Kita masih ingat, menjelang pemilihan legislatif (pileg) 9 April 2014 lalu, lembaga-lembaga survey seperti berlomba-lomba mengumumkan hasil penelitian terakhirnya. Dengan metode sahih dan sampling error 0,000 sekian, lembaga survey itu yakin hasil penelitiannya akurat.
Entah penelitian itu diadakan untuk menggiring opini publik atau memang penelitian ilmiah tanpa tendensi apapun, namun pada kenyataannya, hasil penelitian mereka berlainan. Malah, beberapa di antaranya berbeda drastis dengan hasil riil pileg berdasarkan quick count (hitung cepat).
Seperti dikutip Kompas, Hasil survei Lembaga Survey Jakarta (LSJ)Â pada 3 April 2014 atau 6 hari sebelum pencoblosan menempatkan Hanura dan Gerindra di urutan teratas. Hanura mendapat 15,1 persen, sedangkan Partai Gerindra memiliki elektabilitas sebesar 13,5 persen. Namun, hasil itu bertolak belakang dengan quick count sejumlah lembaga survei yang menempatkan Hanura dalam posisi terbawah untuk parpol yang diperkirakan lolos ke parlemen. Versi hitung cepat, perolehan suara Partai Hanura hanya sekitar 5,11 persen. Hasil survei LSJ yang agak mendekati adalah untuk Gerindra, yang dalam hasil perhitungan cepat sekitar 11,5 persen.
Sementara itu, Indonesia Research Centre (IRC), melansir bahwa pada Pileg 2014, elektabilitas partai politik berbasis massa Islam, antara lain PKS, PAN, PKB, dan PPP, hanya diminati kurang dari 3,5 persen responden. Namun, menurut versi hitung cepat, suara semua parpol itu melampaui ambang batas parlemen. Bahkan, suara PKB mencapai sekitar 9 persen. Pada 1 Februari 2014, IRC juga menyebutkan bahwa perolehan suara PDI-P bisa di atas 30 persen pada pileg jika segera menetapkan Jokowi sebagai capres. Kenyataannya, menurut versi hitung cepat, suara PDI-P sekitar 19 persen.
Hasil survey Lembaga Klimatologi Politik dan Indonesia Network Elections Survey (INES) pun meleset. Berbeda dengan kenyataan. (Lihat http://nasional.kompas.com/read/2014/04/11/1820238/Ini.Hasil.Survei.yang.Berbeda.dengan.Hasil.Hitung.Cepat).
Terdapatnya kesenjangan antara hasil survey dan realitias politik itu tentu mengundang keheranan di kalangan publik. Jadi, wajar apabila publik mempertanyakan metode dan sampel yang digunakan dalam penelitian itu.
Yang dikhawatirkan jika dalam penelitian itu, lembaga-lembaga tersebut dengan sengaja melakukan "penyimpangan" demi tujuan tertentu. Apabila ini dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut maka hasilnya tentu akan menyimpang. Hasil peneltian pun menjadi kurang valid. Penelitian semacam ini tak ada bedanya dengan hasil survey dari komedian yang tengah naik daun, Cak Lontong.
Dalam sebuah survey mengenai tingkat kesukaan publik terhadap musik dangdut, cak Lontong menyimpulkan 100% orang menyukai lagu tersebut. "Setelah dilakukan survey diambil kesimpulan 100% anak-anak tamatan SD suka musik dangdut, 100% remaja tamat SMP suka musik dangdut, 100% remaja tamat SMA suka musik dangdut, bahkan 100% para sarjana juga suka musik dangdut. Survey dilakukan pada salah satu konser musik dangdut." Lihat di https://www.facebook.com/caklontongforpresident
Jangan sampai lembaga-lembaga survey yang terhormat dan digawangi oleh intelektual-intelektual hebat itu terjerembab ke dalam survey ala LSI (Lontong Survey Independent). Semoga !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H