Mohon tunggu...
Harits Luqmanul Hakim
Harits Luqmanul Hakim Mohon Tunggu... -

Cimahi, Kab, Bandung barat | 085795539511 | Computer and Programing | Basketball & Football

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Seorang Jenderal Besar

12 Februari 2014   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

by

Harits Luqmanul Hakim

Perempuan yang kukira akan menjadi mertuaku itu menjulurkan kepalanya keluar. Sinar lampu teplok yang dipegangnya menjilati wajahnya yang mulai keriput. Dalam temaran cahaya kulihat bola matanya membeliak. Istri juragan tembakau dari Desa Polaman itu memperagakan watak gak suka, ketika melihat wajahku kedua biji matanya seakan hendak meloncat keluar. Aku dengan seragam tentara dengan pangkat Pratu berlambang balok merah dua seakan tidak dilirik. “Pulanglah, Nak Joko, Sumi sudah ada yang punya, seorang tentara dengan pangkat Sersan.”

@

Sebuah palu godam terasa menghantam kepalaku sampai benjut-benjut. Aku mundur sempoyongan. Kedua kakiku yang biasanya mampu mengelilingi gelora Saparua sampai dua puluh kali mendadak terasa lemas. Otot-ototku rontok, kedua pasang tulang penyanggaku rubuh. Aku hampir tersungkur. Sebuah bantingan daun pintu, menyadarkan diriku. Aku kemudian berusaha mengumpulkan sisa tenagaku, untuk menaiki sepeda kumbang milik ayahku, lalu terseok-seok aku menaikinya melewati bulak sawah yang cukup panjang.

Di jalan desa yang jauh dari rumah orang tua Sumiati aku berhenti sejenak. Kepalaku benar-benar terasa pening, dan perutku pun terasa mual. Sikap emak si Sumi, yang biasanya ramah, dan tadi mengusirnya sungguh mengusik hatiku. Perasaan aku tidak punya salah apa-apa, tetapi kenapa mereka langsung bersikap kasar? Apakah hanya gara-gara aku Pratu dan lelaki yang baru datang itu berpangkat Sersan, mereka langsung memutuskan begitu saja hubungan yang sudah kami bina selama lebih dari tiga tahun?

Aku yang tidak bisa menerima kenyataan itu segera naik sepeda untuk kembali ke rumah. Semua yang tadi kusiapkan menjadi sia-sia belaka. Sekresek keripik oncom Bandung kesukaan Sumi dan satu pak rokok Djisamsoe untuk calon mertua masih tergantung di stang sepeda. Aku seperti prajurit yang kalah perang. Berangkat penuh semangat, pulang lemes, lesu, dan loyo.

Di jembatan desa dekat kuburan, dalam keremangan malam kudengar suara sepasang kekasih yang cekakak-cekikik penuh kemanjaan. Semakin kudekati, aku seperti mengenal suara perempuan itu. Ya, itu suara Sumi! Sumi yang sedang berduaan dengan pacar barunya, Sersan...Setan Kober kali!

“Jadi?” mulutku melongo dengan perasaan krejat-krejut tidak karuan.

Aku memang tidak bisa menahan diri. Aku terus memboseh sepeda mendekati sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara itu. Aku kemudian mengerem sepeda tepat di depan keduanya, yang sedang duduk di jembatan desa dekat kuburan!

“Sum...” aku memanggilnya.

“Eh, kamu Mas Joko?”

“Ya, Sum, aku dari rumahmu...tadinya...” kataku sambil menggaruk-garuk kepala.

“Maafkan, Mas, aku sudah menemukan pria yang kudambakan, Sersan Bambang Suroaji...”

Lelaki yang bernama Bambang Suroaji itu kemudin berdiri, lalu berjalan mendekatiku. Tampaknya ia juga mengenakan seragam tentara. Tanda pangkat Sersannya tampak berkilat-kilat membanggakan. Aku menjadi berdebar-debar dibuatnya. Tentara berpangkat Sersan sudah membanggakan, tapi kalau masih Pratu, biasanya lengan bajunya dilinting-linting untuk menutupi tanda pangkatnya.

“O, jadi kamu Pratu Joko yang sok-sokan di Desa Polaman ini? Baru punya sepeda butut saja sudah sombong kau!”

Sersan Bambang Suroaji bisa ngomong begitu, selain pangkatnya lebih tinggi, dia juga membawa motor Honda CB. Tahun 1985-an, semua orang masih susah memiliki sepeda motor. Lidahku mendadak kelu menyaksikan tampang pemuda itu. Di kantor, setiap prajurit yang pangkatnya lebih rendah memang wajib memberi hormat lebih dahulu.

Yang tidak kuduga, tiba-tiba Sersan Bambang menarik kerah bajuku. Aku yang sedang duduk di atas sepeda kumbang sampai oleng ke kiri.

“Hey, ke sini kamu!”

“Apa-apaan ini?”

“Hei dengar, Pratu. Kalau kau petantang-petenteng di kampung ini, maka kau akan berhadap dengan aku. Paham kau?”

Aku mendorong tangan Sersan Bambang dengan sekuat tenaga, kemudian aku memboseh sepeda secepatnya. Aku tidak berpikir dia akan mengejarku dengan sepeda motornya. Tampaknya, ia mau menghidupkan motornya, tetapi Sumi mencegahnya. Mereka tampaknya bersitegang, tetapi aku tidak peduli, karena aku sudah ngacir dengan sepeda kumbang menerobos jalan desa yang gelap!

@@

Hari Senin, ketika aku masuk kantor, dua orang provost menangkapku. Aku heran bukan main. Aku kemudian disuruh menghadap bagian Kepegawaian Kodam III. Seorang tentara berpangkat Mayor kemudian menunjukkan sebuah surat dari Koramil Karanggayam, surat bersampul D. Di sana dinyatakan, bahwa aku ini anak seorang anggota partai terlarang yang sudah dibekukan, aku anak anggota PKI. Anak PKI tidak boleh menjadi PNS, tidak boleh menjadi tentara!

“Tidak mungkin, Pak,” kataku membela diri, “ayahku seorang yang taat beribadah. Ayahku tidak mungkin terlibat menjadi anggota PKI.”

Mayor itu tidak bergeming dengan sikapnya. Wajahnya kaku persegi, tidak ada reaksi dari rengekanku.

“O, aku apes bener,” kataku di dalam hati, “kemarin pacarku memutuskan hubungan denganku karena sudah punya pacar seorang Sersan. Sekarang aku dipecat, karena ada surat D dari Koramil tempat tinggal ayahku...”

“Provost, masukkan dia ke sel!” kata Mayor itu tegas.

Aku digelandang masuk sel. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semua tentara taat pada aturan militer. Surat bersampul D dari koramil sudah cukup kuat untuk melepaskan seragamku dalam upacara militer.

Bersama tiga orang tentara lainnya, aku meringkuk di sel tahanan. Seorang berpangkat Letnan Dua, akan diturunkan pangkatnya menjadi Sersan Mayor, karena ketahuan ijazah SMA-nya aspal. Dua bintara lainnya akan dikeluarkan dari kemiliteran karena melakukan pelanggaran berat, menggunakan wewenang untuk memeras orang lain.

“Kasdam pembohong,” kataku di dalam hati ketika ingat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Aku baru saja menyelamatkan putri Sang Jenderal yang frustasi karena ditinggal pacarnya. Ketika aku mengantar anaknya pulang dengan selamat, Sang Jenderal bilang, “Terima kasih Prajurit, nanti jasamu akan mendapat imbalan yang pantas...”

Aku memegang jeruji sel tahanan sambil menangis sekuat-kuatnya. Siapa yang menyangka, usaha keras yang kulakukan, masuk dunia militer, akhirnya berakhir hanya dengan sepucuk surat bersampul “D”. Kataku, “Jadi, ini balasan Jenderal untuk aku?”

Ketika aku teringat bahwa surat sampul “D” itu berasal dari Koramil, giliranku meradang kepada ayahku. Kenapa ayahku diam saja, tidak bilang apa-apa, kalau dia dulu pernah menjadi anggota PKI. Aku benar-benar menjadi muak pada ayahku, dan juga pada Sang Jenderal. Benar, ini bukan salah Sang Jenderal, tapi apa susahnya “ngedem” surat bersampul “D” dari Koramil itu? Aku membayangkan sesuatu yang amat mengerikan, memalukan, saat tanda pangkatku besok dipreteli, dan seragam militerku dilepas menjadi pakaian sipil.

@@@

Kalau emakku masih ada, maka aku akan menanyakan hal itu kepada beliau. Namun, beliau sudah lama berpulang ke Rahmatullah, ketika aku masih kanak-kanak. Ayah dan kakek Nirun yang membesarkanku, dan dua tahun silam, kakek Nirunpu meninggal. Praktis aku hanya tinggal bersama ayahku, Pak Bajuri yang bagiku agak misterius, karena banyak diamnya daripada ngomongnya.

Baru seminggu aku tinggal di kampung, menjadi remaja kepala pelontos pengangguran, di waktu duha, di waktu ayahku mau berangkat ke sawah, lima atau enam polisi datang ke rumahku. Tanpa memperlihatkan surat tugas, begitu mereka tahu aku ini “Joko” mantan tentara, dua orang langsung mengacungkan senjata.

“Angkat tangan, jangan bergerak!”

Ketika aku masih membisu karena bingung, seorang polisi kembali berteriak dengan ancaman yang lebih mengerikan.

“Angkat tangan atau kutembak!”

Aku akhirnya menyerah, meski dengan hati bertanya-tanya. Apalagi salahku kali ini. Setelah dua musibah menimpaku, dipecat sama pacar, dipecat dari kedinasan, kini datang lagi polisi mau menangkapku.

“Apalagi salahku kali ini, Pak?” tanyaku ketika aku dimasukkan ke dalam mobil tahanan polisi.

“Nanti kamu jelaskan di kantor!”

Aku yang bingung akhirnya tidak banyak bertanya. Aku langsung dibawa ke ruang penyidikan untuk diinterogasi. Dua polisi yang duduk dan beberapa lelaki yang berdiri, yang bersegaram dan juga yang berpakaian intel. Kayaknya, ada juga wartawannya, karena ada yang memegang kodak bermoncong panjang.

“Di mana kamu sembunyikan perempuan yang bernama Saskia anak Sang Jenderal?” Itulah pertanyaan yang harus aku jawab untuk pertama kali.

“Saskia? Memangnya, ada apa dengan Saskia?”

“Sudah, jawab dengan jujur, jangan pura-pura bego!”

“Aku tidak tahu, Pak, karena Saskia tinggal di Bandung, dan aku tinggal di Kebumen.”

“Dua hari yang lalu, Saskia meninggalkan rumah, dan sampai saat ini, Saskia tidak ada kabar beritanya. Sang Jenderal langsung menuduh, kau pelaku yang menyembunyikannya, karena kau dendam pada Sang Jenderal....”

Astaghfirullah, demi Tuhan, Wallohi, aku tidak tahu masalah itu, Pak,” kataku menjelaskan, “lagi pula aku tidak mendendam pada Pak Jenderal. Aku dendam pada ayahku, Pak Bajuri, gara-gara dia jadi anggota PKI, aku dipecat dari kedinasan militer...”

Pihak Polres memang masih meragukan diriku. Mereka belum mengambil keputusan. Aku dimasukkan ke dalam sel tahanan untuk menunggu perkembangan lebih lanjut. Mungkin, mereka akan mengumpulkan bukti-bukti pendukung.

Keesokan harinya, Sang Jenderal datang bersama istrinya. Begitu melihatku, keduanya langsung memarahiku habis-habisan. Mereka berdua sangat yakin, kalau aku ini adalah pelaku yang menculiknya.

“Joko, kalau kamu tidak berterus-terang, maka aku akan suruhbagian provost untuk menangkapmu dan memasukkan ke dalam sel tahanan di Makodam.”

“Pak Jenderal, aku harus bilang apa? Aku memang tidak melakukan hal itu. Masa sih, aku menculik Neng Saskia...”

Pak Jenderal itu menangkap kerah bajuku. Tangannya yang menggunakan cincin siap dihantamkan di wajahku. Dulu, ada satu kawanku, ketika bertugas menjaga pos monyet, malah bermain gapleh. Kawanku langsung ditonjok menggunakan tangan bercincin sampai wajahnya berdarah. Kalau tangan Jenderal melayang, maka nasib wajahku akan lebih parah. Jenderal itu dulunya anggota Kopassus...

“Tahan Wiji, anak itu memang tidak bersalah,” terdengar suara yang sudah amat kukenal, tetapi dia menyebut nama Pak Jenderal, langsung Wiji, dari kata Parwiji, Jenderal Parwiji. Ya, itu suara ayahku.

“Ayaah...” aku memang menjadi sangat terkejut.

Kini giliran Pak Jenderal yang membeliakkan kedua bola matanya. Pasti Sang Jenderal bintang satu ini sangat marah, karena namanya dipanggil tanpa menggunakan “Pak”, langsung sebut “Wiji”. Lagian, dari mana ayahku tahu nama Jenderal?

“K..komandan Bajuri?”

“Wiji, aku bukan komandanmu, aku Bajuri, petani dari Desa Logandu Pesawahan...”

“Komandan...Komandan, aku berhutang nyawa pada Komandan...”

Sudah begitu, Pak Jenderal langsung menubruk kedua kaki ayahku yang hanya menggunakan sandal kulit rombeng. Tentu, semua orang menjadi bingung. Bapak-bapak polisi juga bingung. Aku sendiri yang jadi anaknya Pak Bajuri juga bingung.

“Pak Kapolres,” kata Pak Jenderal, “ini atasan saya zaman perjuangan. Dulu pangkatnya Letmuda. Dalam perjalanan longmarch dari Yogya ke Bandung, beliau hilang...”

“Wah, jadi ayahku Jenderal? Bagaimana dia menjadi anggota PKI?” gumamku kebingungan.

Pak Kapolres mengajak kami ke ruangan beliau. Di situlah, ayahku menceritakan kisah masa lalunya. Pada masa longmarch, pasukan yang dipimpinnya diserang pasukan Belanda di sekitar Karanganyar-Gombong. Ayahku berlari ke arah utara. Di daerah Condong Campur, ayahku tertembak pesawat Cocor Bebek, masuk sungai. Ayahku ditolong Mbah Nirun, dan dinikahkan dengan anaknya, maka lahirlah aku.

“Bagaimana dengan sampul “D”?” tanyaku kemudian.

“Sampul “D” itu dikirim oleh Pak Nurbuwat, kawan Bapak dan juga kawan Pak Jenderal. Pak Nurbuwat itu sakit hati karena dua hal. Pertama, dia mengira aku menyimpan emas batangan dari seorang musuh di Madiun. Padahal emas itu sudah aku serahkan ke Pasukan Garuda Mataram. Kedua, dia mendongkol, karena salah satu kakinya cacat sewaktu peristiwa pembebasan Papua, tetapi dia tidak diangkat menjadi pahlawan...”

Mendengar cerita itu aku girang bukan main. Ternyata selama ini aku telah salah sangka dengan ayahku. Ternyata ayahku bukan anggota PKI. Beliau itu mantan atasannya Pak Jenderal. Kalau ayahku itu atasan Pak Jenderal, apa sebutannya ya? O, ayahku seorang Jenderal Besar! Ya, ayahku Jenderal Besar!

“Bagaimana dengan anakku, Saskia?” tanya Pak Jenderal.

“Sewaktu anakmu mencari Joko, dia bertemu dengan Pak Nurbuwat. Ketika si Nurbuat tahu, Saskia anak Jenderal, maka dia menculiknya. Dia sudah aku amankan. Semua sudah “clear”.” Kata ayahku tenang.

Ya Allah, terima kasih atas anugerah ini. Musibah yang bertubi-tubi kualami, ternyata penuh dengan hikmah kebaikan. Terbayang, sebentar lagi aku akan kembali mengenakan seragam tentara. Dan mungkin juga...aku akan bersanding dengan anak Saskia. Ah, aku ke-GR-an, mana ada Pratu bersanding dengan anak Jenderal. (Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun