Mohon tunggu...
Haris Syukra Pratama
Haris Syukra Pratama Mohon Tunggu... -

im in you

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Aku Islam Sekuler...???

2 Maret 2012   10:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:37 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa sih Islam sekuler ? Ini menjadi tanda tanya besar di kepalaku ketika seorang kolega mengatakan sifatku sangat jelas sebagai Islam sekuler. Ceritanya bermula saat sambil lalu aku menonton acara infotainmen yang sedang diputar di televisi. Soal artis wanita belum bersuami yang tidak mau menjawab pertanyaan seputar kehamilannya. Sambil iseng kukomentari soal tayangan itu, ‘Kok pada sibuk ngurusin sama siapa dia hamil. Berapa bulan? Udah kawin apa belum sebenarnya? Itu kan urusan dia. Mau punya suami apa nggak, kenapa pada sibuk? Lagian kalau belum punya suami, nggak boleh hamil?’ Inilah yang menjadi sumber temanku mengatakan aku Islam sekuler. Tanpa perlu mengecek kamus, aku tahu sekuler berarti bersifat keduniawian atau hanya peduli soal materi di dunia. Kasarnya, sekuler berarti orang yang mengatasnamakan materi dan bukan agama sebagai pegangan hidup. Ah, gila. Faktanya, aku Muslim meski bukan penganut yang alim. Tahu dirilah….
Kejadian kedua yang memperkuat argumen temanku soal kesekuleranku saat aku memberikan ‘nasehat’ (katakanlah begitu!) pada adek-adek kelas ku di SMA yang baru saja tamat dan sebentar lagi akan bertarung di Jawa. Intinya, aku menasehati mereka untuk tidak mendekati free seks, karena tidak semua orang bisa menyelesaikan kuliah dengan baik dan tepat setelah dia hamil sebelum menikah. Kalau pun kebelet, sebaiknya mereka menggunakan alat pengaman semacam kondom dan cs-nya. Menurut teman-teman sejawatku, itu sama artinya aku menyuruh anak-anak muda itu melakukan free seks. Wah, jelas mereka salah. Aku menasehati anak-anak menjauhi hal itu tapi kalau kebelet (siapa sih yang bisa memprediksikan kondisi macam apa yang akan mereka temui di luar sana?) hendaknya menggunakan pengaman agar tak hamil. Tapi memang aku tidak pernah mau memcampuradukkan agama dalam wanti-wanti yang kuberikan. Soalnya, buatku agama urusan pribadi. Bagiku lebih aman berteman dengan seorang atheis yang jujur daripada seseorang yang mengaku beragama tapi tidak menunjukkan sifat-sifat manusia beragama. Mungkin bermula dari sinilah makanya aku terlihat seperti tidak terlalu peduli dengan agama. Yah, agama kan urusan orang itu sama Tuhan-nya. Aku sendiri harus bertarung apakah Tuhanku menerima amalan-amalanku karena setiap hari aku membuat dosa meski hal yang kecil, bahkan di bulan puasa sekali pun.
Kejadian berikutnya, saat ramai masalah poligami. Ada ulama, ada anak mantan presiden, ada petinggi MPR/DPR RI, dan ada juga artis. Harusnya aku tak berkomentar waktu ditanya. Tapi mulut rasanya gatal. Atau aku yang keganjenan mau bicara? Entahlah. Soal ulama berpoligami, kubilang tak masalah, dia pasti sudah tahu hukumnya tanpa kita perlu mengajari. Tuhan saja tak mempermasahkan hal itu. Kalau Nabi Muhammad, aku lebih melihatnya dari sisi rasnya. Darah Arab beliau pastilah mengalir deras dan itu dapat dipahami, meski konon katanya beliau biasanya menawarkan dulu wanita-wanita itu pada teman-temannya sebelum diambil sebagai istrinya. Kata menawarkan di sini tolong tidak diartikan negatif. Soal petinggi negara, dia pun punya hak. Sepanjang kedua belah pihak (istri dan calon istri) sudah setuju, kenapa kedudukannya harus diutak-atik? Dan akhirnya, secara umum kukatakan poligami jauh lebih baik dan lebih aman daripada melegalkan pelacuran. Meski berarti gonta-ganti pasangan buat si pria, tapi hanya dalam lingkaran kecil. Jadi, aku setuju-setuju saja soal poligami tak diatur dalam undang-undang negara karena sudah ada aturannya dalam agama, tapi bukan berarti aku pendukung poligami.
Selanjutnya, ketika penggerebekan beberapa motel, penginapan, dan hotel kelas melati di bulan puasa. Mereka tidak mengerti mengapa aku keberatan hal itu dilakukan. Menurutku sih, kalau tujuannya adalah menghormati bulan puasa, mengapa hanya dilakukan terhadap kelas menengah ke bawah? Kan yang tinggal di penginapan semacam itu pastilah kelas menengah ke bawah secara ekonomi. Kenapa tidak dilakukan di semua kelas? Mengapa hanya orang-orang tertentu yang diwajibkan menghormati bulan puasa? Kalau alasannya karena perzinahan adalah sesuatu yang dilarang agama, baik Islam, Kristen, de el el, kenapa hanya dilakukan selama bulan puasa? Harusnya ada undang-undang yang mengatur itu dan yang diberikan sanksi bukan hanya pemakai penginapan tapi juga pengelolanya. Kalau alasannya untuk mendidik moral bangsa, nggak perlu deh jauh-jauh. Ambil cermin dan lihat diri masing-masing. Sudah pada bener belum? Lakukan hal yang benar dulu baru minta orang lain untuk berbuat benar.
Menilik kejadian-kejadian itu, rasanya tak ada yang aneh dalam pandanganku. Atau aku yang sudah aneh duluan sehingga tak lagi merasa aneh saat punya pandangan yang aneh?
Lantas masih menjadi pertanyaan buatku, apa sih sebenarnya Islam sekuler? Apa aku dengan pandangan-pandangan seperti itu lantas bisa dikategorikan Islam sekuler? Apa umat Islam tidak boleh berkeinginan memiliki sifat keduniawian? Apakah materi, popularitas, pendidikan, pekerjaan, termasuk seks hanya bersifat duniawi? Wah, bisa keluar aku dari Islam kalau jawabannya ya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun