By
Harits Luqmanul Hakim
Usiaku sudah menjelang tiga puluh, tetapi masih menjomblo. Rahmadi kawanku, bercerita ia bertemu Rere di kereta api. Mereka omong-omong semalam, sebulan kemudian menikah. Joni kawanku juga bercerita, ia bertemu Wina di angkot, ngomong-ngomong dua jam, seminggu kemudian menikah. Supriatna kawan yang lain, mendapat telepon salah sambung, langsung bertemu, ngomong-ngomong, sebulan kemudian naik pelaminan. Dadang yang profesinya jualan barang kreditan juga bertemu jodoh saat menjanjakan dagangannya. Jarwo lebih fatal lagi, baru apel sekali, lebih dari jam sepukul malam, ditangkap hansip, dinikahkan. Sedangkan aku, ngobrol sama prempuan lajang di kereta api sudah, ngobrol diangkot sudah, mendapat telepon salah sambung sudah, apel melebihi jam sepuluh sudah, tetapi semua itu seperti tak berkesudahan, karena sampai saat ini aku belum bertemu jodoh alias masih jomblo!
@
“Mamat!” aku paling sebel mendengar panggilan emak di Hari Minggu. Sudah pasti, emakku akan menanyai kapan aku akan mengakhiri masa lajangku. Sudah sejak dua tahun silam, emakku menjadi cerewet soal pernikahanku yang tidak kunjung terlaksana. Sudah pasti, panggilannya berkaitan dengan masalah pernikahan. Ada saja yang ditanyakan, dengan fokus pertanyaan berbeda-beda. Kalau tidak bertanya, sudah ada perempuan yang ditaksir atau belum, maka dia akan menunjukkan, bahwa si ibu anu mempunyai anak perempuan yang begini-begini, kerja di sini, mau dikenalkan apa tidak.
“Ya, Emak,” sahutku ketika muncul di hadapan emakku.
“Duduk sini, ada yang ingin Emak katakan,” kata emakku dengan ekspresi wajah yang amat serius.
“Ada apa, Emak?” tanyaku sambil duduk di kursi menghadap beliau. Aku menjadi berdebar-debar dibuatnya. Pasti ada sesuatu yang amat serius yang akan dibicarakannya kepadaku.
“Mat, kamu masih ingat, tahun berapa Emak lahir ya?”
Kupikir Emak mau menanyakan masalah perkawinan, ternyata menanyakan tahun kelahiran. Aku menjadi agak lega. Setelah mengingat sejenak, aku tahu jawabannya.
“Tahun 1955, Emak...”
“Dari mana kamu ingat?”
“Emak kan pernah bilang, Emak lahir sepuluh tahun setelah Indonesia Merdeka. Bangsa kita merdeka tahun empat lima, ditambah sepuluh menjadi lima puluh lima, itulah tahun kelahiran Emak.”
“Jadi, usia emak sekarang berapa, Mat?”
“Sekarang kan tahun 2013, Emak, tinggal kita hitung saja, seratus tiga belas dikurangi lima puluh lima, ketemunya lima delapan. Jadi, usia Emak itu lima puluh delapan.”
“Kalau usia Nabi Muhammad Saw., berapa ya Mat?”
“Enam puluh tiga, Emak.”
“Jadi, jatah umur Emak tinggal berapa, Mat?”
“Ya, kalau sesuai dengan umur Nabi Muhammad Saw., usia Emak tinggal lima tahun lagi, Emak...”
“Pantas, Mat, kenikmatan Emak sudah banyak dicabut. Gigi emak sudah ompong, rambut emak sudah memutih, penglihatan berkurang, tenaga juga sudah loyo. Ternyata Emak memang sudah tua, ya Mat? Mungkin sebentar lagi, Emak akan menjadi sakit-sakitan dan membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah...”
“Jangan pesimis gitu, Emak,” kataku berseloroh, “itu kalau umur Emak enam puluh tiga tahun, tetapi kalau umur Emak seratus tahun, maka masa hidup Emak masih panjang...lamaa...”
“Bukan begitu, Mat,” kata Emak perlahan, “sebelum mati, Emak ingin menikmati keindahan meminang cucu...”
“Huuu...” kataku setelah mengetahui ke situ-situ juga arah pembicaraan Emak. Mau nanya kapan menikah saja, diberi awalan panjang lebar, nanya kapan Emak lahir segala. Tapi aku menjadi tertawa sendiri mendengar cara Emak mengawali ceritanya yang ingin segera memiliki cucu.
“Jadi, sudah ada calon yang membuatmu mantap belum, Mat?”
“Tunggu tanggal mainnya, Emak, kalau sudah waktunya, cucu Emak yang lucu dan kenes, pasti akan datang...”
“Tapi kan harus diusahakan, Mat. Kalau kamu cicing wae,*) kapan mau bertemu sama jodoh...”
“Kalem, Emak, aku mau serius mencari calon istri. Emak tidak usah gusar, tidak usah repot-repot mencari calon untuk Mamat. Ini ada bocorannya, Emak...”
“Bocoran apa?”
“Bocoran apa? Calon isteri atuh...”
“Wah, bagus kalau begitu, Mat, anak mana calon istermu?”
Aku tidak menjawab pertanyaan itu, karena aku menjawab dengan cara Emak, diajak berputar-putar dulu.
“Emak kenal sama Dadang?”
“Dadang ya mana, Mat? Nama Dadang kan banyak. Ada Dadang anak Pak Dodo, ada Dadang anak Bi Itoh...”
“Ya, Dadang anak Pak Guru Dodo...”
“Kenapa sama Dadang?”
“Begini, Emak,” jawabku, “kemarin Dadang menelpon. Katanya keponakan istrinya datang dari Kawali. Keponakannya itu katanya geulis pisan Emak. Nah, besok Mamat mau samperin dia, Emak.”
“Jadi, kamu mau ke Jakarta besok?”
“Ya, betul Emak.”
“Ya sudah, kalau begitu Emak doakan kamu cepat dapat jodoh...”
“Amin, Emak, doakan saja, besok Mamat akan mencoba pergi ke rumah Mamat...”
Aku sendiri belum tahu, apakah perempuan yang ditawarkan untuk dilihat itu sesuai dengan kriteria agama, seperti cantik, kaya, bangsawan, dan salehah atau tidak. Yang penting aku bisa membuat Emak senang dulu.
@@
Dengan restu dan doa Emak, pukul satu siang aku sudah menunggu bis jurusan Jakarta di depan Pasar Ciawi, Tasikmalaya. Kebetulan, ongkosku pas-pasan, pas untuk berangkat saja, sehingga aku mewanti-wanti pada Dadang, untuk pulang dia yang ngongkosin.
“Kalem, Mat, yang penting kamu datang untuk ta’aruf*)sama Euis bohay.**)Dijamin kamu pasti suka. Bodinya macam biola, kulitnya putih...wah nanti lihat sendiri saja!” begitu kata Dadang ketika aku meyakinkan, bahwa aku akan pulang selamat.
“Kamu ingat Mat, pikiranmu jangan ngalor-ngidul lagi, yang mantap, biar kamu bertemu sama perempuan cantik di bis, nggak usah diladenin, sebab Euis bohay sedang menunggumu. Kalau kamu macam-macam, bisa kawin sama jurig kamu!”
“Ya deh, Dang, aku nggak akan macam-macam. Kamu kan tahu, sudah menjelang usia tiga puluh, aku tidak berhasil menggaet perempuan di bis, masa sekarang aku berhasil melakukan hal kayak gitu...”
“Oke ditunggu bro...”
Setengah jam kemudian bis Samirono yang kutunggu muncul juga. Sesuai dengan kemampuanku, aku naik bis ekonomi saja, yang murah meriah. Bis yang akan kunaiki juga tidak melalui jalan Tol Cikampek. Bis itu akan masuk tol Padaleunyi, masuk Cileunyi keluar Padalarang, dan langsung melewati jalur Cianjur, Puncak, dan Jakarta.
“Ke mana, Mas?”
“Jakarta, Pak,” sahutku.
“Naik, Mas,” kata kenek.
“Terima kasih, Pak...”
Kebetulan bis itu masih agak lowong, terutama di bagian belakang masih banyak kursi yang kosong. Aku duduk di bangku yang ada kursinya tiga, dan aku duduk di kursi tengah, maksudku agar kalau ada penumpang yang baru naik, akan memilih kursi yang lain.
Begitu aku duduk, bis itu segera merayap di jalan raya Tasik-Bandung yang memang menanjak dan berliku. Dulu, aku sering berharap, begitu naik bis, aku akan bertemu dengan seorang perempuan lajang, kemudian berbincang-bincang, dan sebulan kemudian kami akan menikah.
Di Lewo, sebelum tanjakan Nagreg, seorang perempuan cantik melambaikan tangannya. Bis berhenti, dan perempuan itu pun baik. Melihat ada perempuan naik, sifat culasku muncul. Aku yang tadi menginginkan agar di barisan kursi tidak ada yang duduk, aku berubah pikiran. Aku langsung bergeser ke arah pinggir, dekat jendela. Perempuan yang baru naik itu kemudian duduk sesuai dengan keinginanku.
“Permisi Mas, ikut duduk ya?”
“Silakan, Neng...” balasku senang.
Sikap perempuan itu yang luwes dan tidak kaku membuat aku terpancing untuk mengajaknya bercakap-cakap.
“Maaf, mau kemana, Neng?”
“Bogor, Mas. Mas mau kemana?”
“Bogor juga, Neng,” gila mulutku berbohong, padahal aku mau ke Jakarta.
“Kalau begitu kita sama-sama mau pergi ke Bogor. Tujuan Mas mau kemana?”
Aku menyesal, kenapa tadi aku berbohong. Kalau sekali sudah berbohong ke sananya terus saja berbohong.
“Sebenarnya aku mau ke Jakarta, tetapi mampir dulu di Bogor,” kataku kemudian. Maksudku, aku memang mau ke Jakarta, dan untuk ke Jakarta kan lewat Bogor. Jadi, aku tidak lagi berbohong.
Entah kenapa, aku pingin lebih dekat dengan perempuan itu. Ketika tiba di mulut tol Cileunyi ada tukang tahu Sumedang, aku pun membelinya dan juga membeli dua botol minuman. Herannya, perempuan itu pun tidak menolak.
“Nama Neng siapa?”
“Aku Evi, Mas. Kalau Mas siapa namanya?”
“Mamat, Mamat Nugaraha.”
“Maaf, perginya kok sendirian?”
“Mas juga sendirian...”
“Aku kan masih lajang, Neng...”
“Evi juga...”
Aku benar-benar merasa senang. Percakapan seperti ini yang kutunggu sampai usiaku mendekati angka 30. Kalau aku bertemu perempuan yang enak diajak bicara begini, mungkin lima tahun silam, aku sudah bersanding di pelaminan.
Jarak jalan tol Padaleunyi sejauh 30 kilimeter ditambah lima kilometer lagi, benar-benar tidak terasa. Ketika bis ini tiba di Citatah, justru perutnya yang terasa mules-mules. Karuan saja aku mengeluh. Nasib baik sepertinya tidak berpihak kepadaku. Baru saja aku bertemu dengan perempuan yang bisa kuajak ngobrol, perutku mules-mules. Tentu saja, wajahku merah biru menahan gerakan dari dalam perut. Bahkan, sebuah kentut kecil meluncur tak terasa. Sedikit bau pun kucium.
“Ya ampun, bagaimana kalau Evi mencium aroma tak sedap dari perutku...”
Makin lama, sepertinya aku makin tak kuat. Kalau sampai keluar di celana, aku akan menjadi sangat malu. Karena itu, sebelum terlanjur, aku harus melakukan tindakan. Aku kemudian berdiri, pamit untuk meminta sopir berhenti di tempat yang ada toiletnya.
“Pak, saya sudah tidak tahan ingin ke toilet, tolong ya Pak?” kataku.
“Baik, nanti di Masjid Ciranjang, bis berhenti dulu.”
“Terima kasih sekali, Pak...”
Seperti yang dijanjikan, sopir bis menghentikan bisnya di depan masjid Ciranjang. Aku buru-buru berlari ke toilet. Dengan sekuat tenaga kukeluarkan apa yang ingin mendesak keluar. Setelah merasa plong, aku buru-buru kembali ke bis.
Aku kembali duduk di sebelah Evi. Kami berdua kembali bercakap-cakap. Yang menyebalkan, ketika memasuki terminal Cianjur, serangan dari dalam perut kembali terasa. Di situ bis berhenti, sehingga aku bisa keluar sebentar, dengan berpura-pura mau membeli minuman. Perutku memang agak melilit-lilit. Mungkin aku terserang diare. Sayang, aku tidak mempunyai uang untuk membeli obat mencret seperti kataplam.
Meskipun perutku masih terasa ingin buang hajat yang timbul tenggelam, aku harus segera menyudahi acara yang tidak kuinginkan itu. Benar saja, kenek sudah berteriak-teriak mengingatkan.
“Kenapa Mas?” Neng Evi bertanya kepadaku.
“Aku mules-mules, Neng,” jawabku sambil duduk.
“Minum obat, Mas,” katanya kemudian.
“Tidak ada yang jualan di bis, Neng.”
Aku merasa nyaman sejenak. Aku berusaha tidak banyak bergerak, agar tidak menimbulkan efek melilit. Namun, ketika bis memasuki Cipanas Cianjur, perutku kembali terasa mules. Sekuat tenaga aku menahan, ternyata aku gagal. Aku minta kepada sopir untuk berhenti dan menunggu. Sayang, sopir itu tidak mau. Ketika aku turun, bis itu kemudian langsung meninggalkan aku sendirian.
“Ya, Allah, apa yang harus kulakukan?” tanyaku bingung, sebab aku berada di tempat yang agak sunyi.
@@@
Di tengah kesunyian itu aku berusaha mencari bantuan. Mula-mula aku menghubungi Dadang melalui telepon. Namun, baru saja teleponku terhubung, muncul peringatan batare lemah. Sebelum aku memberitahukan apa yang menimpaku, hubungan komunikasi putus.
“Yaaa...” kataku kecewa.
Aku duduk dengan geram. Aku baru saja untuk pertama kali bertemu dengan perempuan yang aku merasa suka dan cocok, ternyata aku pun gagal mengikutinya sampai Jakarta. Yang membuat aku mendongkol, aku belum mempunyai nomor kontak Neng Evi. Kalau aku tadi meminta nomornya, suatu saat aku pasti bisa bertemu lagi.
“Aku mau menumpang ke Jakarta,” kataku ketika ada bisa lewat.
Sopir langsung tancap gas saat mengetahui aku tidak ada uang untuk membayar. Beberapa mobil yang kuberhentikan pun menolak diriku. Mungkin, mereka takut aku ini orang jahat. Sempat terpikir untuk mencari kantor polisi, tetapi aku tidak tahu di mana ada kantor polisi.
Harapanku untuk sampai di rumah Dadang malam itu semakin sirna. Akhirnya kuputuskan saja untuk mencari tempat yang dapat dijadikan untuk berteduh semalam, sampai pagi menjelang. Kebetulan tidak jauh dari situ, aku melihat saung tempat berjualan jambu bol, dan buah-buahan lainnya. Aku kemudian duduk di situ untuk menanti pagi hari.
Aku kemudian duduk sambil memeluk tas. Angin malam berhembus dingin. Aku tertidur sebentar. Mungkin tengah malam aku terbangun. Seorang perempuan tampak duduk di sebelahku. Ketika aku perhatikan dengan benar, ternyata perempuan itu adalah Neng Evi.
“Neng Evi?” tanyaku terkejut sambil mencoba meraba pipiku sendiri dan menjewer telinga untuk meyakinkan aku tidur atau terjaga. Ternyata aku memang tidak sedang bermimpi.
“Ya, Mas Mamat, aku Evi.”
“Kenapa balik lagi?”
