata-kata dan janji tersebut? Menurut saya, belum sepenuhnya. Terus, kalau ditanya mengapa? Setidaknya, ada beberapa sebab yang bisa dikemukakan. Pertama, masyarakat tampaknya (selama ini) masih belum tahu betul kapasitas atau kompetensi para calon untuk mewujudkan kata dan janji mereka. Sebagian masyarakat kadangjuga tidak mengenal profil para calon, apalagi mengenal tindakan nyatanya, terutama para calon baru dan sangat jarang “turun” ke masyarakat.Masyarakat tidak tahu bagaimana mereka selama ini.

Kedua, masyarakat sudah mengalami traumadari beberapa kali pengalaman masa-masa pemilihan sebelumnya. Berapa banyak kata-kata dan janji yang disampaikan oleh para calon namun tak diwujudkanketika sudah menduduki kursi. Kata tinggal kata, janji pun tak kunjung teralisasi. Hanya ucapan saja, tak ada tindakan nyata. Ungkapan “Lancip Omongane, Gepak Lakune” tampaknya cocok untuk hal ini. Ungkapan ini senada dengan ungkapan dari manca “No Action Talk Only”.

Kok bisa begitu? Lupa kah mereka akan obralan janjinya? Bisa jadi. Tapi tampaknya, bukan hanya karena lupa dech hee3xMungkin sebagian malah terlena (dengan kursi empuknya). Mereka rasa-rasanya juga tidak menyadari makna “Actions speak louder than words”. Atau, barangkali juga saat berujar janji, mereka belum sempat mengukur kapasitas-potensi diri apakah itu semua janji-jani itu dapat teralisasi atau terbukti. Padahal, bukti itu yang dinanti-nanti.

Memang, tidak semua calon hanya obral janji dan kata-kata. Ada juga calon yang selama ini getol dan konsisten menunjukan tindakan-bukti nyata. Ada beberapa. Tak usah menyebut nama juga...ya hee3x. Calon demikian yang tampaknya lebih kuat dan memikat.

-----------

Sudah ya, cukup ya. Tidak usah panjang-panjang pembahasannya, ntar malah ngelantur “mencela” ke mana-mana, atau menimbulkan fitnah. Intinya, mari kita semua merefleksi dan introspeksi diri karena disadari atau tidak, kita memang belum sepenuhnya baik. Kita kadang-kadang atau bahkan masih sering tidak bisa menyeimbangkan kata dan perbuatan kita. Jadi, mari terus “membaikkan”, menyeimbangkan kata dan perbuatan kita. Jangan sampai kita jadi orang yang “Lancip Omongane Gepak Lakune”. Hee3x

---Hariyanto---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun