Mohon tunggu...
Haris Suwondo
Haris Suwondo Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Pancasila

Pemungut dan Pemulung Kata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Evaluasi Kinerja Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan: Refleksi dan Dampaknya

18 Oktober 2024   08:40 Diperbarui: 18 Oktober 2024   08:59 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nadiem Makarim, yang ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Oktober 2019, menjadi sorotan karena membawa visi perubahan dalam dunia pendidikan nasional. Dengan latar belakang sebagai pendiri Gojek, startup teknologi sukses di Indonesia, Nadiem dipandang sebagai figur pembaharu yang diharapkan mampu membawa perubahan signifikan di dunia pendidikan. Namun, perjalanan tiga tahun masa jabatannya dipenuhi kontroversi, dengan berbagai kebijakan yang memicu polemik dan memunculkan kritik keras dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, guru, hingga masyarakat umum. Evaluasi kinerja Nadiem Makarim dalam periode ini menyoroti sejumlah persoalan yang dianggap sebagai kegagalan atau kinerja buruk dalam mengelola sektor pendidikan nasional.

1. Kontroversi Kebijakan Merdeka Belajar

Salah satu inisiatif utama Nadiem yang paling banyak disorot adalah program Merdeka Belajar. Kebijakan ini bertujuan memberikan lebih banyak fleksibilitas kepada guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar, dengan harapan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini menemui banyak kendala di lapangan.

Banyak guru dan sekolah, terutama di daerah terpencil dan dengan keterbatasan fasilitas, mengeluhkan kurangnya kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia dalam mengimplementasikan program ini. Kebijakan yang dirancang untuk mendorong inovasi justru membuat banyak sekolah kebingungan. Di banyak daerah, kualitas pendidikan masih sangat bergantung pada kurikulum yang jelas dan standar, sementara fleksibilitas yang ditawarkan oleh Merdeka Belajar justru dianggap membingungkan karena tidak semua guru mampu menafsirkan dan menerapkan kebebasan tersebut dengan baik.

Selain itu, kritik utama dari kalangan akademisi adalah minimnya uji coba dan kajian mendalam sebelum kebijakan ini diterapkan. Banyak yang merasa bahwa program ini diluncurkan terlalu cepat tanpa memperhatikan kesiapan lapangan, sehingga terjadi kesenjangan antara harapan kebijakan dan realitas implementasi di tingkat sekolah.

2. Digitalisasi Pendidikan yang Tidak Merata

Dalam era digital, Nadiem berupaya mempercepat digitalisasi pendidikan melalui Platform Merdeka Mengajar dan berbagai inisiatif lainnya. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada awal masa jabatannya semakin mempertegas urgensi digitalisasi tersebut. Namun, pelaksanaan program ini menemui banyak hambatan di lapangan, terutama di daerah yang akses internetnya terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Menurut data yang dirilis beberapa lembaga penelitian, lebih dari separuh sekolah di Indonesia tidak memiliki akses internet yang memadai. Di banyak wilayah pedesaan, masalah konektivitas dan keterbatasan perangkat teknologi membuat digitalisasi pendidikan menjadi tantangan besar. Guru-guru di daerah terpencil mengeluhkan minimnya dukungan dari pemerintah untuk menyediakan fasilitas yang memadai bagi pembelajaran jarak jauh.

Di sisi lain, meskipun di kota-kota besar akses internet dan teknologi lebih baik, tidak semua siswa mampu memiliki perangkat elektronik seperti laptop atau smartphone yang memadai. Ketimpangan akses ini justru memperbesar kesenjangan kualitas pendidikan antara siswa di perkotaan dan di pedesaan, yang seharusnya diatasi dengan lebih baik melalui kebijakan-kebijakan yang lebih terarah dan adil.

3. Program Guru Penggerak yang Tak Efektif

Program Guru Penggerak adalah inisiatif lain dari Nadiem yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan dan pengembangan kompetensi. Dalam teorinya, program ini bertujuan menghasilkan guru-guru yang inovatif dan mampu mendorong perubahan positif di sekolah-sekolah tempat mereka mengajar. Namun, di lapangan, program ini justru menemui banyak kritik, terutama dari kalangan guru itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun