Mudik menjadi  tradisi lokal yang mengambil momentun agama islam. Sehingga tak heran tradisi lebaran juga dipakai oleh mereka yang tidak beragama islam.  Dalam agama islam yang terpenting adalah bagaimana akhir puasa tersebut apakah ia menjadi puncak spiritualitas ke tingkat taqwa yang makin tinggi. Sehingga oraang yang menjalankan puasa dengan baik, dapat mengembalikan dirinya kepada keadaan batin yang suci, fitri menjadi putih bersih sebagaimana dilahirkan kembali.
Kita adalah bangsa yang memiliki sekian banyak tradisi dalam hal jumlah dan ragamnya, baik hal tersebut dilatarbelakangi oleh etnis, kepercayaan maupun agama. Masing masing tradisi tersebut sebagian besar masih dijaga dan dipelihara dengan baik sampai saat ini dan menjadi warisan turun menurun, salah satunya adalah tradisi mudik, dimana waktunya bersamaan dengan hari raya Idul Fitri. Jika kita melihat mudik kali ini, masih melihat keprihatian sosial atas persoalan yang masih bergejolak dan kita belum tahu hal tersebut akan berakhir.
Tradisi mudik ditandai dengan perpindahan oleh penduduk desa yang pergi ke kota kota besar untuk mencari pencaharian, meningkatkan penghasilan dan mengadu peruntungan yang lebih baik daripada hidup di desanya. Dan pada saat lebaran datang, biasanya mereka akan pulang ke desanya dengan membawa sejumlah uang dan tentunya dengan oleh-oleh berupa pakaian, makanan dan serta mainan anak anak, sebagai manifestasi dari keberhasilan mereka beradu nasib di kehidupan kota yang ketat persaingannya.
Bagi mereka yang berhasil, tentu akan membawa kebahagian dan keceriaan tersendiri. Karena dengan mudik, mereka bisa berbagi kisah sukses yang diwarnai dengan romansa usaha kerjanya. Selain itu dapat membagikan barang barang kelengkapan hidup sehari hari untuk keperluan hidup keluarganya yang hidup di desa. Oleh karena itu, mereka biasanya akan berusaha untuk membuktikan kesuksesannya hidup di kota.
Akan tetapi, tidak jarang bagi mereka yang belum sukses momen mudik akan sangat membebani perasaannya. Dan untuk itu, mereka rela berhutang supaya ketika mudik dapat memberi sekedar buah tangan yang dibawa dari kota untuk keluarganya yang tinggal di desa. Mereka tidak tega mudik dengan hanya bertangan kosong tanpa membawa apapun.
Jikalau kita melihat dari sisi ekonomi, tradisi mudik memberi pengaruh pada kehidupan ekonomi di desa mereka. Dikarenakan mereka pasti membelanjakan uang yang dibawanya dari kota, walaupun sesaat ketika masa lebaran saja. Selain itu, mereka yang belum mendapatkan pekerjaan di desa akan dibawa oleh anggota keluarga yang sebelumnya sudah di kota untuk mencoba peruntungan hidupnya. Sehingga secara ekonomis, dapat meringankan beban ekonomi di desanya. Oleh sebab itu, setiap tahun penduduk akan kian bertambah.
Tradisi mudik, sebagaimana yang kita lihat dalam kehidupan sehari hari, tidak jarang menggangu dan mengusik ketengan dan kekhusyuan dalam menjalankan ibadah puasa, terutama menjelang habis puasa yang seharusnya ibadah makin ditingkatkan. Ibarat kompetisi, makin dekat dengan garis finish harus lebih giat makin cekatan. Akan tetapi, mudik mengubah hal tersebut, sebab mereka akan selalu ribet untuk mempersiapkan melakukan mudik. Persiapan ini meliputi dari persiapan sebelum berangkat, persoalan kendaraan, bekal perjalanan dan barang yang akan dihadiahkan sekembalinya di desa. Hal ini tentu akan menghabiskan waktu yang tidak cepat, dan nyaris menguras tenaga sebelum perayaan lebaran. Kerja keras setahun serasa dihabiskan hanya dalam beberapa hari saja.
Dalam syariat Islam tidak mengenal tradisi mudik Idul Fitri, tradisi mudik adalah tradisi lokal yang mengambil momentun agama islam. Sehingga tak heran tradisi lebaran juga dipakai oleh mereka yang tidak beragama islam.  Dalam agama islam yang terpenting adalah bagaimana akhir puasa tersebut apakah ia menjadi puncak spiritualitas ke tingkat taqwa yang makin tinggi. Sehingga oraang yang menjalankan puasa dengan baik, dapat mengembalikan dirinya kepada keadaan batin yang suci, fitri menjadi putih bersih sebagaimana dilahirkan kembali. Perayaan Idul Fitri bukanlah untuk mereka  yang memakai pakaian baru, akan tetapi mereka  yang taqwanya bertambah.
Memang tidak bisa mengelak bahwa mudik memiliki nilai positif dan negatif. Sisi positifnya, seseorang bisa memperoleh semangat baru. Sebab, ketika bertemu kembali dengan anggota keluarganya, terutama dengan orang tua mereka dan menyaksikan realitas dalam kehidupan keluarganya di desa, tentu akan memberi semangat baru agar tahun depan mendapatkan sukses yang lebih. Apalagi dengan tambahan doa dan restu orang tua, tentu akan menjadi stimulan untuk berbuat lebih. Sebaliknya, sisi negatifnya, mudik seringkali dipakai sebagai sarana untuk memamerkan kesuksesannya hidup di kota dengan melakukan perilaku konsumtif dan hedonis, yang tentunya memiliki banyak dampak sosial yang merugikan, bahkan hal tersbut akan merusak ketenangan hidup di desa.