Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kopi dan Imajinasi

29 Desember 2018   06:58 Diperbarui: 29 Desember 2018   07:06 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pernah bercerita padanya di suatu sore, saat kita pertama kali berjumpa dalam imajinasi yang kuciptakan. Kau ingat pertama kali kita bertemu? Di suatu dunia bernama imajinasi.  

Langkahku gontai selepas menemukan fakta bahwa, kekasih yang sangat kucintai, tiba-tiba saja mengirim undangan pernikahannya. Dengan perempuan lain, tentu saja, bukan denganku. Sejak saat itu, aku tidak tahu lagi bagaimana cara mendefinisikan kebahagiaan. Bahkan memahami kenyataan aku masih hidup disaat-saat sulit seperti itu pun rasanya sulit.

Disampingku, kopi hitam pekat, beberapa potong coklat, laptop dan earphone selalu setia menemani. Ditanganku, pulpen dan sebuah book note, bergambar sketsa perempuan sunyi, menjadi saksi tatapan kosong dan tangisan hampa. Entah berapa malam sudah mataku tak mau pejam, cekung hitam dibawah kelopaknya tak bisa disembunyikan, bagai mata panda tidak tidur sepanjang hari.  

Dalam hidup, salah satu keberuntunganku adalah memiliki ibu seperti ibuku. Aku bebas bercerita apapun dengan nyaman kepada beliau. Bahkan dalam keterpurukanku karena pernikahan kekasihku ini, tak ada orang lain yang memahamiku melebihi ibu. 

Tak terhitung berapa kali beliau masuk kamarku, memelukku dan mengatakan ada sekenario yang lebih indah dibalik kesedihan ini. Ibu juga berkali-kali mengingatkan, kopi tak baik bagi kesehatanku. Meski semua hanya kutanggapi dengan diam dan tatapan kosong.

Perempuan macam apa menghadapi depresi dengan bergelas-gelas kopi. Karena kopi menuntunku pada kesadaran. Kesadaran macam apa. Kesadaran yang mengurungmu berhari-hari di kamar dan membuat ibumu berhari-hari cemas padamu. 

Kesadaran bahwa di dunia ini, Tuhan mendesain bagian dalam hidupku seperti kopi; pahit, hitam dan pekat.Akan tetapi kau lupa cara menikmatinya. Kopi memang pahit, hitam dan pekat, tapi selalu ada cara menikmatinya.

Percakapan antara kita terus berlangsung sejak saat itu. Aku pada akhirnya sadar kau sepenuhnya adalah imajinasi. Dan aku menikmatinya. Bersamamu, di dunia imajinasi, kita bebas kemana saja pergi. Mengunjungi tempat-tempat indah, di alam imajinasi. Makan menu-menu nikmat, di alam imajinasi. Melakukan hal-hal gila, di alam imajinasi.

Masih di alam imajinasi, kau menyatakan cinta kepadaku. Cinta dalam imajinasi. Mau kah kau suatu hari nanti, menikah denganku di tempat biasa kita bertemu ini? Masih di alam imajinasi. Karena dunia ternyata jauh lebih indah dan menarik di dalam kepala, bukan apa yang tampak di depan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun