Selepas satu dekade reformasi, dunia Stand Up Comedy di Indonesia menjadi salah satu dunia hiburan yang cukup berkembang seiring dengan menguatnya kebebasan berkepresi dan berpendapat di ruang publik.Â
Acara Open Mic para komika yang disiarkan dalam saluran televisi dan panggung rakyat mendapatkan perhatian para penonton. Salah satu komika, Sakdiyyah Makruf mendapatkan penghargaan wanita berpengaruh versi BBC tahun 2018 karena menyampaikan isu-isu sental keadilan sosial melalui beat dan puncline  yang ia sampaikan.
Namun di balik semua itu, ada catatan kecil dimana beberapa komika terpleset dengan humor karena berbicara masalah yang sensitif untuk diplintir. Sebagian orang yang tidak memahami konteks humor mempermasalahkan konten yang disampaikan oleh komika. Mereka begitu gerah dan merasakan bahwa hal tersebut tidak pantas untuk dibawakan, akibatnya sekian komika menerima konsekuensi sosial berupa berupa cyber bullying, persekusi, pengunduran diri dari dunia komika sampai dengan pemutusan kontrak kerja. Kebanyakn komika saat ini membatasi konten dan dirinya dengan rigid dan kaku.
Humor seharusnya menjadi senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur dalm buku Mati Ketawa Ala Rusia. Humor seharusnya menjadi alat untuk berdamai dengan berbagai keterbatasan dan pembatasan yang dihadapi masyarakat, tanpa kehilangan ketangguhan diri untuk menghadapi tantangan dan bahkan sebuah kepahitan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H