Media sosial menjadi dunia kedua dalam keseharian kita, ia merefleksikan pikiran kita dalam bentuk digital. Oleh karena itu, kita mengerti etika dalam bermedsos terlebih dalam bulan suci ramadhan.Â
Jangan sampai ketika di hari perhitungan, Ibu Jari kita akan bersaksi atas kabar bohong yang telah kita sebarkan secara masif, struktural dan sistematis. Jempol kita akan banyak bersaksi betapa banyak caci maki yang telah kita tuliskan_terlebih lagi di bulan ramadahan_ kita tidak mengurangi menyebarkan berita bohong dan ujajaran kebencian. Dengan harapan tidak termasuk dalam golongan yang merugi karena perilaku kita sendiri.
MAFINDO menginformasikakn bahwa penyebaran kabar bohong meningkat berkali-kali lipat saat pemilihan umum lalu. Tentu dengan masuknya ramadhan, kita memiliki niatan bersama untuk mengurangi dan menghentikan sepernuhnya berita bohong tersebut. Solusinya tentu beragam langkah, kita harus mengerti betul bahwa media sosial hanyalah alat, ajaran etika berkomunikasi harus tetap sama.Â
Kita dilarang menyebarkan berita bohong, ghibah dan fitnah. Seyogyanya kita sebelum memposting status, perlu menerapkan filter diri. Apakah hal itu benar? Apakah itu penting? Apakah hal tersebut memiliki dampak kemaslahatan?
Selain itu, upaya men-follow akun-akun yang menyebarkan kedamaian perlu dilakukan secara masif. Kita ikuti akun live streaming pengajian kiai. Tidak lupa menblokir akun yang bermasalah menjadi langkah konkret dalam bermedia sosial. Masuknya bulan ramadhan juga menjadi titik balik untuk mengintropeksi diri dan menurunkan tensi berpolitik diri.Â
Menjernihkan pikiran dan menerima konsekuensi hasil KPU Â yang akan diumumkan 22 Mei mendatang. Kedatangan Ramadhan di masyarakat yang terbelah menjadi momentum untuk merekatkan ukhuwah islamiyyah, ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah basyariyyah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H