Mengapa Disimpan?
Kecenderungan uang logam jarang ditransaksikan bisa dikarenakan faktor-faktor tertentu.
Pertama, transaksi nilai kecil sudah dapat dilakukan secara non tunai, seperti pembayaran menggunakan QRIS.Â
Data BI menunjukkan bahwa nominal transaksi, pengguna, dan merchant QRIS terus mengalami pertumbuhan. Artinya, aktivitas transaksi semakin terbiasa menggunakan QRIS.Â
Kedua, dengan maraknya transaksi digital, masyarakat akan semakin jarang membawa uang tunai dalam jumlah besar. Termasuk, membawa uang logam yang terkadang merepotkan karena memenuhi isi dompet, atau malah bisa merusak kartu-kartu di dompet.
Ketiga, secara tidak langsung, inflasi terus mendorong harga barang naik. Dampaknya, apabila pembayaran menggunakan uang logam yang notabene nominalnya kecil, maka diperlukan jumlah uang yang banyak.Â
Contoh, dahulu sekeping Rp100 bisa mendapatkan satu gorengan. Sekarang, makanan tersebut dihargai Rp1.000 sehingga diperlukan pecahan logam yang lebih banyak.
Masih Diperlukan
Seiring dengan terus berkembangnya transaksi non tunai dan bahkan dalam waktu dekat penggunaan Rupiah Digital, muncul pertanyaan, apakah uang tunai terutama uang logam masih diperlukan? Secara global, berbagai bank sentral di dunia masih mempertahankan penggunaan uang logam.
Sebuah kajian berjudul Digital Payments Make Gains but Cash Remains yang diterbitkan Bank for International Settlements (BIS), menyebutkan bahwa uang tunai masih mempunyai peran penting di berbagai negara. Peran penting itu dicontohkan dengan saat terjadinya kondisi krisis, seperti pandemi dan Great Financial Crisis, permintaan uang tunai meninggi.
BIS menduga bahwa uang tunai saat itu lebih diperlakukan sebagai store value daripada sebagai alat pembayaran. Store value adalah aset, mata uang, atau komoditas yang dapat dijaga nilainya dalam waktu yang panjang. Â Â Â Â Â