Mohon tunggu...
Harits Luqmanul Hakim
Harits Luqmanul Hakim Mohon Tunggu... -

Cimahi, Kab, Bandung barat | 085795539511 | Computer and Programing | Basketball & Football

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harta Karun

12 Februari 2014   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh

Harits Luqmanul Hakim

Mobil Fortuner berwarna hitam mengkilat itu berhenti di depan balai desa. Semua orang yang sedang melakukan rembug desa serentak mengarahkan pandangan matanya ke arah mobil itu. Semua orang mengira, bahwa yang datang menjenguk ke desanya itu pasti Pak Bupati, atau Pak Camat. Pak Lurah pun memekik, “Pak Bupati Kebumen datang! Semua bersiap!”Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika mengetahui yang keluar dari mobil itu seorang perempuan yang sangat mereka kenal, SATI! Sati anak Pak Sandikrama, yang empat tahun silam menjadi TKI ke Singapura, sebagai babby sister. Kini, ia hadir dengan leher dan tangan yang penuh hiasan emas yang berkilat-kilat!

@

Tahun ini Desa Logandu terserang pageblug. Berhektar-hektar lahan padi puso akibat serangan hama tikus membuat penduduk kehilangan harapan. Serangan puso itu justru saat padi mulai mengeluarkan bulirnya. Pencegahan dengan gropyokan sepertinya tidak membuahkan hasil. Tikus-tikus itu jumlahnya kian bertambah. Lahan sawah yang terkena puso terus bertambah luas. Pengalaman di awal Tahun 1965, seperti akan terulang lagi. Terbayang masa depan mereka yang suram, larang sandang larang pangan. Sampai-sampai orang merebus nangka mentah dan hati gedebog pisang untuk mengganjal perut. Dibutuhkan seorang pahlawan untuk menyelesaikan masalah itu.

Pak Sarweni, selaku Kepala Desa, langsung mengumpulkan warganya untuk membahas masalah itu. Beliau tidak mau disalahkan oleh penduduk desa, karena membiarkan warga desanya kehilangan harapan. Merekalah yang dulu memilih dirinya. Merekalah yang telah mengangkat derajat dan martabatnya. Tanpa dukungan mereka, beliau tidak akan mendapatkan penghormatan lebih. Jadi, sudah sewajarnya, jika beliau ikut memikirkan nasib warganya. Sebagai lurah, beliau dibayar dengan menggarap tanah bengkok, yang juga turut terserang hama puso.

Aku hadir sebagai warga biasa. Setelah lulus kuliah, aku belum pergi merantau ke kota besar. Ayahku, yang berhalangan hadir, kemudian menyuruhku untuk mewakili beliau, mengikuti rembug desa. Ayahku berharap, ilmu yang aku peroleh dapat digunakan untuk membantu masyarakat desa mengentaskan masalah yang mereka hadapi, meskipun ilmu yang aku pelajari tidak bersangkut paut dengan pembangunan wilayah pedesaan.

“Para sederak, kita sudah tahu, tahun ini kita bermasalah dengan hasil panen padi. Hama puso telah menghancurkan semua harapan kita. Jika kita tidak melakukan persiapan, maka kita akan menghadapi kesulitan. Karena itu, kita akan membahas masalah ini. Para sederek yang memiliki masukan, dipersilakan untuk membantu kita.”

Di situlah aku menyaksikan bagaimana rembug desa berlangsung. Ternyata banyak orang yang pandai berbicara. Sebagai orang bahasa, yang sudah mempelajari bahasa yang efektif, tampak sekali mereka tidak memperhatikan hal semacam itu. Ada orang yang berbicara panjang lebar ibarat segede gunung, padahal idenya hanya sebesar jempol kaki. Ada juga orang yang idenya banyak, tetapi kalimatnya terputus-putus. Ada juga yang selalu menyertakan guyonan dalam berbicara. Di luar sisi bahasa efektif, aku telah menyaksikan sebuah pembicaraan yang hidup.

Dari sekian banyak masukan, setidaknya ada tiga usulan yang disampaikan masyarakat. Pertama, mereka mengusulkan, jika panen gagal, mereka akan bekerja membantu penduduk Desa Kedunggong, istilahnya “ngode”. Penduduk Kedunggong itu tinggal di pegunungan, makanan pokoknya singkong. Daerah mereka aman dari hama tikus. Mereka akan mendapat satu dua keranjang singkong untuk menyambung hidup. Kedua, mereka mengusulkan agar Pak Lurah mengusahakan pinjaman dana ke bank pemerintah. Ketiga, mereka mengusulkan agar Pak Sarweni mengusulkan meminta bantuan kepada Sati, yang Minggu lalu kembali ke desa dari perantauannya di Singapur.

@@

Sati, anak sulung Pak Sandikrama mendadak menjadi tenar. Aku sangat mengenal anak itu, karena dia itu adik kelasku di Sekolah Dasar. Saat aku melanjutkan sekolah, Sati mendaftar sebagai babby sister, yang kemudian diberangkatkan ke Singapura menjadi TKI.

Adanya pilihan untuk meminta bantuan Sati agar mau meminjamkan uang untuk membantu masyarakat saat menghadapi paceklik, maka sebagian tokoh menyuruhku untuk menemui Sati. Meskipun agak berat hati, karena berhubungan dengan masalah pinjam-meminjam, maka aku berangkat juga ditemani oleh Jengki, selaku ketua Karang Taruna, dan Rahmat Gudel, selaku ketua Remaja Masjid.

Setelah bertemu dengan Sati di rumah mendiang ayahnya, Sandikrama, aku ingin menuntaskan kepenasaranku, bagaimana Sati yang dulu lugu, kawanku bermain jamuran, kini menjadi seorang jutawan dengan mobil merk Honda termahal, Fortuner.

“Wasis, jangankan kamu, aku sendiri heran, kok aku Sati, tamatan SMEA Swasta Batik Sakti, sekarang memiliki mobil mewah,” kata Sati.

Hal yang aku suka dari Sati adalah sikap rendah hatinya. Meskipun ia sudah menjadi kaya raya, tetapi sikapnya masih seperti dulu.

“Ti, aku hanya penasaran, bagaimana kamu itu menjadi kaya raya.”

“Begini cerita, Sis,” jawabnya, “setamat SMEA, maunya bekerja kantoran, tapi karena aku tidak ada lanjaran, maka niatku tidak kesampaian. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi TKI. Aku mendaftar di PJTKI, milik Pak Buyar Winarso, yang sekarang menjadi Bupati Kebumen. Ya, alhamduillah aku diberangkatkan ke Singapura. Waktu itu, aku memang belajar menjadi pengasuh anak, babby sister, eh aku malah mendapat bayi kawak, orang tua, nenek-nenek...”

“Untung bukan kakek-kakek,” kata Jengki.

“Ya, benar Kang Jengki. Kalau kakek-kakek itu jatuh cinta, aku yang repot...”

Kami semua tertawa. Sati masih seperti yang dulu, enak dibawa ngobrol, tidak kaku, meski sudah kaya.

“Terus...” aku tak sabar.

“Ya, pokoknya aku merawat nenek itu dengan baik, istilahnya pelayanan prima. Ternyata pengabdiaku yang tulus itu membuat si nenek tertarik. Nenek itu mempunyai seorang cucu yang memiliki usaha pertambangan pasir. Nenek itu telepon sama cucunya, dan menawarkan aku sebagai calon istrinya. Begitu ceritanya...”

“Alhamdulillah,” kataku, “aku ikut senang Ti. Aku yang baru tamat kuliah malah bingung mau kerja di mana.”

“Jurusanmu apa, Sis?”

“Bahasa Indonesia, Ti.”

“Ah, nanti juga kamu pasti mendapat pekerjaan, Sis.”

“Amin, ya robbal ‘alamin.”

Mungkin aku terlalu banyak berbasa-basi, sehingga Rahman Gudel menginjak kaki. Aku tahu maksudnya, dia menyuruhku agar langsung to the point.

“Begini, Ti,” kataku kemudian, “selain pingin silaturahmi, aku juga disuruh warga untuk mencoba meminta bantuan kepadamu. Maklum, tahun ini desa kita terserang pageblug, wabah puso. Tapi, maaf ya Ti, aku hanya disuruh oleh warga.”

“Ya, tidak apa-apa, Wasis. Sebagai warga asli desa ini, aku memang pingin membantu. Namun, aku ada permintaan, Wasis. Aku ingin yang menyampaikan permintaan ini adalah Pak Sarweni. Itu saja permintaanku, Sis.”

“Ah, kalau begitu, tidak masalah, Ti. Aku akan menyampaikan keinginan dari Sati ini kepada Pak Lurah.”

Biyung si Sati kemudian menghidangkan kue-kue lezat oleh-oleh dari Singapura. Tentu, kami bertiga menikmati dengan baik-baiknya. Setelah puas, barulah kami meninggalkan rumah orang tua Sati.

@@@

Ketika kami bertiga bertamu ke rumah Pak Lurah Sarweni, kebetulan di sana sedang berkumpul beberapa orang prabot (pamong desa). Mereka adalah Pak Carik Wagiman, dan Pak Bayan Dikun. Tampaknya mereka sedang berbicara serius.

“Wasis, Jengki, Rahman...mari-mari...” kata Pak Sarweni.

“Terima kasih, Pak.”

“Kalian ini dari mana?” tanya Pak Bayan Dikun.

“Kami bertiga dari rumah Sati, Pak...”

Begitu aku menyebut nama Sati, Pak Lurah terlihat kurang bersemangat. Dua pembantu Pak Lurah pun kelihatannya idem dengan beliau. Aku memang menjadi bingung sendiri. Sepertinya, mereka tidak mau mendapatkan bantuan dari Sati.

“Sati sudah setuju akan membantu warga yang akan meminta bantuan,” kataku kemudian, “tetapi dia memberikan syarat, agar Pak Lurah yang datang kepada dia di rumahnya.”

Pak Lurah Sarweni yang tadinya seperti menghindar, kemudian menatap wajahku dengan pandangan suka.

“Siapa yang mempunyai ide meminta bantuan pada Sati? Kamu, Sis?”

“Bukan, Pak, kami ini diminta oleh warga, khususnya para Kamitua.”

“Sekarang begini saja,” kata Pak Lurah, “jangan dulu meminta bantuan ke Sati. Kasihanlah kalau dia yang menanggung masalah ini. Aku besok akan mencoba meminta bantuan ke bank.”

“Pak, kalau bank itu ada bunganya, sedang kalau pinjam ke Sati, sama sekali tidak ada bunganya.”

“Sudahlah, kamu jangan rewel, Sis, ikut saja apa kata aku,” kata Pak Lurah.

Pertemuan itu menjadi terasa menyiksa bagiku, karena usahaku untuk membantu warga justru terhambat oleh sikap Pak Lurah. Kalau saja, beliau sedikit berkorban, mau merendah sedikit, meminta bantuan pada Sati, maka semuanya menjadi “clear”.

@@@@

Sebulan kemudian, anak Pak Lurah Sarweni, Aldo mengalami kecelakaan. Dia terluka parah, sehingga harus dirawat dengan biaya yang cukup banyak. Padahal ketika itu, beliau tidak ada biaya. Beberapa orang kembali menawarkan, agar beliau meminta bantuan pada Sati. Dari kabar yang kudengar, Sati pun oke. Tetapi, beliau malah memilih menjual sawahnya untuk biaya pengobatan anaknya.

“Aku rasa, ada masalah antara Pak Lurah dengan Sati,” kataku di dalam hati.

Aku memang mencoba bertanya-tanya, tetapi tidak ada yang mau menjelaskan. Orang seperti takut memberikan penjelasan yang sebenarnya.

Ketika aku mendengar berita baru lagi, bahwa anak Pak Lurah itu harus dioperasi lagi dengan biaya yang semakin besar, tetapi beliau tetap tidak mau meminta bantuan kepada Sati. Padahal syaratnya sangat mudah, beliau hanya ngomong saja.

Di samping masalah sakitnya Aldo, Pak Lurah juga belum memenuhi janjinya untuk mencoba meminta bantuan melalui bank, terutama Bank Rakyat Indonesia, yang biasanya ada di setiap kecamatan.

“Pak Lurah sudah tidak benar,” beberapa warga mulai protes.

“Ya, dia tidak melakukan langkah kongkrit. Padahal kami bisa ikut dia, mau minta bantuan bank, atau meminjam kepada Sati. Padahal Sati sendiri sudah bersedia membantu, dengan syarat yang sangat mudah...”

“Kalau begitu, kita demo saja,Pak Lurah...” ajak warga yang tidak sabar.

“Jangan, kasihan dia,anaknya sedang sakit,” cegah yang lainnya.

Dalam kondisi dan situasi desa yang mulai tidak nyaman, mendadak saja Pak Lurah Sarweni datang ke rumahku. Begitu membuka pintu, beliau langsung menangis. Tentu aku menjadi sangat heran.

“Ada apa, Pak?”

“Antar Bapak ke rumah, Sati, Sis.”

“Baik, Pak, mari...”

Ketika aku keluar rumah, sudah banyak orang di situ. Mungkin mereka ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh kepala desa mereka.

“Yang ada waktu, mari ikut kami ke rumah Sati,” kata Pak Lurah, “Bapak mau membuat suatu pengakuan.”

Ucapan Pak Lurah itu tentu membuat kami bertanya-tanya. Pengakuan apa yang dilakukan oleh Pak Lurah? Apakah benar, antara kedua orang itu ada masalah yang serius?

Berita tentang perginya Pak Lurah ke rumah Sati seperti mengguncangkan dunia. Asal ada orang melihat Pak Lurah dan rombongan lewat, mereka langsung bergabung. Semakin mendekati rumah Sati, maka jumlah mereka menjadi semakin banyak.

Beberapa saat kemudian, kami sudah memenuhi halaman rumah orang tua Sati. Sebelum kami mengetuk rumah, maka penghuni rumah itu sudah membuka pintunya. Tampak Sati yang berdiri di samping biyungnya, Nyai Sandikrama.

“Pak Lurah, silakan masuk,” kata Sati.

“Tidak, Sati, Bapak berdiri di sini saja, agar suaraku dapat didengar oleh semua orang. Bapak mau membuat suatu pengakuan.”

Aku mengambil inisiatif untuk mengambil kursi. Aku permisi pada Sati untuk mengambil kursi, buat Pak Lurah dan buah Sati.

“Bapak, silakan duduk, Sati silakan duduklah,” kataku.

Keduaanya kemudian duduk berhadap-hadapan. Biasanya, warga menghadap Pak Lurah, kini Pak Lurah menghadap warganya, warga yang masih sangat muda, Sati.

“Begini, Sati,” kata Pak Lurah Sarweni, “Bapak pernah bersalah pada mendiang ayahmu, Pak Sandikrama. Sekitar sepuluh tahun silam, bapakmu menemukan harta karun di ladang milik bapakmu. Bapakmu menemukan perlengkapan kuda yang terbuat dari emas...”

Kami semua menarik nafas dalam. Perlengkapan kuda terbuat dar emas. Padahal perlengkapan kuda cukup banyak, seperti berangus, pedal untuk duduk, dan sanggurdi atau injakan kaki. Kalau semua terbuat dari emas, bisa lebih dari dua puluh lima kilogram emas. Wah, jumlah uangnya tentu sangat banyak.

“Waktu itu, bapakmu menyerahkan harta karun itu kepada kami, perangkat desa. Waktu itu, aku belum menjadi lurah, masih sekretaris desa atau Pak Carik. Awalnya, kami merencanakan akan membawa harta karun itu ke pihak berwajib. Namun, dalam perjalanannya, kami para pamong desa berencana lain. Bisikan akan uang yang banyak, membuat kami silap. Harta karun itu kami jual, dan kami bagikan kepada para prabot. Kami memberikan juga kepada ayahmu, tetapi jumlahnya memang sedikit...seharusnya harta rikaz itu milik mendiang ayahmu, milik keluargamu, dan kami telah merampasnya...”

Mendengar penjelasan itu, kami semua kembali mendesah.

“Sati, bapak sungguh minta maaf. Bapak sudah khilaf. Ketika Bapak melihatmu datang dengan mobil yang bagus, dan perhiasan yang memenuhi leher dan tanganmu, bapak tahu, harta karun itu sudah kembali pada pemiliknya, melalui jalan yang lain...”

Sati tampaknya tidak bisa berbicara. Entahlah, apakah yang dipikirkannya, mungkin dia benci, atau malah bersyukur, tidak ada yang tahu. Yang jelas, dia memang diam membisu.

“Harta karun itu telah kembali pada keluarga Pak Sandikrama, dan hartaku yang berasal dari harta karun itu sudah diambil, dengan sakitnya Aldo. Bapak telah menjual sawah ladang yang dulu berasal dari harta karun itu...”

Pak Lurah terdiam sejenak. Tampaknya beliau sudah benar-benar pasrah. Hal itu, tidak membuat kami marah dan bernafsu, melainkan melahirkan empati kami pada beliau.

“Sati, waktu mendiang bapakmu menemukan harta karunn itu, kondisi desa kita sedang paceklik panjang. Seharusnya, aku menjual harta karun itu untuk dibagikan kepada masyarakat, bukan aku kangkangin sendiri bersama para prabot lainnya. Sekarang, harta karusn itu telah kembali padamu, pada keluargamu, di masa pageblug menimpa desa kita. Terserah, apakah kamu akan menolong warga desa ini, atau tidak...”

Kali ini, kelopak mata Sati dipenuhi air mata. Biyungnya menyerahkan kacu (sapu tangan) untuk menghapusnya.

“Terima kasih atas penjelasan Bapak. Sekarang aku sadar, harta karun itu sedang berada dalam keluargaku, maka aku harus menolong warga yang meminta bantuan. Tapi, syaratnya apa, Wasis?”

“Pak Lurah ngomong sendiri sama Sati?”

Mendengar ucapanku, Pak Lurah kemudian memandang ke arah warga. Beliau kemudian bertanya, “Apakah aku akan berani meminta bantuan pada sati?”

Masyarakat yang mendengar pertanyaan itu kemudian tertawa. Mereka sangat yakin, Pak Lurah Sarweni akan mengucapkan permintaan itu, dan Sati akan memberikan sebagian hartanya untuk membantu warga desanya. Sekarang, kedua orang itu menjadi pahlawan bagi masyarakat Desa Logandu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun