Konflik, satu kata yang kini begitu sering kita mendengar khususnya di Indonesia pasca bergulirnya masa reformasi, seperti konflik poso dan KKB di Papua sebgaai percontohan.
Melejitnya pemberitaan yang berkaitan dengan konflik berbanding lurus dengan pertukaran informasi publik yang begitu cepat menyebar dan bergulir menjadi bahan pembicaraan publik.
Media online dan daring lainnya begitu haus akan pemberitaan tentang konflik masyarakat dari tingkat terendah sampai dengan nasional.
Konflik kecil-kecil yang terjadi di daerah terpencil bisa menjadi pemberitaan di beranda koran nasioanal. Informasi yang viral di sosial media, tidak jarang menjadi konflik di dunia nyata. Kasus Meiliana menjadi bukti nyata bagaiaman latensi konflik etnis menjalar via media sosial kita ke dunia nyata.
Kini orang begitu mudah tersulut emosinya melalui media sosial mereka. Kemungkinan karena media sosial sebagai representasi dari ranah privasi dan terjadi saat itu juga.
Isu SARA dan partisan seakan begitu jadi duri bagi sejarah Indonesia. Berbagai pertikaian, bentrok antar warga dan perselisihan antar penduduk bisa terjadi kapanpun dan dimanapun asal ada pemantiknya.
Bentuk konflik bisa berupa konflik kepentingan antar calon pemimpin daerah, konflik horisontal, konflik vertikal, kekerasan dalam rumah tangga, konflik etnis, konflik struktural ataupun konflik SARA seperti kasus pengusiran jamaah Ahmadiyah yang terjadi baru-baru ini.
Berkaca dari pernyataan dan fakta tadi, sekiranya manusia tidak akan lepas dan selalu berdampingan dengan konflik diri. Konflik seakan menjadi satu kesatuan dari kehidupan manusia dan sesuatu yang niscaya dalam diri manusia. Konflik dan gesekan antar individu menjadi bagian dari sunnatullah yang akan selalu hadir dalam sendi nafas manusia.
Siapapun mereka akan sulit menghindari apa yang kita sebut konflik. Permasalahannya hanya soal detail kapan, bentuk dan kadar yang beragam.
Oleh karena itu, langkah yang tepat bagi individu tidak dalam taraf menghindari dari konflik namun berfokus tentang bagaimana kita mengelola dan mengendalikan dampak dari konflik yang terjadi atau akan terjadi di kemudian hari.
Kehidupan dan keseharian manusia beresiko menimbulkan potensi konflik diri. Indonesia sebagai role model muslim moderat memiliki tanggung jawab kosmologis untuk menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil 'Alamin.