Sekarang adalah era big data, yang mana data dengan kuantitas yang besar mempunyai akurasi yang tinggi untuk suatu analisis ketimbang metode lama yaitu data sampling. Untuk itulah banyak perusahaan besar yang berlomba memperoleh data privasi orang sebanyak-banyaknya.
Dalam perkembangannya, perusahaan pemilik data melakukan jual beli data yang dimilikinya sehingga mampu meraup keuntungan yang sangat besar. Selain Facebook, Apple dan Google merupakan contoh perusahaan raksasa yang mengelola data privasi amat besar.
Banyak pihak menduga sumber keuntungan Facebook diantaranya berasal dari penjualan data. Untuk itulah, pengguna dimanjakan dengan pendaftaran dan berbagai fitur menarik yang gratis. Mark Zuckerberg menyangkal tuduhan tersebut dan tetap menyatakan sumber pendapatan Facebook adalah dari iklan. Entahlah, mana yang benar.
Kembali pada masalah di Indonesia, dugaan tingginya data pengguna negeri ini yang disalahgunakan tidak terlepas dari jumlah orang Indonesia yang bergabung di Facebook. Data dari Statista menunjukkan pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ketiga bersama Brazil untuk jumlah pengguna Facebook. Angka yang dicatat adalah 130 juta atau hampir separuh dari total penduduk Indonesia.
Motif Pencurian Data
Pencurian data oleh lembaga asing atau siapapun patut menjadi perhatian serius. Kasus Facebook terkini masih sebatas dikaitkan dengan alasan politik Donald Trump. Namun, jika digali lebih mendalam mungkin permasalahannya tidak sesederhana itu. Sulit mengukur motif sebenarnya dari pencurian dan penyalahgunaan data privasi.
Facebook ataupun perusahaan lain pemilik data mampu untuk memetakan perilaku jutaan manusia melalui olah algoritma. Mereka dapat mengetahui minat orang, barang favorit, informasi yang biasa diakses, dan lain sebagainya. Kumpulan informasi tulah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan dalam berbagai tujuan, seperti politik, komersialisasi barang, atau sekedar penelitian.
Menjerat penyedia media sosial atau platform pemilik data tidaklah mudah. Mereka pada umumnya telah melegalisasi pemanfaatan data tersebut melalui kontrak baku (terms of condition) yang ditawarkan sebelum pengguna membuka akun. Tetapi sayang sekali, sebagian besar kontrak yang diajukan ditulis dengan huruf sangat kecil, puluhan hingga ratusan pasal, dan dengan bahasa yang sulit dipahami. Akhirnya, pengguna banyak mengabaikan ikatan syarat tersebut.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya secara implicit telah mengatur pengamanan data tersebut. Namun, penegakannya ternyata tidak mudah. UU ITE sulit menjerat penarikan data tanpa izin oleh Cambridge Analytica melalui platform Facebook, sebagai contoh.
Hal itu dikarenakan penyalahgunaan dan pencurian data telah melalui teknologi canggih yang sulit dideteksi. Sebagian besar kasus semacam itu bahkan kerap terlambat terungkap atau sengaja ditutupi oleh pemilik perusahaan. Â Â
Upaya perlindungan data melalui perangkat undang-undang dirasa belum cukup. Kesadaran dan kewaspadaan pengguna dalam mengakses informasi melalui media social menjadi kunci penting lainnya. Untuk kasus yang telah terjadi, pemerintah perlu mengungkap secara tuntas. Bisa jadi, di era digital ini, penguasaan informasi menjadi modal utama bagi bangsa yang kuat ketimbang kepemilikan senjata perang termutakhir.