SD Shiogama : mengajar dengan hati
Dua tahun yang lalu ketika ditawari mengajar di SD Shigogama, saya langsung menyanggupinya, walaupun dengan bekal bahasa Jepang yang pas2an. Karena jujur saja yang ada dalam kepala saya waktu itu hanyalah bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang untuk membayar uang kuliah saya. Hari pertama saya mengajar di SD yg letaknya dipinggir pantai itu, luar biasa stress nya.Tidak terbayang sebelumnya, pekerjaan yang belum pernah saya jalani,saya harus berbicara didepan kelas yang murid2nya seratus persen orang Jepang. Aneka ragam sikap murid2 yang kadang menjengkelkan, dari yang berteriak2 terus ketika pelajaran sampai yang lari2 naik2 meja, semua lengkap,
Perjalanan dari Sendai tempat saya tinggal ke SD Shiogama cukup jauh. Dengan naik sepeda motor sekitar 45 menit. Di musim panas, naik sepeda motor memang menyenangkan, karena bisa melihat secara langsung di alam terbuka pemandangan yang indah dipinggir pantai. Namun di musim dingin salju di jalanan menuju SD tersebut cukup banyak dan jalannya naik tajam. Pernah sesekali saya nekat naik motor, namun beberapa kali terjatuh, terutama pada waktu pulangnya , sangat berbahaya karena jalannya menurun. Dan satu2nya pilihan adalah naik kereta, meski harus membayar tiket cukup mahal . Dari stasiun menuju ke SD ini, tidak ada kendaraan kecuali jalan kaki yg memakan waktu 20 menit , sangat terasa ketika turun salju dan jalannya nanjak. Walau begitu saya tetap tabah menjalaninya. Suatu harisaya pernah terlambat mengajar. Sampai di stasiun sudah mepet sekali waktunya. Akhirnya saya naik taxi menuju sekolahan. Sampai disana saya memberikan uang kepada sopir taxi. Tapi dia menolak, dengan alasan karena saya seorang guru yang setia,, tidak pernah absen walaupun turun salju yang lebat. Wah,,,, ternyaa sopir2 taxi di stasiun ini mengamati saya selama ini.
Jalan kaki menuju sekolahan itu harus melewati terowongan yang gelap agar bisa motong jalan. Sepanjang jalan dari eki menuju sekolahan itu , banyak sekali orang tua murid yangmenyapa saya. Malahan ada yang secara khusus setiap saya dating mengajar, orang tua berjas hitam itu selalu menyapa dengan ramah didepan rumahnya.Kadang2 dia mengajak ngobrol dulu panjang lebar, tentang masa mudanya dan sebagainya..
Di ruang para sensei, saya diberi meja tersendiri berjejer dengan meja sensei lainya. Setiap jam 09.00 kami para sensei didatangi murid2 yang kurang beruntung (cacat mental ,dsb). Mereka berbaris di depan kita untuk aishatsu. Satu per satu mereka dengan susah payah mengucapkan ”Ohayou gozaimasu, Hari sensei”. Ini memberikan kesan yang mendalam bagi saya, karena untuk mengucapkan seperti itu, bagi kita orang normal sangat mudah, namun bagi mereka ,, itu hal yang sangat luar biasa sulitnya.
Pengalaman saya mengajar di kelas bermacam2 mengahadapi situasi ynag sulit maupun yang menyenangkan. Suatu hari ada kelas yang bandel sekali muridnya, dan wali muridnya sepertisudah menyerah. Waktu itu kebetulan saya membawa mainan asli Indonesia“Gasing Bambu”, yang kalau dibunyikan akan menarik perhatian Nguuuung,,,,,Nguuuuuuungng kencang sekali suaranya. Ketika saya bunyikan, semua murid terdiam dan mulai memperhatikan saya. Baru kemudian perlahan2 saya tarik perhatiannya kepada materi pelajaran. Dan setelah kelas bisa dikendalikan, murid2 saya ajak untuk menghormati guru aslinya. Alhamdulillah nurut.