“Aku kasihan pada Mas Mamat. Setibanya di puncak, aku kemudian minta turun saja untuk kembali mencari Mas Mamat. Aku akan menemani Mas Mamat semalam di Cianjur...”
Begitu mendengar istilah “semalam dicianjur” tentu aku menjadi berbunga-bunga. Ternyata harapanku untuk mengenal lebih dekat dengan Neng Evi terlaksana. Bedanya, Neng Evi yang sekarang selalu memberi nasihat.
“Jadi orang harus banyak bersyukur,” kata Evi, “kalau kita banyak bersyukur, maka Allah akan menambah nikmatnya kepada kita.”
“Ya, Neng Evi, aku sangat setuju dengan apa yang Neng katakan,” kataku menimpali.
Sekitar pukul dua, ada bis malam lewat. Bis itu berhenti. Keneknya turun sambil memberi tanda kepadaku, mau ikut atau tidak.
“Mas, ke Jakarta?”
“Tidak, terima kasih.”
“Mas, kenapa sendirian di saung?” tanya kenek itu sambil naik ke bis.
“Sendirian gimana, aku kan bersama Neng Evi,” kataku kemudian.
Bis malam itu pun berlalu. Aku kembali bercakap-cakap dengan Evi. Banyak hal yang kami perbincangkan, termasuk membicarakan nasib diriku yang masih jomblo di usiaku menjelang 30.
“Sabar saja, Mas, pada waktunya pasti jodoh itu akan datang...” kata Evi.
Aku tersenyum. Sekarang waktunya telah datang. Jodoh itu sudah di depan mataku. Aku sudah cocok pada pandangan pertama. Selanjutnya...terserah pada saya dong!
Menjelang adzan subuh, Evi permisi sebentar untuk suatu keperluan. Dia bilang akan datang lagi. Jadi aku menunggu di situ. Namun, sampai pukul lima Evi tidak datang juga.
Tepat pukul lima pagi, sebuah mobil patroli lewat. Ketika melihatku duduk sendirian, salah seorang polisi curiga. Dia kemudian mendekatiku.
“Mas, lagi apa sendirian?”
“Menunggu pagi, Pak, aku ditinggal bis Samirono semalam,” jawabku sambil kuceritakan apa yang kualami sampai aku harus duduk di saung tempat jualan buah-buahan semalaman.
“Bis Samirono?”
“Ya, Pak, bis jurusan Karang Pucungo-Jakarta...”
“Astaghfriullah, kalau begitu Mas harus bersyukur...”
“Pak, bagaimana orang ditinggal bis begini, kok harus bersyukur?”
“Bis Samirono mengalami kecelakaan dan masuk ke dalam jurang setelah melewati puncak...”
“Ah yang benar, Pak...”
“Jadi...”
“Ada apa, Mas?”
“Semalam aku ngobrol sama arwah...”
“Maksudmu?”
Aku menceritakan kisah pertemuanku dengan Evi, gadis asal Lewo Garut dalam bis. Ketika aku ditinggalkan bis, gadis Lewo itu terus ikut bis. Namun pukul dua malam, medadak gadis itu ada di sampingku.
“Ya, mungkit itu hantu penasaran si Evi...”
Begitu teringat, bahwa semalam suntuk aku bercakap-cakap dengan neng Evi, bulu kudukku langsung meremang. Untuk menghilangkan penasaran, maka aku menumpang pada mobil patroli itu sampai ke tempat kejadian perkara. Ternyata memang benar, Evi adalah salah satu korban kecelakaan yang meninggal.
“Ya Allah, jadi aku semalaman bercakap-cakap dengan arwah Evi di Cianjur?” gumamku dengan bulu kudu meremang.
Ketika aku ceritakan peristiwa itu kepada Dadang, ia langsung menghardik, “Nah lho, kan sudah kubilang jangan coba-coba mencari-cari perempuan lain...”
Aku hanya nyengir kuda. Segera terbayang wajah Euis Bohay, dan segera kulupakan peristiwa semalam di Cianjur. Kuharap Euis Bohay seramah Evi, tetapi bukan hantu. (Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H