Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pengenaan Pajak dan Menjaga Minat Penggunaan QRIS

24 Desember 2024   21:52 Diperbarui: 25 Desember 2024   10:39 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transaksi dengan QRIS. (Freepik via Kompas.com)

Berseliweran kabar transaksi QRIS dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12 persen. 

Ya memang, kenaikan pajak yang bakal diberlakukan tahun depan itu cukup menyedot perhatian masyarakat. Dari kekhawatiran terjadinya kenaikan harga barang, yang bisa berlanjut ke inflasi, hingga pengenaan biaya transaksi QRIS, menghinggapi masyarakat.

Khusus mengenai QRIS, mengutip berbagai pemberitaan, pemerintah menjelaskan bahwa kenaikan dikenakan pada biaya jasa penggunaan uang atau dompet elemtroniknya. Jadi, bukan pada nilai top-up atau transaksi jual-belinya. 

Benar tidaknya penjelasan itu, bisa dipastikan dari ketentuan tertulisnya yaitu PMK No. 69/PMK.03/ 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa dasar pengenaan pajak meliputi fee, komisi, merchant discount rate, atau imbalan lainnya yang diterima oleh penyelenggara. 

Tidak ada pasal yang menyebutkan pengenaan pajak karena transaksi atau pembayaran menggunakan QRIS. Kalaupun ada kenaikan harga, itu dikarenakan pajak pertambahan nilai atas barang yang dibeli. Pembayaran dengan cara apapun, misalnya tunai, harga akan tetap naik.

Yang perlu menjadi perhatian, pedagang yang membebankan biaya transaksi kepada pembeli dengan alasan merchant discount rate yang terkena pajak, tetap dilarang sesuai ketentuan dari Bank Indonesia.

Tantangan Komunikasi Kebijakan

Menjadi tantangan tersendiri bagi pembuat kebijakan untuk menyampaikan ketentuannya. Hal itu tidak terlepas dari adanya kebiasaan masyarakat membaca informasi sepotong-potong. 

Apalagi di era digital sekarang, muncul kecenderungan media menuliskan judul berita yang bersifat bombastis hanya untuk mengejar clickbait. Warganet yang enggan membaca keseluruhan isi berita, sekedar judul, langsung membuat penafsiran sendiri yang belum tentu tepat. 

Ada pula yang meneruskan berita baru secara cepat sebelum memahami isinya. Beredarnya informasi parsial yang tidak tepat dapat menggiring opini publik yang salah juga. Opini itu bisa mempengaruhi perilaku masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun