Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tua-tua Keladi dan Ageisme

7 Januari 2019   06:04 Diperbarui: 7 Januari 2019   09:09 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dianggap atau merasa kecil atau muda oleh kalangan komunitas karena keterpautan umur? 

Itu namanya ageisme, sebuah istilah yang lazim dipakai untuk menggambarkan perilaku diskriminatif dan prasangka buruk terhadap usia. Perilaku ini bisa terjadi dalam kontak langsung dan melalui perantara media sosial yang kita pakai sekarang ini. 

Kata cah cilik ra usah melu-melu adalah salah satu bentuk cara pandang orang yang lebih dewasa ketika ingin membungkam pendapat dari orang yang lebih junior, seringkali anggapan lawan bicara ini keluar dari gagasan yang ingin diutarakan oleh orang yang lebih junior tadi tanpa mengindahkan pendapat yang seharusnya didiskusikan dalam sebuah forum. 

Sebuah prasangka bahwa orang yang lebih muda tidak cocok untuk satu forum dengan orang dewasa. Forum yang diisi oleh sekelompok orang yang umurnya rata-rata sama. Anggapan lebih muda dan tidak bisa nimbrung juga mengafirmasi berbagai hal yang melekat dengan pribadi muda, bahwa mereka adalah generasi yang masih dominan untuk bersenang-senang, labil dan masih perlu dibimbing. 

Ageisme muncul untuk meremahkan lawan bicara yang lebih muda dalam segi umur. Orang dewasa yang berfaham ageisme meragukan otonomi dari orang yang muda untuk menyampaikan gagasan dan pandangan yang orisinil mereka sendiri, seolah anak muda tadi tidak mampu untuk berpikir sendiri. Ageisme mengharuskan bahwa segala perilaku anak muda harus disetujui dan diawasi oleh orang tua mereka. 

Ageisme memandang lumrah pembedaan pikiran orang dan kelompok dalam klasifikasi umur. Bisa juga ageisme menegasikan atau menganggap orang lain tidak bisa memiliki akses dalam bertukar pikir dikarenakan orang atau kelompok tersebut dalam kategori lansia. Mengakategorikan lansia sebagai individu yang lemah dan kolot dalam pikiran, ruang berpikir lansia seakan direnggut dan diabaikan sampai ajal menjemput. 

Kategori lansia yang progresif dinilai sebagai individu yang sensasional, aneh dan terkadang menyedihkan. Contohnya ketika ada Sastrawan Soesieola Ananta Toer yang berumur lansia dan berpendidikan doktor masih memulung sampah, tidak dalam aspek bidang yang ia tekuni selama ini, sastra. 

Kita disuguhkan sebuah anomali lansia yang masih ceria dan memiliki gairah memberi makna hidup. Kita seolah-olah menganggap aneh dan langka hal tersebut. 

Dalam struktur sosial pandangan ini berkaitan dengan menghargai orang yang lebih tua, bahwa mereka dalam masa muda pernah berjasa dalam membesarkan kita. Kini orang tua tersebut sudah lemah dan harus kita rawat. Ketika menemukan orang yang lebih muda, kita sudah terbiasa dan terpatri rasa untuk membimbing, memandang orang yang lebih muda kurang kompeten dan naif. 

Pandangan ini tentu memiliki aspek postif dimana kita dituntut untuk rasa hormat terhadap lansia, namun memiliki bias produktivitas yang menyertainya. Rentan umur manusia dibilang produktif ketika menginjak umur 25 sampai dengan 55 tahun, anak-anak dan lansia termasuk dalam rentan kebergantungan terhadap generasi dalam masa produktif dalam segi ekonomi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun