Ketika Bank Indonesia mengumumkan penurunan BI Rate Januari lalu, muncul reaksi beragam. Yang menyambutnya berharap pasca penurunan suku bunga acuan bank sentral tersebut, suku bunga kredit akan ikut turun.
Jadi, dengan begitu, beban pengeluaran menjadi lebih ringan. Bagi para pelaku usaha, mereka lebih mudah melakukan ekspansi bisnisnya. Ekspansi dapat diikuti penambahan sumber daya manusia sehingga terbukalah lapangan kerja baru.
Namun, bagi sementara pihak yang mengkhawatirkan, penurunan suku bunga dapat mengakibatkan keluarnya dana para investor global dari Indonesia. Kondisi tersebut jika dibiarkan berpotensi melemahkan nilai rupiah.
Perbedaan pandangan semacam itu sudah lumrah pasca Bank Indonesia mengumumkan keputusannya, baik tetap, naik, atau turun.
Sebenarnya, yang terpenting adalah kondisi ekonomi yang baik bisa terus terjaga. Diantaranya tercermin dari inflasi yang rendah serta stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dari penjelasan Bank Indonesia, masih terdapat ruang untuk penurunan suku bunga lagi. Tentu saja, kebijakan itu menyesuaikan dengan dinamika nasional dan global ke depan.
Penurunan suku bunga kerap dianggap angin segar bagi perekonomian nasional. Mengapa demikian? Gampangnya, ketika suku bunga turun, seperti penjelasan sebelumnya, dunia usaha akan semakin menggeliat karena beban utangnya berkurang.
Masyarakat juga cenderung menggunakan uangnya untuk konsumsi ketimbang menyimpannya di bank. Konsumsi yang meningkat akan mengangkat dunia usaha.
Mengingat, permintaan yang tinggi akan diikuti produksi yang tinggi. Yang perlu dicermati, tingkat konsumsi berkontribusi besar dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, selain ekspor, impor, investasi, serta belanja pemerintah.
Bank Indonesia dalam mengeluarkan kebijakannya tidak hanya bertujuan menciptakan stabilitas nilai Rupiah, tetapi sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.