Pasca '65, PKI mengalami penghancuran dalam skala yang sukar dipahami. Siapapun yang terindikasi "merah" harus berhati-hati. Seorang istri yang tak tahu-menahu aktivitas politik suami, harus meregang nyawa. Seorang anak mendapati ketika dirinya pulang ke rumah, ayahnya hilang dan tak pernah kembali. Genosida ini, sayangnya, tak pernah dibeberkan terbuka di dalam kelas. Pelajaran sejarah hanya mengajarkan kalau PKI itu barang haram. Harus dicampakkan sejauh mungkin dari pikiran dan ingatan.
Maka, apa yang dimaksud dengan PKI ketika ia disebut-sebut hari ini? Yang paling mungkin, ia adalah hantu. Tak ada namun ada. Tak hadir namun dihadirkan. Ia terus-menerus dibawakan dalam ketiadaanya untuk melegitimasi ataupun mengambil kekuasaan. Komunisme ditunjuk mendalangi kekisruhan demi kekisruhan kendati, pada kenyataannya, kekisruhan bersangkutan tak lain dari buah operasi intelijen untuk memuluskan kemenangan pemilu Soeharto. Pihak-pihak tertentu ditunjuk sebagai komunis agar elektabilitasnya hancur atau gerakannya dapat dibelejeti dengan cepat.[2] Ketakutan terhadap hantu itu kian mengakar saat presiden ikut-ikutan mengajak orang-orang untuk memberantasnya.
Di sekolah, murid-murid, juga tak pernah diberitahu sesungguhnya PKI punya andil dalam pergerakan nasional. Murid-murid tak perlu tahu kalau PKI itu embrionya berasal dari Sarekat Islam pada mulanya. Murid-murid tak perlu tahu kalau PKI adalah organisasi pertama yang berani mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda.[3]Â
Murid-murid juga tak perlu tahu kalau banyak tokoh pendiri Republik ini adalah orang-orang yang menggunakan pemikiran komunis (marxisme) untuk menggerakkan energi perlawanan terhadap penjajah.[4] Pendidikan sejarah sengaja dipenggal sedemikian rupa sehingga yang terdoktrin hanyalah soal watak pemberontakan yang ada dalam ideologi komunis. Karena itu, harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.Â
Maka, berkesinambunganlah upaya-upaya pembinasaan apa saja yang berbau komunis, sampai hari ini. Yang terbaru, dua toko buku di Kediri dirazia karena diduga menjajakan buku-buku yang dianggap meresahkan.
III
Sudah dua puluh tahun reformasi bergulir. Sudah lima puluh tahun pula peristiwa '65 berlalu. Sudah saatnya negara berdamai dengan sejarah. PKI, kenyataanya, sudah dibabat habis.Â
Film yang dulu jadi senjata rezim menyerang PKI, juga sudah diakui dibuat sebagai alat propaganda dan minim data. Jadi, buat apalagi terus mendengungkan di kelas-kelas kalau PKI itu kotoran yang mesti dibersihkan? Apa guna membuangnya berulang-ulang ke dalam kegelapan sejarah? Ajaibnya, semakin ia dianggap sebagai kotoran, najis, dan haram maka ia semakin menarik untuk dihidu. Semakin ia dibuang dalam gelap sejarah, ada saja muncul kerlip yang menarik untuk ditelusuri.
Ketidakseimbangan penulisan dan penuturan sejarah akhirnya dicelotehkan terus menerus pada setiap ruang dan waktu yang mungkin. Subjektifitas dibenturkan dengan subjektifitas lainnya sehingga menghasilkan cibiran atas ego yang berlebihan dan cemooh atas rasa takut tanpa alasan. Indoktrinasi digugat sebagai metode yang menghina rasionalitas, membodohkan dan menumpulkan nalar kritis generasi kini dan nanti.
Para pemilik masa depan yang dicekoki dengan subjektifitas dan indoktrinasi mengenai sejarah yang tak seimbang hanya akan jadi generasi sumbang berwatak pembebek.Â
Mustahil bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena kelak hanya akan mengikuti pengetahuan yang dituliskan dan dituturkan tanpa boleh mempertanyakan apa pun. Jika meragukan kebenaran sejarah yang tak seimbang itu, maka akan segera dicap sebagai pengikut dan penyebar paham berbahaya. Jadilah mereka murid-murid yang dibayangi rasa takut dan kehilangan kekritisan ketika mendapati hal-hal yang menyimpang dalam penyelenggaraan negara ini.