Awal Februari 2014, saya sempat mampir ke Pulau Galang dan melihat tempat pengungsian orang-orang Vietnam yang terletak di Desa Sijantung, sekitar 50 km dari Batam Center. Yang mengusik saya, siang itu hanya ada keluarga saya yang mengunjungi tempat wisata tersebut meski saat itu long weekend karena bertepatan dengan Imlek. Akhirnya kami bertemu pengunjung lain di bekas markas Brimob. Kurang menarikkah?
Sekedar informasi, Pulau Galang di Kepulauan Riau, menjadi perbincangan hangat pada tahun 1980-an ketika ribuan pengungsi Vietnam tiba di pulau tersebut. “Manusia perahu” itu sebagian ada yang meninggal di tengah laut karena perahu kecil yang mereka tumpangi karam sebelum sampai ke daratan. Mereka meninggalkan tanah airnya karena perang yang tak kunjung usai di negeri itu.
Ada yang menyebut mereka datang sejak tahun 1975, meski umumnya mengatakan mereka berada di pulau itu dari 1979 hingga 1996. PBB dan pemerintah Indonesia menyediakan Galang menjadi tempat berlabuh sementara bagi orang Vietnam sebelum kembali ke negerinya. Di pulau indah ini dibangun rumah-rumah, tempat ibadah, sekolah, hingga rumah sakit.
Dengan mengunjungi Galang, kita menjadi tahu tragedi kemanusiaan puluhan tahun silam. Bagaimana mereka harus berpisah dengan saudara kandung, atau bagaimana mereka menyaksikan kerabatnya tenggelam dihempas badai di tengah laut. Namun, mengapa tempat wisata ini sunyi, berbeda dengan jembatan Balerang yang ramai dikunjungi orang?
Saya mengamati bagaimana reaksi dua anak saya, yang sulung berusia 17 tahun dan si kecil 12 tahun. Mereka hanya membaca artikel yang ada di lokasi itu tanpa ekpresi ingin tahu. Mereka justru tertarik saat mengunjungi museum karena menemukan benda-benda “antik” yang mereka temukan di rumah eyangnya.
“Kayaknya nenek punya cangkir itu deh,” ujar si kecil sambil menunjuk cangkir loreng hijau. Mereka pun asyik memotret motor Suzuki Crystal yang ada di museum tersebut. Mereka menemukan “benang” yang menghubungkan benda-benda itu dengan frame of reference-nya. Dengan demikian, mereka merasa tertarik.
Keduanya tak tertarik dengan cerita saya tentang bagaimana para pengungsi itu mencapai Pulau Galang. Baginya, cerita tersebut “jauh” di atas nalar karena mereka belum pernah mendengar, apalagi menyaksikannya. Wajar jika mereka yang lahir setelah tahun 1990-an kurang tertarik dengan obyek wisata ini.
Wisata ini menarik bagi mereka yang pernah mendengar berita tersebut atau malah mengalami sendiri peristiwa itu. Hendra, pemilik rental mobil yang kami sewa mengaku pernah beberapa kali mengantarkan wisatawan asal Vietnam ke tempat ini. “Mereka lahir dan besar di sini, makanya pengen melihat tempat masa kecilnya,” ujarnya.
Orang-orang Vietnam yang lahir dan pernah menghuni Galang pun terlihat masih mengenang pulau ini. Beberapa blog dan grup di Facebook sering mengulas tempat ini. Bahkan, beberapa sukarelawan yang pernah menjadi guru di camp pengungsian ini membuat blog yang berisi foto-foto masa lalu mereka. Lihat di http://galangcamp.blogspot.com/.
Mungkin, Galang memang menarik bagi orang-orang Vietnam sehingga mereka inilah yang harus dibidik oleh industri pariwisata kita. Bagaimana membuat paket liburan menarik di Pulau Galang dengan permainan masa kecil mereka seperti sepakbola atau ayunan di pinggir pantai. (JHM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H