Satu hal yang membuat saya kagum pada anak2 Jepang ketika waktu itu saya menerangkan pentingnya mempunyai Cita cita. Seperti biasa, kalau di Indonesia, murid2 kalau kita tanya, kalau besar mau jadi apa. Jawabannya, diseputar ingin jadi dokter, ingin jadi pilot, ingin jadi bintang film terkenal, dsb. Tetapi ketika saya tanya pada murid2 di SD Shiogama ini, satu persatu mereka menjawab dengan mantab. Dan yang mengagetkan saya adalah, ada satu orang murid yang pintar, ketika saya tanya, kalau besar mau jadi apa, dia bilang dengan sangat mantab, mau jadi “tukang kue”. Hah….? saya kaget. Namun kekagetan saya segera ditangkap oleh wali muridnya. Kemudian dia menerangkan bahwa anak tersebut walaupun masih kelas 4 SD dia sudah mempunyai rencana jelas, nanti selepas SMP mau ambil sekolahan kejuruan membuat kue. Kemudian setelah lulus mau merantau ke Italy dan setelah pulang ingin punya Toko Bakkery sendiri.
Berbulan2 setelah saya mengajar akhirnya datanglah musim liburan,Sebelum libur saya berpamitan kepada para sensei dan murid2 , kalau saya mau pulang ke Indonesia. Terlihat di wajah mereka, seperti tidak mau ditinggalkan, mereka tidak ingin saya pergi terlalu lama, khawatir tidak mau mengajar lagi. Setelah berpamitan saya diantar oleh mereka sampai kedepan pintu. Saya langkahkan kaki saya keluar gedung itu, namun dari kejauhan terdengar teriakan kencang “:,….. sensei….! ”nani iii,,,? kemudian anak itu menatap saya lama.. dan tangannya mengambil ikat rambut kneper kecil yang ada di kepalanya… dan mengulurkan tangannya , memberikan kepada saya.. “:kore ! “. Di kereta keneper kecil itu saya lihat2 berkali2, inikah pemberian yang paling tulus dari anak kecil yang polos.
Ketika terjadi gempa dahsyat 11 Maret 2011, saya tepat berada diatas jembatan Nanakita sedang menuju Shiogama. Jembatan ini panjangnya 200 meter dan letaknya hanya 1 Km dari pantai laut lepas . Guncangan yang luar biasa melempar mobil yg saya tumpangi, sehingga tidak bisa dikendalikan terlempar kekiri dan kekanan. Beberapa menit kemudian dari radio di mobil terus menerus memberi peringatan agar segera lari dari garis pantai, karena akan ada tsunami yg besar.Luar biasa perjuangan antara hidup dan mati ketika harus lolos melewati jembatan yang panjang itu. Dan, Alhamdulillah kami berdua bisa melewati jembatan itu. Namun disana sini jalanan amblas tidak bisa dilewati, tiang listrik pun banyak berebahan, sehingga kami harus cari jalan keluar dari kawasan itu. Sekali lagi waktunya sangat kritis, dan radio di mobil serta bunyi sirine dimana2 mengusir orang segera lari dari pantai.
Kemacetan dimana2 karena semua orang mau lari ke arah kota.Dan ketika macet total di perempatan (karena lampu lalulintas mati), saya naik ke atap mobil, melihat ke depan banyak asap membumbung kebakaran tangki minyak di pantai, dsb. Saat itu juga saya putuskan, untuk tinggalkan mobil dan lari menuju kota. Tetapi sepanjang perjalanan saya lari menuju kota itu, banyak kaca gedung2 pertokoan berjatuhan dari atas, yang membahayakan orang yang berjalan dibawahnya.Disamping itu jalan no 45 itu setahu saya letaknya sangat dekat dengan pantai. Sehingga saya berfikir, saya harus mencari jalan lain menuju kota dan menjauhi garis pantai. Saya beruntung selama mengajarpergi pulang naik sepeda motor itu ternyata memberikan pengalaman yang amat mahal. Jalan2 tikus yang sering saya lalui ketika pergi mengajar memberikan manfaat besar, menyelematkan saya dari kejaran tsunami.
Satu hari setelah gempa besar, saya mendengar dari radio, bahwa ditemukan 300 mayat terapung terbawa arus sungai di wakabayashi. Saya, gusar sekali , karena daerah yang disebutkan itu adalah daerah sepanjang aliran sungai yang saya lintasi. Terpikir di benak saya , kalau tsunami sampai kesitu, bagaimana dengan anak2 murid SD Shiogamayang letaknya sangat dekat dengan pantai. Karena ikatan batin yang selama ini saya jalin dengan anak2 tersebut, menjadikan semalaman nggak bisa tidur.
Keseokan harinya saya mencari cara untuk bisa ke Shiogama, namun tidak ada mobil yang bisa saya naiki karena tidak ada bensin. Kebetulan ada tim dari KBRI yang mau evakuasi warga Indonesia. Dan waktu itu saya ajak ke Shiogama untuk mengevakuasi temen2 pelaut Indonesia yang bekerja di pelabuhan Shiogama. Namun baru sampai Tagajo, saya kaget, di jalan no. 45 yang saya lalui ketika lari dari tsunami itu berserakan mobil2 bercampur aduk dengan pepohonan dari pantai serta puing2 rumah. Saya dan teman2 KBRI tidak bisa melanjutkan ke Shiogama, karena di cegah oleh Jieitai (pasukan Bela Diri Jepang), karena sangat berbahaya, tsunami2 kecil masih akan terus dating. Dan benar juga ketika kami masuk ke wilayah itu, bunyi sirine dating mengusir kami untuk lari dari daerah itu. Mobil kami putar balik , namun karena padatnya lalu lintas mobil2 yang mencari mayat sanak familinya. Kami mencari jalan tikus menjauhi pantai, sekali lagi pengetahuan tentang jalanan tikus di daerah itu sangat bermanfaat.
Ikatan saya dengan murid2 SD Shiogama yang terjalin selama ini begitu kuat, sehingga ketika di evakuasi ke Jakarta, perasaan saya masih tertinggal di Shiogama. Saya selalu memikirkan bagaimana nasib mereka. Tidak lama di Jakrta saya segera ke Sendai lagi. Sampai Sendai , saya langsung menuju Shiogama. Saya telusuri jalan dari eki menuju sekolahan. Sepanjang jalan,orang tua murid yang biasa menyapa dari depan pintu rumahnya, sekarang tidak ada lagi, karena rumahnya sudah bolong terhantam kayu besar dari pantai. Kombini Seven Eleven langganan saya, yang biasa saya mampir, tinggalah tiang2nya saja. Di tikungan bangunan tua, yang selalu ada orang tua berjas hitam yang menyapa, kini tidak terlihat lagi. Betul2 saya sedih sekali. Sambilterus berjalan menuju SD itu, saya tengadahkan muka saya ke langit, menahan air mata iniagar tidak jatuh. Terus dan terus berjalan menuju sekolahan itu. Semakin dekat dengan sekolahan, hati saya semakin tidak menentu.
Akhirnya sampailah saya di depan sekolahan itu, melihat kaca beruntuhan dari taikukan, meja kursi banyak yang dkeluarkan, dalam hati saya berdoa, mudah2an anak2 semua selamat.Dan begitu,,, saya masuk ke genkan pintu gerbang utama, sudah disambut tulisan ,,,,” Yokoso Hari san” dan anak2 secara serentak mengucapkan dengan semangat” Yokoso Hari sensei , okaerinasai”. Luluh sudah semua penderitaan selama ini , kegembiraan menemui mereka semua sehat itu, sepertinya tidak bisa dibayar dengan apapun.
Di ruang kelas , bersama anak2 ini kami menyanyikan lagu "Ue o muite……. Arukōu…." - "Marilah berjalan sambil melihat ke atas, supaya air mata tidak jatuh ke pipi." Berulang2 kami menyanyikannya,,,hingga sangat meresap dalam hati. Seolah2 mengatakan kepada saya, mari kita songsong masa depan yang lebih bagus. Sejak itu saya tidak lagi melihat saya dibayar berapa untuk mengajar di SD ini, namun saya mengajarkan anak2 ini dari dalam hati saya. Ketika saya berbicara dari kesungguhan hati saya, mereka juga mendengar dengan telinga hatinya. Sehingga terjalinlah pancaran kasih saying yang tulus diantara kami. Entah seberapa berartinya yang saya lakukan ini, namun saya berharap jalinan persahabatan dua bangsa ini akan menjadi bibit saling pengertian antara dua bangsa yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H