Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nalar Kota" Para Penduduk Desa

15 April 2019   10:47 Diperbarui: 15 April 2019   11:26 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya bagi penduduk desa, layanan internet dan televisi kabel menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. 

Kedua item tadi hadir seperti teman dekat dan tetangga yang bertempat tinggal berdampingan. Keduanya memberikan waktu lapang ketika kita ingin menghabiskan waktu luang. 

Televisi dan internet menyelinap masuk ke dalam bilik-bilik paling intens, menbarkan bujuk rayu sehingga secara sedikit demi sedikit mengubah nalar penduduk desa yang bersahaja menjadi serupa dengan nalar penduduk kota.

Dulu baik secara geografis maupun sosiologis, desa dan kota memiliki karakter yang jauh berbeda. Keseharian sebagai petani membuat penduduk desa berusaha  keras menjaga harmoni dengan alam. 

Mereka berusaha menjaga hubungan emosional dengan lingkungan sekitar, bukan hanya karena ketergantungan mereka dengan sektor pertanian, melainkan karena relasi spiritual. 

Relasi sosial masyarakat pedesaan identik dengan watak guyub. Keguyuban dianggap ampuh untuk menghadapi berbagai persoalan sehingga perlu dibangun san dipelihara. 

Relasi antar individu tidak semata-mata diatur oleh pranata sosial, melainkan kesadaran ektensialis individu. Anggapan bahwa manusia paling mulia adalah manusia yang memberi manfaat bagi liyan masih begitu mengakar.

Karakteristik tersebut tentu berbeda dengan masyarakat kota yang telah lama menjadi lahan basah perebutan kekuatan ekonomi. Masing-masing individu menempatkan diri sebagai kompetitor bagi individu lain sehingga relasi kian kentara. Akan tetapi, belakangn ini stereotip tersebut kian terkikis. 

Karakter sosial masyarakat desa dan kota menjadi sulit dibedakan. Terkecuali beberapa desa adat yang telah memiliki hukum-hukum adat yang diikuti. Penduduk desa kini telah mengikuti tren berpikir masyarakat kota yang logikanya berorientasi untung rugi dan memuliakan tradisi kalkulasi. 

Tren itu menjadi motor penggerak aktivitas penduduk, walaupun secara geografis masih dalam kategori desa, namun ia digerakkan dengan nalar kota.

Kondisi tersebut tersebut dalam tentu memiliki klausul utama. Pertama, sekat antara orang-orang kaya dengan yang tidak kian menguat. Kedua entitas tadi dibatasi dengan sebuah kepemilikan. Hegemoni kekayaan mempengaruhi cara berkomunikasi dan bersosiali. 

Kedua, teknologi yang hadir dianggap sebagai sesuatu yang adiluhung, mereka yang ingin memilikinya diperlukan cara menggapai dan penuh dengan kegigihan agar terwujud. Teknologi sebagai metafora sebuah kemajuan dan simbol kemapanan diri. 

Ketiga, tradisi yang dijaga dari generasi ke generasi mulai dianggap sebagai peristiwa seremonial belaka. Esensi spiritual yang melatarbelakangi sesuatu tradisi tersebut seringkali tidak dipahami bahkan diabaikan. 

Hubungan manusia dengan Tuhannya dalam sebuah tradisi jarang ditemukan. Tradisi hanya perayaan tahunan yang minim pemaknaan.

Ketiga poin tersebut berkumpul dalam satu entitas, produk teknologi berubah menjadi sebuah alat dan tujuan. Sebuah teknologi berubah menjadi sebuah upaya dan pencapaian diri, ia begitu menggantikan peran-peran sosial. Teknologi menggatikan kontribusi sosial yang dulunya diperankan oleh manusia. 

Masyarakat lebih prefer menghabiskan waktu dengan teknologi ketimbang bertatap muka dengan orang lain. Bertatap hanya dilakukan dalam momen yang begitu istimewa. 

Fenomena tersebut di desa kini bisa dengan mudah kita kumpai. Masyarakat begitu terlena dengan kemajuan dan inovasi dan melenakan apa yang sebelumnya menjadi ciri diri.

Bujuk rayu iklan memiliki andil yang signifikan dalam merubah logika ekonomi masyarakat desa. Iklan datang dari segala penjuru dan bentuk, ia menyelinap masuk dalam privasi diri. 

Iklan memberikan janji dan serangaian mimpi bagi mereka yang terbuai. Kearifan lokal desa terkepung dari berbagai arah, mengajarkan mereka jalan paling pragmatis yang bisa ditempuh.

Iklan di televisi dan media online kian menjadi jubir yang ulung dibalik para pemilik modal. Ia begitu mahir membujuk masyarakat desa yang tidak memiliki sumber informasi alternatif. Iklan menjadi penarasi tunggal yang dengan semena-mena mengangkangi logika masyarakat. 

Terkadang ia menciptakan rasa senang, sedih ataupun marah dalam waktu bersamaan. Memberikan harapan dan imajinasi bagi setiap persoalan hidup. Iklan bekerja dalam diri individu dan kian lalam emngubah karakter kelompok masyarakat. 

Pada akhirna masyarakat terbentuk sedemikiain rupa atau setidaknya memiliki kemiripan dengan iklan yang mereka intensif tonton. Iklan begitu mengusik masyarakat desa dengan berbagai iming-iming kemapanan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun