17 Desember 2002 menandai akhir dari diplomasi panjang Indonesia sejak 1969 guna mendapatkan kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan. Saat itu, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau yang berdekatan dengan Kalimantan Utara tersebut merupakan milik Malaysia.
Putusan yang diberikan pastinya menyesakkan, tapi semoga memberikan banyak pembelajaran berharga ke depan.
Merawat Pulau
Mengutip kajian Hikmahanto Juwana, pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, poin krusial dalam penentuan pemberian kedaulatan kepada Malaysia terletak pada ada atau tidaknya effectivites. Definisi effectivites kurang lebih adalah ada atau tidaknya tindakan tertentu terhadap pulau.
Uraian mengenai effectivites bisa panjang. Secara ringkas, sesuai pertimbangan mahkamah, Malaysia mampu membuktikan berbagai tindakan yang dilakukan di pulau tersebut sejak era penjajahan Inggris. Tindakan yang mereka buktikan diantaranya adalah akitivitas ekonomi di pulau.
Aktivitas tersebut berupa pengambilan telur penyu dan cagar alam burung yang dilakukan berdasarkan peraturan dari Inggris. Kolonial tersebut juga membangun mercusuar di pulau yang masih terus dirawat oleh Malaysia.
Selain itu, Malaysia telah mengeluarkan peraturan tentang pariwisata yang meliputi area Sipadan dan Ligitan. Mereka kemudian mengembangkan wisata scuba-diving sekaligus pelindungan lingkungan pulau.
Mempertimbangkan berbagai aktivitas pelindungan alam, penggarapan ekonomi pariwisata, hingga eksplorasi ekonomi maritim, majelis hakim nampaknya menilai Malaysia lebih mampu menunjukkan kepeduliannya terhadap Sipadan dan Ligitan ketimbang Indonesia.
Menghidupkan Ekonomi
Secara geografis, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memetakan Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau. Di antara pulau itu terdapat 111 pulau kecil terluar. Tentu, perlu usaha keras untuk menjaga kebersatuan ribuan pulau itu.Â