Mohon tunggu...
Hariyanto Lmg
Hariyanto Lmg Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Domisili di Guminingrejo, Tikung - Lamongan, Jawa Timur. e-mail : hariyanto.argum@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Keluar Tanpa Pamit, Nyaris “Dimangsa Kalab” (Hantu Air), dan Langsung Sakit

20 April 2014   13:15 Diperbarui: 4 April 2017   18:27 4048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397947520187389137

[caption id="attachment_320676" align="aligncenter" width="300" caption="Air waduk di sepanjang sisi jalan menuju kampung saya, yang dulu "][/caption]

Oleh : Hariyanto

Satu kejadian menakutkan yang tak akan terlupakan dalam hidup saya. Meski sudah sangat lama terjadi namun peristiwa seram itu masih melekat kuat dalam ingatan saya. Bagaimana bisa lupa, peristiwa yang terjadi saat saya masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar tersebut nyaris membuat saya pindah ke alam setelah dunia.

Kronologis ceritanya begini.Waktu kecil, saya memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Mbah saya (kakek-nenek). Sepulang sekolah, saya langsung ke rumah Mbah. Lokasinya memang lebih dekatdengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) tempat saya menuntut ilmu. Bahkan, hampir tiap malam saya tidur di rumah Mbah. Bapak selalu menjemput saya sore atau malamnya, tapi saya sering tidak mau pulang sehingga esok paginya, pagi-pagi sekali,biasanya Bapak menjemput saya lagi karena saya harus sekolah. Atau, kalau tidak begitu, saya diantar oleh paman (adik ibu saya) yang biasa saya panggil dengan sebutan Mas Paman. Usia Mas Paman terpaut sekitar sepuluh tahun dengan saya. Dengan Mas Pamanini pula, saya biasanya tidur di rumah kakek.

Rumah Bapak-ibu saya sebenarnya tidak terlalu jauh dengan rumah kakek. Masih satu desa, ---Desa Guminingrejo Kecamatan Tikung---, tapi beda kampung/RT. Rumah Bapak berada di tepi jalan Raya Mantup yang menghubungkan Kabupaten Lamongan ke Kecamatan Tikung dan Kecamatan Mantup. Jalan Raya Mantup ini juga menjadi jalur penghubung dari Kabupaten Lamongan ke Kabupaten Mojokerto.Sedangkan rumah kakek, dari jalan Raya tersebut masihharus masukke dalam kampung, hampir satu kilometer jauhnya.

Di sepanjang jalan hampir satu kilometer menujuke kampung tersebut tidak ada satu pun rumah. Kanan-kiri jalan berupa hamparan air. Sebelah kanan adalah Waduk Joto dan sebelah kiri berupa rawa-rawa desa. Di tengah-tengah jalan desa tersebut terdapat sebuah jembatan kecil yang menyambungkan Waduk Joto dan rawa-rawa desa tersebut.Di beberapa titik jalan tersebut kala itu terdapat beberapa pohon kecil.

Kala itu, listrik belum masuk di desa saya. Penduduk desa masih menggunakan lampu “oblik” (terbuat dari kaleng bersumbu yang diberi minyak tanah). Jadi, kalau malam keadaannya gelap, termasuk sepanjang jalan masuk ke kampung tersebut. Gelap dan sepi. Jarang orang lewat kalau malam hari. Agak angker dan menakutkan kabarnya.

Nah, peristiwa tak terlupakan itu terjadi menjelang pagi buta di jalan yang diapit waduk dan rawa itu. Biasanya, dari rumah kakek saya dijemput Bapak atau diantar pulang oleh Mas Paman saya setelah subuh. Ketika gelap mulai berubah terang.

Tak seperti biasanya, pagi itu, saya terbangun jauh lebih awal. Jam pastinya, saya tidak tahu. Tapi yang jelas jauh sebelum subuh.Entah siapa yang membangunkan. Saya  keluar dari kamar Mas Paman yang waktu itu saya lihat masih pulas tidur. Saya buka pintu rumah dan menengok ke luar, ternyatadi luar cukup terang. Saya pikir sudah lewat waktu subuh. Saya pun keluar rumah, menunggu Bapak menjemput. Sekitar sepuluh menit, Bapak tak jua datang. Akhirnya, tanpa pamit Mbah maupun Mas Paman, saya putuskan untuk pulang jalan kaki.

Saya berjalan keluar kampung. Suasana masih sangat lengang.. Saya heran sekali. Sudah terang tapi kok sangat sepi. Tidak seorang pun terlihat di jalan. Pintu-pintu rumah warga juga masih tertutup rapat. Lihat kanan kiri, tengok atas baru lah saya tahu bahwa terangnya langit jelang pagi itu karena sinar bulan. Tapi karena sudah kadung berada di ujung kampung dan sampai di jalan yang kanan-kirinya berupa hamparan air, saya teruskan saja langkah saya. Tidak ada yang menyuruh atau mencegah, saya jalan terus.

Belum pernah sebelumnya saya berjalan pulang sendirian jam segitu di jalan itu. Rasa takut mulai muncul.Sekilas saya teringat cerita, yang secara tak sengaja, pernah saya dengar dari tetangga. Katanya, di jalan itu, terutama di pohon kecil yang berjarak sekitar 100 meter dari jembatan, ada hantunya. Saya makin merinding mengingat cerita itu. Tapi, kaki saya terus melangkah. Rasa takut sedikit sirna ketika melihat bulan dan pantulan sinarnya di permukaan air, di kanan-kiri jalan. Tampak indah sekali pendar warnanya. .

Ketika hampir sampai di pohon kecil yang diceritakan tetangga itu, hati saya berdebar lagi. Rasa takut datang lagi. Untunglah, terlewati juga pohon itu. Tidak terjadi apa-apa. Tapi hati saya masih terus berdebar kencang. Saya teruskan melangkah. Lalu, sekitar 50 meter dari jembatan, saya mendengar suara beriak air di sisi kanan jalan, ”Gejobaaar... gejobaaar... gejobaaar”. Beriak air itu terdengar sangat jelas dan membentuk gelombang lingkaran cukup besar dari pinggir ke tengah air rawa. Rasa takut saya pun mulai bertambah. Bulu kuduk bergidik merinding dan jantung berdetak semakin cepat, kian tak beraturan, deg.. deg.. deg...plaaaas...

Tak lama setelah suara gejobar-gejobar itu,muncul sosok seperti manusia daridalam air di pinggir jalan tersebut,persis di dekat jembatan. Tidak jelas wajahnya. Sinar bulan tidak cukup menerangi saya untuk melihat wajah orang itu. Posisinya pun, awalnya agak membelakangi saya. Saya tidak tahu dan tidak kenal siapa dia.. Yang saya ingat, sosok orang itu membawa sarung yang dikalungkan di leher atau bahunya. Orang itu lalu berjalan ke arah saya. Semakin dekat saya semakin takut.

Sekitar 10 meter dari saya, sosok orang itu tiba-tiba melepas sarung di pundaknya dan diputar-putarkan, diarahkan ke saya, seperti orang yang mau menjala ikan. Dan, sarung itu benar-benar terlihat seperti jala. Semakin dekat, putaran atau lemparan sarung-jala tersebut hampir mengenai saya. Hanya berjarak sekitar lima jari orang dewasa dari tubuh kecil saya.

“Wuuush.. wuuush.. wuuush..wuuuush..”,kibasan angin dari putaran sarung-jala tersebut sangat terasa. Saya pun semakin panik dan ketakutan. “Emaaaaak.... Bapaaaaaaaak...... Emaaaaaaaaaaaaak Bapaaaaaaaak... Tuluuuuuuuuung... Emaaaaaaaaaaaaak Bapaaaaaaaak... Tuluuuuuuuuung” saya menjerit;jerit histeris. Saya berteriak sekeras-kerasnya memanggil Emak (Ibu) dan Bapak sambil berlari sekencang-kencangnya, kembali ke arah kampung, ke arah rumah Mbah.

Beberapa warga yang rumahnya di sekitar ujung jalan terbangun dan keluar rumah mendengar teriakan saya. Mereka menolong dan menanyai saya tentang apa yang terjadi. Saya panik, takut dan menangis sejadi-jadinya sambil terbata-bata menceritakan kejadian seram yang baru saya alami. Mereka pun mencari sosok orangmembawa sarung-jala yang saya ceritakan. Tapi hasilnya nihil, tidak ditemukan. Tidak ada tanda-tanda apapun.

Saya terus terisak, menangis ketakutan. Beberapa warga terus berusaha menenangkan saya. Mereka juga mengantar saya pulang sampai ke rumah. Bapak dan ibu saya kaget melihat saya pulang sepagi itu dengan diantar beberapa tetangga dari dalam kampung. Saya pun langsung masuk rumah dan mengikuti ibu ke dapur. Saat itulah adzan subuh baru terdengar.

Ibu bersiap-siap memasak. Saya duduk dan diam. Saya masih merinding teringat kejadian yang baru saya alami. Tanpa sadar, tanpa terasa saya menggigil di dapur. Badan saya mendadak demam, panas, dan pagi itu, saya tidak masuk sekolah. Saya sakit. “Sawanen”, begitu kata orang Jawa.

Sampai siang, badan saya masih demam, panas. Saya berbaringdi kamar saja. Beberapa tetangga yang mendengar kabar tentang kejadian pagi itu lalu menjenguk saya dan bertanya-tanya. Dari kamar tidur berdinding triplek agak berlobang di sana-sini itu, saya bisa mendengar Bapak-Ibu dan tetangga berbicara di ruang tamu. Mereka memperbincangkan kejadian yang saya alami.

Mereka bilang, yang saya temui dan lihat di pagi buta itu kemungkinan besar adalah “kalab”,sejenis hantu yang berada di air. Konon, kalab juga dipercaya sebagai makhluk halus penunggub waduk, bendungan, kali/sungai besar dan rawa-rawa. Kalab atau hantu air ini sangat ditakuti karena tidak hanya menyeramkan tapi sering juga memakan korban jiwa, anak-anak maupun orang dewasa. Biasanya, korbannya tenggelam, terbawa arus, terseret pusaran air, dan hilang. Ketika ditemukan, jarang dalam kondisi hidup.

Mendengar cerita dan perbincangan Bapak-ibu dengan beberapa tetangga padahari itu, saya jadi semakin merinding. Saya tak menyangka. Saya tak percaya bahwa saya nyaris dimangsa kalab”, dan bahkan, andai tak terhindar dari sarung-jala makhluk aneh tersebut, saya mungkin sudah berada di alam lain.

Benarkah yang saya jumpai waktu itu adalah “kalab”, si hantu air? Saya tidak tahu persis kebenarannya. Atau kah seseorang, manusia beneran (dari desa tetangga mungkin) yang kemudian pergi begitu saja dan tidak ditemukan ketika dicari-cari oleh para tetangga? Saya juga tidak bisa memastikannya.. Andai iya pun, untuk apa dia melakukannnya?

Yang pasti, saat itu saya merinding dan merasakan ketakutan yang luar biasa. Saya langsung “sawanen”, mendadak deman, sakit dan tak bisa masuk sekolah. Sampai saat ini pun, bulu kuduk saya kadang sedikit berdiri bila lewat di “jalan ke kampung bermemori” itu.

Setelah saya pikir dan renung-renung lagi, peristiwa seram itu mungkin tidak terjadi, bila saja waktu itusaya minta izin atau pamit dulu kepada Mbah atau Mas Paman.Mungkin saya dicegah atau diantar. Sungguh sebuah pelajaran berharga : Minta Izin atau pamit kepada orang tua bila akan meninggalkan rumah.

Salam

---Hariyanto---

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun