Mohon tunggu...
Hariyanto Lmg
Hariyanto Lmg Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Domisili di Guminingrejo, Tikung - Lamongan, Jawa Timur. e-mail : hariyanto.argum@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rumah-Rumah Itu (Masih) Berpagar Pancasila

13 Februari 2014   22:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara tilik bayi itu terlaksana juga. Tilik bayi salah satu temankantoryang sudah mengambil cuti bersalin sejak awal bulan Januari lalu.Acara yang memanglazim kami lakukan apabila ada teman atau kolega yang mendapat anugrah momongan baru. Putra atau putri yang nantinya juga menjadi bagian dari “Keluarga Besar”kami.Acara mempereratukhuwah itu sempat tertunda hampir dua minggu lamanya. Kami memang harus mencari waktutepat di sela kesibukan di kantor karena kebetulan adik bayi yang baru lahir (dan ibu-bapaknya)tinggal di kabupaten tetangga (di Kediri).

Pagi itu, Jum’at di minggu pertama bulan Februari 2014, kami berangkat bersama dengan menggunakan dua mobil, masing-masing berisi tujuh orang. Sebagian besar adalah rekan-rekan perempuan. Hanya empat orang rekan pria yang ikut, termasuk saya.Saya sendiri “bersikeras” ikut berangkat karena ibu bayi yang akan kami kunjungi kebetulan bekerja satu ruangan/divisi dengan saya dan berperan penting dalam menyelesaikan tugas-tugas divisi. Setelah menempuh sekitar 2,5 jam perjalanan melewati jalur Ploso-Perak di Kabupaten Jombang,kami sampai di wilayah kecamatan Pagu, Kediri. Tinggal melewati beberapa desa lagi kami akan sampai di rumah si adik bayi dan ibunya. Namun, karena sudah dekat dengan waktu sholat Jum’at, sekitar pukul 11:45 WIB, kami memutuskan untuk berhentidi masjid terdekat.Bapak-bapak menunaikan sholat Jum’at, sedangakan ibu-ibu beristirahat sejenak sambilmampir sekedar minum teh-kopi di sebuah warung kecil tidak jauh dari masjid.

****

Selepas sholatJum’at dan setelah merasa cukup minum teh-kopi, kami melanjutkan perjalanan. Tak lebih dari 20 menit, akhirnya kami sampai di tujuan,Desa Wates Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Kebetulan rumah yang kami tuju tidak jauh dari jalan beraspal yang menghubungkan antar kecamatan, hanya sekitar 150 meter masuk di jalan desa/dusun. Mbak Anik (nama panggilan tuan rumah/teman satu kantor yang kami kunjungi)dan keluarganyabergegas keluar begitu mobil rombongan tiba di depan rumahnya.  Mereka tampak kaget melihat kedatangan kami karena kami memang tidak memberi tahu sebelumnya. Meski kaget, Mbak Anik dan kedua orang tuanya menyambut kami dengan hangat dan ramah. Sedangkan suaminya, yang seorang polisi, sudah berangkat dinas di Jakarta sehingga tidak ikut menemani menyambut kedatangan kami.Merekatampak berseri menerima kedatangan kami, khususnya Mbak Anik. Kami pun sangat gembira bertemu dengannya. Maklum, sudah lebih dari sebulan kami tidak berjumpa. Biasanya, tiap hari kami bersua dan bersama-sama bekerjadi kantor. Seolah pertemuan itu jadi pengobat kangen. Mbak Anik dan keluarganya menerima kami dengan sangat baik.

*****

Ada dua hal yang menarik perhatian dan berkesan, khususnya bagi saya pribadi, dari acara tilik bayi hari itu. Pertama, Mbak Anik dan keluarganya begitu ramah dan hangat menerima kami sebagai tamu meski awalnya mereka kaget. Sebagai tuan rumah, mereka benar-benar gupuh, lungguhdansuguh. Mereka gupuh menyambut kami. Terlepas dari faktor kaget, sikap gupuh itu serasa menunjukkan bahwa mereka menganggap kedatangan kami itu penting dan membuat mereka senang. Sikap gupuh itu juga seolah mengisyaratkan apresiasi mereka bahwa tamu yang datang pasti telah “berkorban”, setidaknya waktu dan tenaga, sehingga harus dihormati dan disambut dengan baik. Sambutan hangat tersebut berlanjut dengansikap penuh makna berikutnya : lungguh. Mereka mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu dengan ungkapan-ungkapan ramah, tulus dan menyenangkan. Mereka menanyakan kepada kami (dengan Bahasa Jawa logat khas Kediri) tentang jam berapa kami berangkat; bagaimana perjalanan kami dan sebagainya. Percakapan pun menjadi lebih gayeng lagi ketika kami ngobrol tentang si adik bayi yang belum genap sebulan lahir. Mereka dengan girang bercerita tentang si adik bayi yang memang sangat menggemaskan : proses kelahirannya, berat badannya, kelucuannya dan banyak hal lainnya.

Tak hanya gupuh dan lungguh, mereka juga sibuk suguh. Bapak,ibu dan Mbak Anik sendiri secara bergantian menemani kami ngobrol. Mereka juga bergantian keluar masuk mengambil dan mengeluarkan makanan. Dua mejayang ada di ruang tamu, penuh dengan makanan : pisang rebus, rambutan, kacang, roti, snack/krupuk dan beberapa lainnya. Kami nikmati semua makanan itu sambil bercengkrama dan bergantian menimang si kecil. Bahkan setelah hampir satu jam berbincang dan makan, masih keluar lagi suguhan menu berikutnya. Menu yang tampaknya dipesankan dari warung terdekat. Bakso telur puyuh dan es cincao dengan aroma khas panili. Kami pun menyantapnya dengan lahap. Lumayan, cukup membuat saya kenyang karena sejak pagi memang belum sarapan, hee3x.

Ya, gupuh, lungguh dan suguh dalam menerima tamu. Sebuah ajaran leluhur jawa yang musti dilestarikan.Mereka (Mbak Anik dan keluarganya) tampak memahami betul ajaran budaya jawa itu dan menerapkannya dalam meyambut kedatangan kami. Tidak hanya itu, tetangga sekitar rumah Mbak Anik, yang kebetulan berpapasan,juga akrab dan hangat menyapa kami. Tampak suasana kekeluargaan (dan ketetanggaan) yang masih sangat terjaga.

Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah pagar depan rumah warga di sepanjang jalan desa/dusun tersebut. Sebenarnya, ini kali kedua saya berkunjung ke rumah Mbak Anik. Setahun yang lalu, saya pernah ke sana saat menghadiri dan menyaksikan akad nikahnya. Namun, baru kali ini langkah dan tatapan mata saya tertuju pada pagar-pagar depan rumah warga itu. Pagar-pagar itu tampak (relatif) sama. Semuanya terbuat dari batu bata bersemen, berdesain mirip dua gapura kecil dan dicat warna avocado white. Pada kedua gapura kecilnya terdapat tulisan PANCASILA dan UUD 1945, lambang daerah (Kediri) dan nama Desa (Wates) dan Kecamatan (Pagu). Pagar dengan tulisan dan logo tersebut ada di depan tiap rumah meskipun desain bangunan rumahnya sudah berbeda-beda. Sebagian rumah masih berarsitektur lama dan sebagian lagi sudah semi modern. Tapi, sekali lagi, deretan rumah sepanjang jalan desa/dusun itu masih berpagar Pancasila dan UUD 1945. Sebuah tatanan bangunan pagar rumah yang mulai sulit saya temukan di sekitar tempat tinggal saya (Kec. Tikung- Lamongan)

Salah satu pagar rumah yang bertuliskan Pancasila dan UUD 1945 (Foto : Dokumen Pribadi)

Secara fisik, pagar rumah itu mengingatkan saya pada bangunan pagar rumah, atau setidaknya gapura desa di sekitar tempattinggal saya waktu saya masih kecil. Gapura di pintu gerbang desa yang “bernuansa” Pancasila dan UUD 1945, atau Proklamasi Kemerdekaan RI.Gapura yang secara langsung atau tidak langsung dapat memunculkan jiwa nasionalisme bagi yang melihatnya. Pagar atau gapura yang dapat menghadirkan semangat, kebanggaan dan kecintaan warga terhadap negaranya, Indonesia.Secara non fisik, pagar Pancasila dan UUD 1945 tersebut mengingatkan saya pada masa sekolah dasar dan menengah dulu. Masa dimana Pancasila dan UUD 1945 begitu “populer” di kalangan siswa (dan masyarakat). Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Ya, begitu terminologi akrabnya. Ada 36 butir P-4 kala itu yang begitu dihafal oleh siswa. Tidak hanya oleh para siswa, masyarakat jugabegitu mengenal dan akrab dengan P-4. Beragam pola penataran dan lomba pun diadakan untuk semakin mempopulerkan, mengajarkan, dan menanamkan ajaran/nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Tentu, tujuan akhirnya adalah untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Lebih jauh, pagar rumah bertuliskan Pancasila dan UUD 1945 itu mengingatkan pula kepada pidato/sambutan B.J. Habibie, mantan Presiden RI, pada moment peringatan hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2011. Pidato yang isinya menekankan penting dan dibutuhkannya  reaktualisasi, revitalisasi dan restorasi nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah “tidak stabilnya” kondisi berbangsa dan bernegara saat ini. Tidak harus dalam bentuk pagar, gapura, atau penataran P-4 seperti masa sebelumnya tapi disesuaikan dengan konteks, kebutuhan dan suasana kebangsaan terkini.

****

Sampai hampir seminggu kemudian, ingatan tentang pagar rumah itu terus muncul di pikiran  saya. Ingatan itu makin menguat ketika saya membuka-buka file foto-foto rumah berpagar Pancasila itu. Ya, beberapa foto yang sempat saya “jepret” menggunakan kamera  telepon seluler waktu itu. Foto-foto yang akhirnya menggerakkanpikiran dan tangan saya untuk bersatu menuangkannya dalam tulisan ini.

Sungguh, acara tilik bayi yang sulit terlupa. Acara yang juga memberikan multi faedah (bagi saya setidaknya) : mempererat ukhuwah, mengingatkan lagi tentang “budaya Jawa” ---gupuh-lungguh-suguh---, dan menginspirasi untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila + UUD 1945. Ya, benar. Menghidupkan dan membumikan kembali nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.Tapi, mulai dari mana? Atau, mulai dari siapa ya? .... Berusaha dari lingkup terkecil saja ah.DIRI.Hee3x

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun