Kekuasaan membutuhkan intelektualitas guna menggelar pembangunan berwajah manusia ~ Alfan Alfian.Â
Untuk mengusung nilai kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dan berpadu padan dengan dengan kekuasaan. Dengan cacataan hubungan tersebut tidak akan membuat seorang intelektual memudarkan khittah karakter diri, yaitu bertindak bijak dan berpikir bebas.Â
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Cornelis Clay saat pengukuhan Guru Besar di FISIP UGM (6/2/2019) tempo hari. Ia menekankan agar tidak perlu alergi dengan kekuasaan. Tentu ini menjadi tambahan wacana dan khazanah intelektual dan kekuasaan ketika menawarkan gagasan jalan ketiga. Seringkali kaum intektual seolah-olah terkungkung dalam pilihan yang dilematis ketika berhubungan dengan kekuasaan, antara mengikuti atau menghindar bahkan memusuhi kekuasaan.Â
Pilihan jalan ketiga menjadi oase kaum intelektual bisa ikut atau keluar berdasarkan pengamatan yang objektif dan komprehensif tanpa meninggalkan unsur kemanusiaan. Hubungan kekuasaan dengan intelektual tidak bisa diiintervensi dengan semangat fanatisme mendukung ataupun kebencian tanpa akal. Alternatif jalan ketiga bertumpu dalam independensi intelektual yang berpihak dalam ranah humanisasi, bukan pada simbol kekuasaan yang ia dukung sebelumnya.Â
Dalam kacamata politisi, apa pun yang dilakukan kekuasaan memiliki nilai kebenaran yang mereka yakini. Namun berbeda dengan intelektual, dimana mereka memiliki tolak ukur etis yang disandarkan dalam moral kemanusiaan.Â
Kaum intelektual yang ikut nimbrung di dalam kekuasaan harus mampu bersikap etis dan proporsional. Kaum intelektual juga turut serta dalam memasukkan nilai intelektual dalam kekuasaan. Di dalam maupun di luar, kalkulasi kemanusiaan lah yang menjadi pion pemberatnya. Nilai kekuassan tidak boleh melenceng dari moral kemanusiaan. Kaum intelektual berkewajiban menyejajarkan dan mendekatkan cita-cita yang baik, yakni pembebasan dan pemuliaan kodrat kemanusiaan.Â
Untuk menegakkan nilai kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dengan alasan moral yang humanis dan logis, berlari beriringan di tengah pesimisme yang kian memuncak. Intelektualitas dan kekuasaan bak ibarat dua tangan yang saling bersinergi dan melengkapi. Kekuasaan membutuhkan intelektualitas untuk mengadakan pembangunan yang berwajah manusia. Para intelektualitas memiliki peran sentral yang tidak dalam tataran teknokrat.Â
Intelektualitas dalam kekuasaan memiliki tanggung jawab moral kemanusiaan yang lebih kompleks sekadar posisinya sebagai pemegang kebijakan. Sisi kemanusiaan dalam pembangunan harus ditampilkan dan dijadikan acuan dasar.Â
Intelektual dalam kekuasaan bak ibarat pengontrol pencerdasan yang ditumbuhkan melalui tradisi literasi keilmuan yang bertumpu dalam prinsip keadilan kemanusiaan. Lantas konsekuensi yang lahir dari padanya adalah untuk mencerahkan kualitas kemanusian dan peradaban.Â
Para intelektual memiliki tanggung jawab yang lebih dalam mengusahakan dan mengedukasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para intelektual dalam tubuh kekuasaan tidak harus terkungkung dalam acara deklarasi yang kian mencoreng titah pengabdian. Intelektualitas yang sejati menjadi sang penggelora dan pengkoreksi diri sehingga pemerintahan yang berkuasa tidak larut dalam labirin ambisi kekuasaan yang kian menjauhkan dari pencerahan kemanusiaan dan moral akal sehat.Â