Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan mengingat sejarahnya sendiri. Mungkin Indonesia sudah ditakdirkan untuk mengenal dan mengingat sejarahnya namun tidak memahaminya. Begitu banyak catatan buruk nan hitam yang tertulis dalam sejarah Indonesia namun tidak ada yang dapat dilakukan untuk meluruskan atau setidaknya memberinya kepastian tertentu. Adagium "sejarah selalu ditulis oleh pemenang" menjadi kata-kata yang terus diputar oleh bangsa pengecut untuk lari dari fakta masa lalunya.
Bangsa nan munafik ini tidak mau menggoyangkan perahu yang sudah karam ini untuk mencari karang yang telah mereka tabrak.
Lebih baik lari ke narasi masing-masing.Â
Siapa di balik Gerakan 30 September? Siapa dibalik Gerakan Genosida 1965-66? Siapa yang bertanggung jawab atas Kerusuhan dan Kekerasan 1998? Siapa yang membunuh pejuang HAM Munir?Â
Pertanyaan-pertanyaan yang harusnya diluruskan di era keterbukaan informasi sekarang sama sekali dikaburkan dengan gimmick-gimmick elit politik Indonesia. Para elit memainkan narasi agar hal-hal seperti ini tidak perlu dibahas demi "persatuan bangsa". Para populus menjadi teralihkan dengan berbagai macam suguhan lain sehingga mereka tidak lagi berpikir sejauh itu.Â
"Itu sudah masa lalu tidak usah diungkit"
Mengapa tidak diungkit? Bukankah itu sejarah Indonesia juga.Â
Betapa pengecutnya para ilmuwan-ilmuwan akademisi bergelar profesor yang tidak mau kehilangan kenyamanannya demi mengungkap siapa dibalik 1965.
Betapa pengecutnya para jenderal-jenderal purnawirawan yang tidak mau kehilangan kehormatan dan citranya didepan teman-teman seangkatan untuk mengungkap siapa dibalik 1965.
Betapa pengecutnya para elit politik yang kini berkuasa, dengan jargon tidak ingin memecah belah bangsa takut untuk mengungkap sejarah 1998 dan hilangnya nyawa manusia yang menginginkan kebebasan bersuara.Â
Lalu bagaimana dengan populusnya atau rakyat biasa?Â