Persoalan yang paling esensial dalam komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis memanfaatkan media massa dalam membentuk citra dan pendapat umum yang positif bagi partai poloitik atau lembaganya serta aktivisnya dalam mesyarakat sebagai pekerja politik atau aktivis yang peduli politik.
Dalam komunikasi politik mekanisti, politikus dan aktivis itu disebut sebagai komunikator politik oleh Dan Nimmo (1999:30-37). Politikius adalah pekerja politik yang melakukan aktivitas politik, baik didalam permerintahan (presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati) maupun di luar atau di dalam perlemen (DPR dan DPRD). Sedang aktivis adalah para penggiat atrau pemimpin organisasi masyarakat yang memiliki perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan politik (demonstrasi politik).
Politikus dan aktivis harus melaksanakan komunikasi politik untuk memperoleh dukungan massa atau dukungan pendapat umum. Telah dijelaskan bahwa dalam teori media kritis, persoalan pokok dalam politik ialah siapa yang mengontrol media massa? Hal itulah yang dihadapi oleh para politikus dalam penggunaan media massa dan sejauh mana ia dapat mengontrol atau memanfaatkan media massa itu?
Jawaban pertanyaan itu sangat tergantung dari system politik dan komunikasi politik suatu Negara-bangsa. Dalam system otoriter media massa dikontrol ketat oleh penguasa, dalam system liberal media massa justru dikontrol oleh pemilik modal. Sedangkan dalam system Soviet Komunis dahulu, media massa dikontrol oleh Partai Komunis yang berkuasa.
Di Indonesia, sejak tahun 1999 media massa dikontrol penuh oleh masyarakat, terutama oleh pemilik modal. Sebelumnya, penguasa ikut mengontrol media massa, meskipun tidak persis sama dengan di Negara otoritarian. Kini media massa di Indonesia telah bergeser dari orientasi idealism pembanunan nasional ke media massa yang berorientasi bisnis dan kemerdekaan informasi. Hal itu dapat dipahami karena media massa adalah industry yang padat modal dengan persaingan yang ketat antara satu dengan yang lainnya. Hidup dan matinya lembaga media massa, kini tidak lagi ditentukan oleh factor politik, melainkan sangat ditentukan oleh pasar (factor ekonomi).
Dalam system media massa yang emikian, para pejabat, birokrasi, militer dan politikus di Indonesia, tentu tidak lagi mengontrol media massa, yang semakin independent. Justru itu, pemanfaatan media massa sebagai sarana komunikasi politik sangat ditentukan oleh banyak factor yang berkaitan dengan kepentingan masing-masing media massa.
Tiap-tiap lembaga media massa memiliki politik atau kepribadian redaksi masing-masing, yang menjadi kerangka acuan para pekerja media, dalam meliput, menyaring, dan memproduksi pesan. Itulah sebenarnya media massa bukanlah institusi yang pasif seperti robot, melainkan institusi yang aktif, bahkan kepala batu karena memiliki filter konseptual (kesadaran aku).
Dengan demikian media massa tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun untuk kepentingannya sendiri. Justru itu, para politikus, pejabat, atau siapa saja yang ingin memanfaatkan media massa sebagai media komunikasi politik harus memiliki kemampuan yang prima dalam menciptakan berita, yaitu peristiwa (fakta atau opini) yang actual. Dalam jornalistik, actual diartikan sebagai baru terhadi dari segi waktu dan baru terjadi dari segi substansi, serta menarik minat banyak orang.
Dengan adanya penyaringan dan seleksi dari media massa yang akan menjadi pesan kepada public, realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi oleh wartawan atau redaktur, yang dinamakan sebagai tangan kedua (second hand reality). Selain itu, reailtas yang ditampilkan oleh media massa, disebut juga sebagai realita buatan atau realitas media. Artinya, realitas yang ditampilkan oleh mediamassa adalah karya para wartawan dan redaktur, yang tidak selamanya persis sama dengan realitas yang sesungguhnya. Kadang-kandang realitas yang ditampilkan oleh media massa itu lebihy indah atau lebih buruk daripada realitas sesungguhnya.
Sesungguhnya para kritikus social telah lama mengingatkan bahwa media massa bukan hanya menyajikan realitas tangan kedua, tetapi juga media massa menipu manusia, yaitu memberikan citra yang keliru. Media massa menurut C. Wright Mills (1988) menyajikan dunia polesan, yang tidak serasi dengan pekembangan harkat manusia.dengan demikian, pekerjaan sebagai wartawan dan redaktur bukanlah pekerjaan teknis semata, melainkan juga oekerjaan intelektual yang memerlukan kompetensi. Dengan kata lain, wartawan dan redaktur dapat melakukan seleksi dan penyaringan berita secara bijak dengan menampilkan berita yang pantas. Wartawan dan redaktur harus dapat memperkirakan akibat yang ditimbulkan oleh sebuah berita sebelum ditampilkan oleh media. Itulah sebabnya profesi wartawan dilengkapi dengan kode etik profesi (kode etik jurnalistik) sebagai remj bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Sesungguhnya dalam komunikasi politik mekanistik, wartawan dan redaktur, menurut Dan Nimmo (1999:33) adalah sebagai komunikator politik dalam kelompok professional. Komuniktor politik yang lain adalah politikus dan aktivis (misalnya pemimpin mahasiswa, pemimpn pemuda, dan pemimpin buruh).
Wartawan dan redaktur sebagai warga masyarakat , juga memerlukan hubungan-hubungan social, termasuk dengan politikus dan aktivis. Dalam usaha membangun hubungan-hubungan social itu, kaum politikus melaksanakan komunikiasi po9litik int5eraksional dengan kaum professional (wartawan dan redaktur) dan kaum aktivis dengan menggunakan model-model komunikasi antarpersonal seperti: hubungan manusiawi, empati, dan homofili. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk silaturahmi, lobi, dan dialog.
Dengan demikian, upaya politikus, pejabat, dan aktivis untuk menggunakan media massa dalam membangun komunikasi politik dengan massa secara terus-menerus, harus memiliki sejumlah kemampuan.pertama, mampu menciptakan berita actual, baik dalam bentuk fakta maupun opini. Kedua, mampu dan cakap dalam menanggapi peristiwa yang terjadi dalam masyarakat karena itu harus rajin mengikuti berita dari media massa. Ketiga, mampu menjalin hubungan social yang baik dengan wartawan dan redaktur sebagai komunikator politiki yang professional.
Selain itu, hubungan media massa dengan politikus, bersifat mutual simbiosis (saling memerlukan). Media memerlukan berita politik dan politikus dapat menjadi objek berita (factual news) atau narasumber berita (talking news). Politikus, baik sebagai manusia (human interest) maupun sebagai pekerja politik dengan seluruh aktivitasnya (komentar dan perilakunya), merupakan objek berita yang menarik. Itulah sebabnya para pemimpin politik dipemerintahan (presiden, menteri, gubernur) dan pemimpin politik diparlemen (anggota DPR dan DPRD) serta pemimpin parpol, semuanya disebut sebagai politikus. Mereka selalu menjadi objek dan subjek berita yang actual bagi media massa.
Hal tersebut dapat dipahami karena ditangan para politikus itu akan lahir banyak keputusan politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Seluruh kegiatan para politikus memang selalu actual dan diminati oleh khalayak, terutama politikus menarik untuk diliput dan disiarkan oleh media massa. Sebaliknya, berhubung politikus adalah pekerja dalam mengambil keputusan politik, media merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi para politikus.
Dengan kata lain, informasi dari media massa, terutama pendapat yang disalurkan oleh aktivis dan masyarakat selalu menjadi masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan politik, termasuk dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Justru itu, politikus dengan media massa memiliki saling ketergantungan dan saling membutuhkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI